tirto.id - Sejumlah proyek infrastruktur dikebut demi menyambut acara skala internasional. Beberapa di antaranya justru merugi karena kurangnya perencanaan.
Jalan tol Bali Mandara terlihat unik. Membentang sepanjang 12,7 km di atas laut, jalan tol ini merupakan tol terapung pertama di Indonesia. Tol yang pertama kali ada di Bali ini semakin unik karena memiliki jalur sepeda motor di ruas kanan dan kiri.
Susilo Bambang Yudhoyono yang menjabat sebagai Presiden RI ketika itu, menyebutnya sebagai sebuah mahakarya.
"Mari kita tunjukkan kepada dunia bahwa kita mampu menciptakan mahakarya semacam tol Bali Mandara ini," jelas Yudhoyono ketika meresmikan tol tersebut pada 23 September 2013 lalu.
Tol yang menghubungkan Benoa, Bandara Ngurah Rai, dan Nusa Dua ini memang menjadi sebuah proyek yang ambisius. Pengerjaannya tergolong kilat. Kontruksi baru dimulai Maret 2012, tetapi sudah selesai sekitar Mei 2013. Ini merupakan proyek tol tercepat dalam sejarah Indonesia. Proyek yang menelan dana Rp 2,4 triliun itu memang dikebut untuk menyambut Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) APEC pada Oktober 2013. Sebanyak 70 persen pendanaannya diperoleh dari pinjaman sindikasi Bank Mandiri, BNI, BCA, BRI, BTN, dan BPD Bali.
Dua tahun berlalu, tol Bali Mandara ternyata tidak memberikan hasil sesuai harapan. PT Jasamarga Bali Tol mengaku rugi karena tol Mandara tidak memberikan masukan sesuai target.
Dalam rencana bisnis 2015, Jasamarga Bali menargetkan tol Bali Mandara dilalui 51 ribu kendaraan setiap hari. Namun, dalam realisasinya hanya dilewati 43 ribu kendaraan. Dengan pendapatan yang tidak sesuai target, perseroan tentu saja mengalami kerugian. Akibatnya, cicilan utang untuk membayar proyek tersebut terhambat.
"Tiap bulan kami harus membayar Rp13 miliar, tetapi kenyataannya kami baru mampu membayar Rp10 miliar," kata Direktur Utama PT Jasamarga Bali Tol, Akhmad Tito Karim, seperti dilansir dari Antara (31/10/2015).
Ampuhnya Jurus Kebut
Percepatan pembangunan tol Bali Mandara di Bali menjadi capaian gemilang pembangunan infrastruktur jalan di Indonesia. Selain sukses dalam hal kecepatan pembangunan, proyek tol ini juga jadi ajang pamer Indonesia kepada 21 pemimpin negara di Asia Pasifik, bahwa Indonesia punya infrastruktur yang mumpuni.
Tol Bali Mandara bukan satu-satunya proyek prestisius yang digarap menjelang acara internasional. Bila ditarik ke belakang, ada pembangunan Tol Cikampek-Purwakarta-Padalarang (Cipularang) yang dikebut untuk menyambut peringatan Konferensi Asia Afrika (KAA) yang ke-50 pada April 2005. Meski belum sempurna, tol yang melintasi Kabupaten Purwakarta dan Bandung ini bisa dilintasi rombongan para kepala negara Asia dan Afrika.
Pada waktu itu, pembangunan jalan bebas hambatan yang total panjangnya 58 km ini dianggap paling sulit karena kondisi medan pembangunan didominasi pegunungan dan lembah. Namun, tantangan itu justru memunculkan rekor-rekor baru dalam dunia konstruksi di Indonesia, seperti jembatan tertinggi dan bentang jembatan terpanjang.
Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri pada 24 April 2004 meresmikan pembangunan ruas tol Cipularang tahap I sepanjang 18 km yang meliputi ruas Dawuan-Sadang 12 km dan Padalarang By Pass 6 km. Megawati juga memulai pembangunan Tol Cipularang Tahap II sepanjang 40 km yang meliputi Purwakarta-Plered-Cikalong Wetan-Cikamunig. Cipularang tahap II menelan investasi sekitar Rp 1,6 Triliun, dan harus rampung April 2005.
Ini artinya hanya butuh waktu 12 bulan.
"Saya minta pelaksanaan proyek ini bisa dilembur dengan secepat-cepatnya, agar cepat selesai," seru Megawati dikutip dari situs resmi PU.
Secara keseluruhan, tol ini baru diresmikan oleh Presiden ke-6 Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, pada 12 Juli 2005.
Jauh sebelum hajatan peringatan KAA yang melahirkan mahakarya Tol Cipularang, ada juga proyek Stadion Gelora Bung Karno (GBK). Salah satu ikon Jakarta ini dibangun demi menyambut pergelaran olahraga akbar Asian Games ke-4 pada 1962 di era Presiden Soekarno. Proyek ini baru disiapkan setelah Indonesia ditunjuk sebagai tuan rumah di acara Asian Games ke-3 di Tokyo pada 1958. Proyek bantuan Soviet ini jadi pembuktian bahwa Indonesia bisa membangun infrastruktur olahraga berkelas dunia.
Pada saat pembukaan Asian Games IV di GBK, kurang lebih 110.000 orang memadati stadion yang pada waktu itu terbesar di Asia Tenggara. Setahun setelah Asian Games, GBK dipakai untuk perhelatan ajang Games of The New Emerging Force (Ganefo) pertama pada 1963.
Selain itu, beberapa proyek infrastruktur yang dibangun karena acara besar lainnya yakni pembangunan stadion untuk acara SEA Games di Palembang 2011, perhelatan AFC di Riau, hingga yang terbaru rencana perhelatan Asian Games ke-18 di Palembang dan Jakarta.
Palembang dan Jakarta kini sedang giat berbenah. Palembang misalnya, dengan dukungan pemerintah pusat menyiapkan infrastruktur kereta ringan hingga infrastruktur olahraga. DKI Jakarta juga melakukan hal serupa dengan pembangunan Mass Rapid Transit (MRT) yang dikebut sebelum acara yang berlangsung Agustus hingga September 2018. Sayangnya, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengaku proyek MRT tidak akan rampung sebelum Asian Games meski sudah dikebut. Ini akibat adanya sejumlah penundaan.
Proyek Terabaikan
Upaya mempercepat pembangunan proyek demi mengejar sebuah agenda dunia ada positifnya. Citra Indonesia terangkat karenanya. Namun, pemerintah seharusnya tidak melewatkan proyek infrastruktur lain yang dibangun bukan untuk menghadapi ajang bergengsi kelas internasional.
Hingga saat ini, ada sejumlah proyek vital yang harus selesai hingga belasan tahun banyak terjadi di Indonesia. Jembatan Kelok Sembilan di Sumatera Barat misalnya, baru bisa diresmikan setelah tepat 10 tahun semenjak peletakan batu pertama pada 2003 lalu. Ada juga Jembatan Soekarno. Warga Kota Manado harus menunggu bersabar hingga 12 tahun hingga peresmiannya pada 28 Mei tahun lalu. Padahal jembatan yang dibangun oleh era Presiden Megawati ini ditargetkan rampung 3 tahun semenjak groundbreaking 2003.
Kondisi serupa juga terjadi pada infrastruktur jalan tol. Pembangunan tol yang disiapkan untuk agenda tertentu dibangun lebih cepat dibandingkan dengan proyek tol yang tak terkait agenda khusus. Proyek tol JORR W1 di Jakarta misalnya, memiliki karakter yang mirip dengan proyek tol Bali Mandara karena dibangun di atas ribuan tiang-tiang beton. Namun, dengan jarak yang lebih panjang dengan tingkat kesulitan lebih tinggi, justru kecepatan penyelesaian proyek tol Bali Mandara lebih cepat daripada JORR W1. Padahal, tol JORR W1 tak kalah penting untuk mengurai kemacetan di ibukota.
Hadirnya acara berskala internasional terbukti efektif dalam mendorong ketersedian infrastruktur. Masyarakat kini bisa menikmati mulusnya tol Cipularang ataupun berolahraga santai di GBK. Hasil ekonominya terlihat nyata. Kebanggaan nasional juga terbangun karenanya.
Namun, tak bisa dipungkiri beberapa kasus percepatan pembangunan untuk mengejar sebuah peristiwa internasional berakhir tak maksimal. Salah satunya tol Bali Mandara yang kini sepi peminat. Di sinilah pentingnya faktor perencanaan yang matang. Jadi tak sekadar mengejar citra, tetapi juga perhitungan ekonomi di masa depan.