tirto.id - Presiden Joko Widodo mendekatkan bibirnya ke telinga Presiden Xi Jinping yang duduk di sebelahnya saat makan malam para pemimpin dunia di KTT APEC, Beijing, 9 November 2014 lalu. Ia melontarkan sebuah pertanyaan penting yang akhirnya menjadi sebuah keputusan besar bagi Indonesia.
“Presiden Xi, mengapa Tiongkok bisa meloncat seperti ini, padahal kan dulu tertutup. Beri saya tiga poin supaya Indonesia bisa seperti Tiongkok," bisik Presiden Jokowi
Presiden Xi pun balik mendekatkan bibir ke telinga Jokowi. Ia membeberkan tiga kunci sukses negaranya. Pertama, partai yang harus bersatu. Kedua, Indonesia harus memiliki gagasan, ide, visi dan perencanaan jangka panjang. Ketiga, pembangunan infrastruktur yang harus dikebut.
"Koneksi antarpulau tidak boleh telat. Dia bilang ke saya, 'Kalau kamu tidak punya keputusan politis, semua jadi mahal sekali. Makanya segera diputuskan'," papar Presiden Jokowi. Kisah bisik membisik dua pemimpin negara Asia itu disampaikan Presiden Jokowi saat bertemu dengan Warga Negara Indonesia di Brisbane, Australia, selang empat hari kemudian.
Tiga pesan Presiden Xi tadi rupanya dipegang teguh Presiden Jokowi. Ia pun merombak APBN sehingga bisa mengalokasikan dana lebih banyak untuk infrastruktur. Pada APBN-P 2015, anggaran infrastruktur pun dinaikkan hingga menjadi Rp290,3 triliun. Ini merupakan anggaran infrastruktur terbesar dalam sejarah Indonesia. Terobosan ini diambil setelah Presiden Jokowi memutuskan untuk menghapuskan subsidi BBM, sehingga keuangan negara menjadi lebih longgar dan tidak terbebani oleh subsidi.
Pada APBN 2015, yang masih disusun oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, anggaran infrastruktur hanya ditetapkan Rp191,3 triliun. Angka tersebut lebih tinggi dari realisasi belanja infrastruktur dalam APBN 2014 yang sebesar Rp177,9 triliun.
Memasuki 2016, anggaran infrastruktur pada nota keuangan 2016 yang disampaikan Presiden Jokowi di Gedung DPR, pada 14 Agustus 2015, angkanya naik lagi menjadi Rp 313,5 triliun. Infrastruktur mendapatkan jatah 8 persen dari APBN 2016. Ada tiga sektor prioritas yang dicanangkan presiden dalam nota keuangan 2016, yakni pendidikan, kesehatan dan infrastruktur.
Mayoritas Tuntas 2018
Presiden Jokowi kemudian bergerak cepat menggenjot pembangunan infrastruktur di tahun 2016. Pada awal tahun, tepatnya 8 Januari 2016, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional ditandatangani. Tujuannya, mempercepat pelaksanaan proyek strategis agar kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi dan kesejahteraan mereka meningkat.
Adapun yang dimaksud dengan Proyek Strategis Nasional dalam Perpres adalah proyek yang dilaksanakan pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau badan usaha yang memiliki sifat strategis untuk peningkatan pertumbuhan dan pemerataan pembangunan, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah.
Guna mendukung Perpres 3/2016, di hari yang sama, Presiden Jokowi juga meneken Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Inpres ditujukan kepada para menteri kabinet, jaksa agung, kapolri, para gubernur, serta bupati dan walikota.
Presiden menginstruksikan para pejabat tersebut untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing, guna mendukung percepatan pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Termasuk menyelesaikan masalah dan hambatan yang muncul.
Berbagai infrastruktur tercantum dalam daftar 225 proyek tersebut. Mulai dari pembangunan jalan tol, jalan nasional strategis non-tol, jalur dan sarana kereta api antarkota dan dalam kota, revitalisasi dan pembangunan bandara baru, pelabuhan, program sejuta rumah, kawasan ekonomi khusus, hingga pembangunan waduk atau bendungan.
Proyek paling banyak, tercatat pembangunan bendungan atau waduk sebanyak 60 proyek (26,67%). Disusul jalan tol 47 proyek (20,89%) dan berikutnya kawasan ekonomi khusus 24 proyek (10,67%).
Sementara dari sisi wilayah, sebanyak 68 proyek (30,22%) berada di Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur. Rinciannya 25 proyek (11,11%) di Jakarta, 25 proyek (11,11%) di Jabar, dan 18 proyek (8%) di Jatim.
Satu hal lain yang perlu dicermati, dari 225 proyek tersebut adalah target waktu penyelesaiannya. Sebanyak 155 proyek (68,88%) harus selesai sebelum atau pada tahun 2019. Sementara sebanyak 118 proyek (52,44%) wajib tuntas sebelum atau pada tahun 2018. Sebanyak 50 proyek (22,22%) bahkan digenjot harus tuntas di tahun 2018.
Menangguk Hasil di 2019
Hal yang tak boleh dilupakan, tahun 2019 digelar Pemilihan Presiden untuk periode 2019-2024. Penentuan target penyelesaian proyek-proyek tadi, pastilah tak sekadar berdasar estimasi teknis pengerjaan. Menjadi wajar jika beberapa pihak menduga adanya hitungan-hitungan politis terkait proyek-proyek strategis tadi dengan kepentingan Pilpres 2019.
Hal itu lantas dikaitkan dengan sisi wilayah dengan proyek infrastruktur terbesar. Ketiga provinsi dengan jumlah proyek terbanyak, yakni Jabar, DKI Jakarta, dan Jatim, merupakan wilayah-wilayah yang memberikan sumbangan pemilih terbesar pada hajatan Pilpres 2014. Jabar terbesar dengan 23.697.696 pemilih, diikuti Jatim di posisi dua dengan 21.946.401 pemilih. Sedangkan DKI Jakarta, berada di urutan enam dengan 5.387.958 pemilih. Tapi harap dicatat, DKI Jakarta tetap vital sebagai ibu kota negara.
Mayoritas target penyelesaian proyek, yakni pada tahun 2019, agaknya juga dibaca oleh Muhidin Muhammad Said, Wakil Ketua Komisi V DPR yang membidangi infrastruktur.
“Saya kira semua sudah diperhitungkan,” kata politisi Partai Golkar ini, ketika ditanya tentang kaitan antara target penyelesaian proyek infrastruktur sebelum Pilpres 2019 dengan peluang menaikkan elektabilitas Jokowi.
Hal senada juga disampaikan Tarli Nugroho, peneliti ekonomi politik dari Institute for Policy Studies (IPS). Dia meyakini ada kepentingan politis Presiden Jokowi dalam 225 proyek tersebut, selain berbagai manfaat yang nantinya bakal dirasakan rakyat.
“Jelas secara politis ada kaitannya dengan Pilpres. Presiden Jokowi butuh legacy (warisan) ketika pemerintahannya berakhir. Yang jelas untuk kepentingan memperpanjang kekuasaan, namun sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Makanya proyek dipaksa selesai 2018,” katanya kepada tirto.id.
Masih menurut Tarli, incumbent memang berada pada posisi sangat diuntungkan, baik untuk Pilkada maupun Pilpres. Sebab mereka menguasai anggaran dan menguasai kewenangan untuk membuat prestasi mensejahterakan rakyat. “Dan benefit dari aktivitas incumbent ini secara tidak langsung memang bisa disebut kampanye. Tapi itu tidak bisa dipersalahkan,” katanya.
Lalu bagaimana tanggapan pihak Istana terkait tudingan adanya kepentingan politis di balik 225 proyek strategis nasional?
Johan Budi SP, juru bicara presiden mengatakan, pemilihan proyek-proyek tersebut dilakukan melalui beberapa kali rapat kabinet yang dihadiri oleh Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, para menteri kabinet kerja, serta lembaga terkait.
Jadi, apakah memang ada kepentingan Jokowi untuk Pilpres 2019? “Pembangunan dimaksudkan untuk kepentingan rakyat Indonesia, bukan untuk tujuan yang lain,” jawab Johan Budi diplomatis.
Pembangunan proyek infrastruktur bakal meningkatkan geliat perekonomian di berbagai pulau di negeri ini. Presiden Jokowi pun akan dikenang sebagai presiden yang menggenjot pembangunan infrastruktur selama masa kepemimpinannya. Kalaupun dia menangguk untung pada hajatan Pilpres 2019, seperti kata Tarli tadi, tentu tak bisa disalahkan. Toh nantinya masyarakat yang akan menentukan.
Penulis: Kukuh Bhimo Nugroho
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti