tirto.id - Kata “ekonomi” dan “pembangunan” menjadi dua kata kunci yang paling sering disebut Presiden Jokowi dalam tiga pidato yang disampaikan pada 16 Agustus 2017 di Gedung DPR/MPR. Dalam tiga pidato itu, Jokowi menyebut kata “pembangunan” sebanyak 78 kali dan “ekonomi” sebanyak 51 kali. Sedangkan “kerja”, yang menjadi jargonnya, diucapkan 20 kali.
Sidang Tahunan MPR merupakan agenda rutin tahunan yang biasanya dilaksanakan beberapa hari sebelum peringatan hari kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus. Presiden memiliki tiga kesempatan berpidato dalam acara itu: pidato tentang kinerja lembaga negara, pidato kenegaraan dalam rangka hari kemerdekaan Indonesia dan pidato penyampaian Rancangan Anggaran Pendapat dan Beanja Negara (RAPBN).
Dalam ketiga pidatonya tersebut, selain kata “pembangunan”, “ekonomi”, dan “kerja”, pria yang lahir di Surakarta 56 tahun lalu itu paling sering menyebut kata “peningkatan”(35 kali), “infrastruktur” (20 kali), “desa” (19 kali), “keuangan” (18 kali), “perbatasan” (17 kali), “pemerataan” (17 kali), dan “berkeadilan” (17 kali).
Meskipun kata “peningkatan” lebih banyak disebut dibanding “infrastruktur”, namun munculnya kata tersebut berkorelasi kuat dengan kata-kata seperti “kualitas”, “pelayanan”, “aktualisasi”, dan “akuntabilitas”. Kata-kata itu berkaitan dengan hal-hal penunjang pembangunan ekonomi dan infrastruktur.
Berharap Pada Infrastruktur
Selama tiga tahun terakhir, Jokowi fokus menggenjot pembangunan infrastrukstur. Dilihat dari segi anggaran, biaya yang digelontorkan Jokowi untuk infrastruktur mencapai sekitar seratus triliun lebih besar daripada yang pernah dikeluarkan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pada 2016, Jokowi merogoh Rp 313,5 triliun rupiah. Sedangkan pada 2014, tahun terakhir kekuasaan SBY, “penguasa” Cikeas itu mengucurkan dana hanya sebesar Rp 206,6 triliun.
Sementara itu, besaran anggaran infrastruktur dalam RAPBN tahun 2018 diperkirakan mencapai Rp409,0 triliun yang terdiri dari infrastruktur ekonomi sebesar Rp395,1 triliun, infrastruktur sosial sebesar Rp9,0 triliun, dan dukungan infrastruktur sebesar Rp4,9 triliun.
Total,terdapat 225 pembangunan proyek yang sedang digenjot Jokowi. Sebanyak 155 proyek (68,88%) harus selesai sebelum atau pada 2019. Sedangkan 118 proyek (52,44%) wajib purna sebelum atau pada 2018. Sebanyak 50 proyek (22,22%) di antaranya malah harus tuntas pada 2018.
Dibanding pidato kenegaraan Jokowi di tahun 2016, kata “infrastruktur” muncul lebih sedikit tahun ini. Tahun lalu kata “infrastruktur” muncul sebanyak 15 kali, sedangkan tahun ini, kata “infrastruktur” disebut sebanyak 5 kali. Sementara itu, kata “pembangunan” masih mendominasi pidato kenegaraan Jokowi. Tahun lalu Jokowi menyebutnya sebanyak 26 kali, dan tahun ini sebanyak 23 kali.
Kendati hanya disebut 5 kali, namun "infrastruktur" sesungguhnya bisa dibilang menjadi tulang punggung seluruh pidato Jokowi tahun ini. Pembangunan, pemerataan, dan ekonomi mesti dibaca dalam kerangka proyek-proyek infrastruktur yang sedang dikebut Jokowi.
Ekonomi-Pembangunan vs HAM-Papua
Jokowi juga memiliki cara tersendiri untuk menyelipkan kata “ekonomi” dan “pembangunan”. Ketika menyampaikan pidato kenegaraan, setelah mengucapkan salam dan penghormatan kepada para hadirin, Jokowi memulai pidatonya dengan penjabaran potensi dan tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia. Dalam pidato yang dapat dibagi setidaknya menjadi 10 bagian berdasarkan letak Jokowi menyebut kalimat “saudara-saudaraku…”, Presiden ke-7 Indonesia itu pun mengajak segenap elemen bangsa untuk menghadapi berbagai tantangan abad ke-21 dalam nafas Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
“Kita harus menyelesaikan semua masalah secara cepat,” tegas Jokowi.
Persis pada bagian ketiga pidato kenegaraan, Jokowi mulai menyinggung soal ekonomi dan pembangunan. “Pada tahun pertama Kabinet Kerja, Pemerintah telah meletakkan pondasi pembangunan nasional yang kokoh melalui transformasi fundamental perekonomian dan meletakkan kembali paradigma Indonesia sentris,” sebut Jokowi. Sejak itu, kata “ekonomi” dan “pembangunan” terus dilontarkan oleh Jokowi hingga akhir pidatonya.
Selama berpidato, Jokowi juga menyebut kedua kata tersebut beriringan dengan kata lain. Kata “kebijakan” dan “pemerataan” muncul seiring dengan disebutnya kata “ekonomi”. Sedangkan kata “pembangunan” sangat sering muncul bersamaan dengan kata “mempercepat”, “infrastruktur”, dan “manusia”.
Sejumlah kata, seperti “HAM” dan “Papua”, yang sempat hilang dalam pidato kenegaraan Jokowi pada 2016 muncul lagi di tahun ini. Akan tetapi, kata tersebut muncul tidak dalam kaitannya dengan janji penuntasan kasus pelanggaran HAM, perdamaian di Papua, dan kebebasan pers di Bumi Cenderawasih yang pernah dijanjikan Jokowi dalam pidato kenegaraan perdananya tahun 2015.
Di tahun ini, kata “HAM” hadir dalam kaitannya dengan diplomasi Kementerian Luar Negeri atas Myanmar.
“Dalam diplomasi internasional, salah satu keaktifan dan kepemimpinan Indonesia ditunjukkan dengan mendorong Myanmar untuk menyelesaikan konflik di Rakhine state melalui pembangunan yang lebih inklusif, menghormati HAM, dan melindungi semua komunitas,” sebut Jokowi.
Sementara itu, Jokowi menyebut “Papua” sebagai bentuk gambaran prestasi dari pemerataan pembangunan yang dilakukannya setahun terakhir.
“Bertahun-tahun Saudara-saudara kita di Tanah Papua harus membeli BBM dengan harga sangat mahal, harganya berpuluhpuluh kali lipat dengan harga yang dibeli oleh saudara kita di pulau Jawa atau Sumatera. Hal ini tidak boleh terjadi di Negeri Pancasila. Untuk itu, Pemerintah menerapkan kebijakan BBM satu harga, sehingga Saudara-saudara kita di Tanah Papua menikmati harga yang sama dengan harga di Jawa dan daerah lain di Indonesia,” tegas Jokowi.
Hal tersebut dapat dilihat dari hilangnya dokumen hasil investigasi Tim Pencari Fakta yang memuat temuan-temuan mutakhir seputar kasus pembunuhan Munir. Selain itu, sampai saat ini juga belum ada sikap lebih lanjut dari pemerintah soal penyelesaian Tragedi Semanggi I dan II, Trisakti, serta penghilangan paksa selama Orde Baru. Para terdakwa yang diadili terkait kasus tersebut di pengadilan militer adalah pelaku lapangan, sementara pelaku utamanya belum diadili.
Sedangkan soal kebebasan pers di Papua, saat ini pemerintah memberlakukan clearing house untuk menyaring nama-nama jurnalis yang akan masuk ke Papua. "Tanah Damai" yang dijanjikan Jokowi masih belum terealisasi. Sepanjang Agustus 2016-Agustus 2017, ada 16 kejadian penembakan di Papua oleh pihak kepolisian. Sebanyak 44 korban terluka, dan 3 orang tewas.
Penulis: Husein Abdul Salam
Editor: Zen RS