tirto.id - Hari ini Jokowi menyampaikan pidato kenegaraan yang ketiga sejak menjabat sebagai presiden. Dua pidato sebelumnya berlangsung pada 14 Agustus 2015 dan 16 Agustus 2016.
Sejumlah isu, prestasi, dan tantangan yang dihadapi pemerintah Indonesia disebut Jokowi dalam pidato yang disampaikan di depan sidang bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) itu. Menariknya, isu mengenai Papua dan penyelesaian kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang sempat disinggung Jokowi pada 2015 hilang dalam pidato 2016 dan juga raib dalam pidato 2017.
Dalam pidato kenegaraan 2015, Jokowi mengatakan pemerintah berkomitmen membentuk komite rekonsiliasi untuk pelanggaran HAM berat.
“Saat ini pemerintah sedang berusaha mencari jalan keluar paling bijaksana dan mulia untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di Tanah Air. Pemerintah menginginkan ada rekonsiliasi nasional sehingga generasi mendatang tidak terus memikul beban sejarah masa lalu,” sebut Jokowi.
Dalam pidato yang sama, Jokowi juga menyinggung persoalan Papua. Dia berharap kekerasan serta kerusuhan, seperti yang terjadi di Tolikara, tidak berulang di Negeri Cenderawasih itu. Katanya, dia berkomitmen membangun daerah paling timur tersebut dan ingin menjadikannya sebagai "Tanah Damai". Satu kalimat pidato mantan gubernur DKI Jakarta itu juga meraba soal kebebasan pers di Papua.
“Pemerintah memberikan akses bagi wartawan asing untuk masuk dan meliput di Papua,” tandas Jokowi.
Pada 2016, pidato Jokowi berpusat pada pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. “Tahun 2016 ini dapat disebut sebagai Tahun Percepatan Pembangunan Nasional. Kita harus melangkah menuju Indonesia maju,” sebut Jokowi. Dalam pidatonya, tidak ada laporan realisasi janji penuntasan kasus pelanggaran HAM, apalagi soal kebebasan pers di Papua.
Pidato Jokowi dalam sidang tahunan MPR 2017 terjadi hal serupa. Isu HAM, termasuk isu HAM di Papua, serta penegakan hukum, absen dalam pidato yang dibacakan Jokowi. Presiden yang mengenakan pakaian adat Bugis memang sempat menyebut Papua sebanyak dua kali, namun tidak menyentuh isu serius kondisi penegakan hukum dan HAM di Papua.
"Kita ingin rakyat di perbatasan Papua, bisa memiliki rasa bangga pada tanah airnya, karena kawasan perbatasan telah dibangun menjadi beranda terdepan dari Republik. Kita ingin rakyat Papua di pegunungan juga bisa menikmati harga BBM dan harga bahan pokok yang sama dengan saudaranya di wilayah lain Indonesia," ujar Jokowi.
Pembaharuan (dilakukan pukul 12.00 WIB): Sedangkan dalam pidato kenegaraan 2017, yang diucapkan setelah pidato tahunan sidang MPR, Papua disebut lima kali. Seluruhnya dalam konteks ekonomi dan pembangunan, bukan isu kekerasan dan HAM. Menariknya, dalam pidato kenegaraan 2017, Jokowi sekali menyebut kata HAM (hak asasi manusia).
"Dalam diplomasi internasional, salah satu keaktifan dan kepemimpinan Indonesia ditunjukkan dengan mendorong Myanmar untuk menyelesaikan konflik di Rakhine state melalui pembangunan yang lebih inklusif, menghormati HAM, dan melindungi semua komunitas," kata Jokowi.
Setelah ucapan itu, Jokowi menyebutkan beberapa langkah pemerintah terkait HAM namun seluruhnya menyangkut kasus-kasus HAM di luar negeri. Selain Myanmar, Jokowi juga menyebutkan para imigran dan kasus Palestina. Tidak ada ujaran tentang situasi dan kondisi HAM di dalam negeri.
Janji menyelesaikan kekerasan di Papua dan penuntasan kasus HAM yang diucapkan dalam pidato kenegaraan 2015 menghilang lagi, sirna ilang krtaning bumi, dari benak RI 1 itu.
Setengah Hati Menuntaskan Kasus Pelanggaran HAM
Publikasi Setara Institute pada akhir 2016 menyebutkan Indeks Kinerja HAM Indonesia terindikasi naik dari 2,45 pada 2015 menjadi 2,83 pada 2016. Ada kenaikan indeks, namun sangat tipis secara statistik, hanya sebesar 0,38.
Setara Institute menggunakan survei persepsi dengan menetapkan 202 responden ahli yang terdiri dari akademisi, akivis HAM, peneliti, dan tokoh masyarakat. Ada delapan poin yang menjadi fokus penelitian Indeks Kinerja HAM, beberapa di antaranya menyoal penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu dan kebebasan beragama/berkeyakinan.
Laporan Setara Institute menyebutkan indeks penilaian responden ahli terhadap penuntasan pelanggaran HAM masa lalu naik dari 1.72 pada 2015 menjadi 1.99 di tahun 2016. Terdapat kenaikan sebesar 0.27. Secara statistik, nilai tersebut juga tidak signifikan.
Menurut Setara Institute, tren positif yang mencuat dari penilaian para responden disinyalir karena pemerintah, sepanjang 2015 sampai 2016 mulai mengupayakan penyelesaian perkara pelanggaran HAM berat masa lalu. Misalnya, pada April 2016 pemerintah menyelenggarakan Simposium Nasional Tragedi 1965 yang mengusung tema: “Membedah Tragedi 1965: Pendekatan Kesejarahan”.
Simposium tersebut menghadirkan 200 orang yang terdiri dari para peneliti, pemerintah, korban dan terduga pelaku. Sejumlah dokumen hasil simposium pun telah diserahkan panitia kepada Menko Polhukam saat itu, Luhut Binsar Panjaitan. Namun setelah acara ini, tidak terihat lagi langkah serius dari pemerintah untuk menindaklanjuti hasil simposium.
Ada kesan simposium diadakan untuk menetralisir kegiatan International People’s Tribunal 1965 (IPT 65) di Den Haag, Belanda, yang juga memeriksa kasus pelanggaran HAM 1965. Indikasi itu bisa dibaca, misalnya, melalui pernyataan Luhut: "Saya ingin menghimbau pada teman-teman semuanya. Kalau ada masalah di bangsa kita ini, eloknya kita tidak perlu cari tempat lain. Kita selesaikan sebagai bangsa besar masalah ini. Tidak perlu kita lari ke tempat lain seolah-olah bangsa ini tidak bisa menyelesaikan masalahnya.”
Ironisnya, pada 2017, upaya menuntaskan persoalan 1965 bukan hanya mandek tapi seperti menemui jalan buntu. Pada 1 Agustus 2017, lokakarya evaluasi dan perencanaan terkait pelanggaran HAM 1965-1966 yang digelar IPT 65 didatangi aparat Kepolisian Resor Jakarta Timur, Koramil Duren Sawit, serta Lurah Jakarta Timur. Aparat mengintervensi panitia dan pengelola tempat acara untuk membatalkan kegiatan. Tuduhannya: kegiatan itu belum berizin. Padahal acara tertutup memang tidak memerlukan izin kepolisian.
“A Test of Our History”
Ketidakseriusan pemerintah menangani kasus pelanggaran HAM masa lalu merefleksikan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2004 kala memembentuk Tim Pencari Fakta (TPF) yang bertugas mengusut kasus pembunuhan Munir. Menurut SBY, kasus Munir adalah "a test of our history".
Sebenarnya, bukan hanya kasus Munir saja, tetapi semua kasus pelanggaran HAM, baik yang ringan ataupun yang berat, adalah "a test of our history". Jokowi pun di awal masa pemerintahannya berikhtiar menghadapi ujian tersebut dengan mencantumkan penuntasan kasus HAM sebagai salah satu agenda Nawa Cita.
"Kami berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang sampai dengan saat ini masih menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia, seperti Kerusuhan Mei, Trisakti-Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, Tragedi 1965," demikian tertulis dalam dokumen Nawa Cita.
Tapi mengingat keengganan pemerintah untuk menindaklanjuti simposium 1965, ketidakjelasan keberadaan dokumen TPF yang memuat temuan soal pembunuhan Munir, diangkatnya terduga pelanggar HAM Wiranto sebagai Menko Polhukam, dan tidak pernah hadirnya Pemerintah di Aksi Kamisan yang digelar oleh para keluarga korban penghilangan paksa, adalah sinyal bahwa pemerintah masih jauh dari kategori lulus dalam ujian tersebut.
Diterbitkannya Perppu Ormas dan dibubarkannya HTI memperlemah citra pemerintah dalam soal kebebasan berserikat di Indonesia.
“Pak Jokowi agar jangan ingkar janji. Janji politik yang dikampanyekan pada saat kampanye capres-cawapres benar-benar ditepati. Kami selalu menggelar spanduk tulisannya Aksi Kamisan Melawan Impunitas. Jadi sebenarnya apa yang dijanjikan pak Jokowi ini sejalan dengan apa yang kami perjuangkan,” ujar ibu dari salah satu korban tragedi Semanggi 1, Maria Katarina Sumarsih, seperti dilansir dari Antara.
Papua Yang Terlupa
Papua adalah kunci. Pada pemilihan presiden (Pilpres) 2014, 38 dari 40 distrik di Papua dan Papua Barat memenangkan pasangan Jokowi–JK. Di Papua saja, Jokowi meraih 2.026.735, sedangkan Prabowo hanya meraup 769.134 suara; unggul 1,2 jutaan. Raihan suara itu tidak bisa dianggap kecil. Dengan selisih 8 jutaan suara nasional antara Prabowo dan Jokowi, raihan suara 1,2 juta hanya dari Papua saja jelas tidak bisa dikecilkan.
Guna menjaga kepercayaan rakyat Papua, Jokowi mengucurkan Rp 7,61 triliun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk membangun infrastruktur di Papua dan Papua Barat tahun 2017. Sejumlah Dana Alokasi Khusus (DAK) sebesar Rp 2,18 triliun pun turut digelontorkan guna mendukung pelaksanaan program pemerintah.
"Istri saya ini namanya Iriana. Asal katanya dari Irian, Papua. Kenapa? Kakeknya menjadi guru di Papua selama bertahun-tahun. Jadi saya dan istri saya ini dekat dengan Papua, tidak bisa dipisahkan," kata Jokowi, Kamis (5/6/2014), saat berkampanye di Kampung Yoka, sekitar Danau Sentani, Papua, seperti dilansir dari Antara.
Namun, kala infrastruktur jalan dan listrik di Papua diklaim semakin maju, perlindungan HAM dan kebebasan pers di Bumi Cenderawasih masih jalan di tempat. Berdasarkan laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), ada 16 penembakan di Papua sejak Agustus 2016. Terakhir, seorang warga Kabupaten Deiyai, Papua bernama Yulianus Pigai tewas ditembak oleh Aparat Brimob Polres Paniai.
"Berarti manusia Papua tidak ada harkat dan martabatnya di dalam negara Republik Indonesia. Kami sudah kehilangan harapan untuk pemerintahan Indonesia. Sudah tidak ada kepercayaan lagi,” ujar mantan tahanan politik Papua, Filep Karma, saat menghadiri demonstrasi sebagai ungkapan kekecawaan terhadap tindakan represif Polres Paniai di depan Istana Negara, Jakarta Pusat, Selasa (8/8/2017).
Ditambah lagi, sejak 2012 hingga 2016, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Jayapura mencatat ada 63 kasus kekerasan terhadap jurnalis di Papua. Menurut AJI Jayapura, terjadi peningkatan kejadian kekerasan terhadap jurnalis di Papua selama dua tahun terakhir. Sepanjang 1 Januari hingga 2 Mei 2017 saja sudah terdapat tiga kasus kekerasan. Jumlah ini pun hanya didapatkan dari 11 kabupaten/kota, seperti Kabupaten Sorong, Kabupaten Manokwari, dan Kota Jayapura.
Selain itu, menurut laporan yang dikeluarkan Human Rights Watch, pemerintah Indonesia masih terus membatasi akses wartawan asing dan pemantau HAM ke wilayah tersebut. Pada Januari 2016, Kedutaan Besar Indonesia di Bangkok menolak permohonan visa peliputan ke Papua bagi koresponden media Prancis 24 cabang Bangkok Cyril Payen.
Wartawan internasional yang hendak meliput di Papua harus berurusan dan mengajukan permohonan izin lewat mekanisme clearing house, yang melibatkan 18 unit kerja dari 12 Kementerian yang berbeda. Hal ini bersebarangan dengan janji Jokowi untuk membuka akses bagi wartawan asin mengadakan liputan di Papua yang ia sampaikan dalam pidato kenegaraan 14 Agustus 2015.
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Zen RS