Menuju konten utama

Kejanggalan Raibnya Laporan TPF Pembunuhan Munir

Kasus pembunuhan Munir masih meninggalkan misteri hingga kini. Dalang pembunuhan masih belum terungkap meski dokumen hasil investigasi Tim Pencari Fakta kasus sudah diserahkan pada Juni 2005. Kini, dokumen itu justru dilaporkan hilang. Padahal keterlibatan aktor pembunuh Munir di lembaga negara dipaparkan di dalamnya.

Kejanggalan Raibnya Laporan TPF Pembunuhan Munir
Aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) menggelar aksi Kamisan memperingati 12 tahun terbunuhnya aktivis HAM Munir Said Thalib di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (8/9). Dalam aksi yang ke-458 tersebut JSKK kembali menagih janji Presiden Joko Widodo mengusut tuntas kasus pembunuhan Munir yang terjadi pada 7 September 2004 silam. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/foc/16.

tirto.id - Luapan kegembiraan terpancar dari wajah Suciwati, istri mendiang Munir Said Thalib, aktivis Hak Asasi Manusia (HAM). Sorak-sorai pun terdengar saat Ketua Majelis Hakim Evy Trisulo menyatakan mengabulkan gugatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) kepada Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg).

“Memerintahkan kepada termohon untuk menjalankan sesuai UU KIP berkekuatan hukum tetap,” ujar Evy Trisulo ketika membaca amar putusan, di ruang sidang lantai 5 Gedung PPI, Jakarta Pusat, pada Senin (10/10/2016).

KontraS memenangkan gugatan atas Kemensetneg terkait hasil Laporan Tim Pencari Fakta (TPF) kasus meninggalnya Munir yang tak kunjung diumumkan pemerintah kepada publik. Padahal sebenarnya, hasil investigasi TPF telah diserahkan sejak 24 Juni 2005.

KontraS sudah berkali-kali mendesak Kemensetneg membuka hasil investigasi TPF. Namun, lambatnya respons dari Kemensetneg akhirnya membuat mereka menempuh langkah hukum. Pada 28 April 2016, KontraS mengajukan gugatan keterbukaan informasi ke Komisi Informasi Pusat (KIP) dengan nomor register 025/IV/KIP-PS-2016.

Keputusan itu tentu membuat Suciwati lega, karena diharapkan bisa membuka tabir misteri pembunuhan Munir setelah 12 tahun berlalu. Ini karena sejak diserahkannya laporan oleh TPF yang dibentuk di era mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, baru kali ini ada putusan berkekuatan hukum untuk mendesak pemerintah mengumumkan laporan tersebut.

“Sebagaimana tercantum dalam penetapan kesembilan Keppres Nomor 111 Tahun 2004 tentang Pembentukan Tim Pencari Fakta kasus meninggalnya Munir adalah informasi yang wajib diumumkan untuk publik," kata Evy disambut sorak-sorai hadirin di ruang persidangan.

TPF Kasus Meninggalnya Munir memang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 2004. TPF dibentuk pemerintahan Presiden SBY, setelah adanya desakan dari berbagai kalangan agar menelusuri dugaan kejanggalan kematian Munir. TPF dibentuk guna membantu kepolisian mengusut keterlibatan oknum di lingkungan direksi PT Garuda Indonesia dan Badan Intelijen Negara (BIN). Bahkan saat itu, pengungkapan kasus pembunuhan Munir masuk dalam agenda 100 hari kerja Presiden SBY.

Laporan yang tuntas pada Juni 2005, ternyata tak pernah dibuka ke publik. Lebih parah lagi, laporan lengkap TPF itu hilang di Kemensetneg. Padahal menurut pengakuan Hendardi dan Usman Hamid, dua anggota TPF saat bersaksi di persidangan gugatan di KIP, laporan tersebut sudah diserahkan secara langsung kepada Presiden SBY di Istana Negara.

Ironinya, hilangnya laporan itu baru diketahui pada pertengahan Februari 2016. Ketika itu KontraS mendatangi kantor Sekretariat Negara buat meminta penjelasan dan mendesak segera diakukannya pengumuman hasil laporan TPF. Namun sayang, KontraS mendapatkan jawaban aneh. Lembaga negara itu justru sama sekali tidak memiliki dan menguasai laporan tersebut. Dalam tanggapannya kepada KontraS, Kemensetneg juga mengaku sama sekali tak mengetahui di mana keberadaan laporan TPF tersebut.

Tak Serius Ungkap Dalang Pembunuh Munir

Pernyataan Kemensetneg terkait dokumen TPF tentu menjadi tanda tanya bagi KontraS. Apalagi lembaga negara tersebut sejak awal mengetahui keberadaan TPF. Kemensetneg dipastikan mengetahui kegiatan operasional TPF yang dibentuk oleh presiden.

Pada poin kesepuluh Keppres Nomor 111 Tahun 2004 tentang Pembentukan Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir disebutkan, anggaran TPF berasal dari APBN melalui Sekretariat Negara. “Segala biaya untuk melaksanakan tugas Tim dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara melalui Sekretariat Negara,” begitu bunyi poin kesepuluh tadi.

Menurut mantan Sekretaris TPF Usman Hamid, laporan sudah diserahkan oleh Ketua TPF Brigadir Jenderal Marsudhi Hanafi kepada Presiden SBY pada 24 Juni 2005. Pertemuan resmi kenegaraan di Istana Negara itu pun dihadiri oleh tujuh pejabat negara. Mereka adalah Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Widodo AS, Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin, Mensesneg Yusril Ihza Mahendra, Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, Jaksa Agung Marzuki Darusman, Kapolri Jenderal Dai Bachtiar, Kepala BIN Syamsir Siregar, dan Juru Bicara Kepresidenan Andi Alfian Malarangeng.

Usman pun menilai janggal jika kini Kemensetneg justru mengaku sama sekali tak memiliki dan mengetahui di mana keberadaan dokumen itu. “Apa artinya keberadaan mereka di penyerahan itu kalau bukan untuk memahami subtansial isi laporan itu? Dan memahami itu perlu salinan,” ujar Usman Hamid saat berbincang dengan tirto.id, di ruang kerjanya Kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, pada Rabu (12/10/2016).

Masih menurut Usman, sejatinya secara legal hukum, posisi Kemsetneg bersinggungan dengan TPF. Dia juga sempat beberapa kali menemui Yusril yang kala itu menjabat sebagai Mensesneg untuk membicarakan anggaran buat TPF.

Pemerintah Harus Umumkan Dalang Pembunuh Munir

KontraS sebenarnya sudah berkali-kali mendesak pemerintah agar segera mengumumkan laporan hasil TPF. Sejak pemerintahan SBY, KontraS sudah beberapa kali mendesak pemerintah. Namun sayang, hingga dua kali menjabat, mantan Presiden SBY tak kunjung mengumumkan hasil temuan TPF.

“Sudah berapa kali. Pasca konpres 24 Juni itu sudah beberpa kali mendesak SBY untuk mengumumkan dokumen tersebut. Tapi sampai saat ini tidak pernah diumumkan,” ujar Kepala Divisi Hak Sipil KontraS, Putri Kanisia saat berbincang dengan tirto.id, pada Rabu sore (12/10/2016).

Putri pun mengatakan, desakan kepada pemerintah untuk segera mengumumkan hasil temuan TPF makin diperkuat ketika terdakwa kasus pembunuhan, yakni Pollycarpus Budihari Priyanto, menghirup udara bebas. Polly yang divonis majelis hakim dengan hukuman 14 tahun penjara, belakangan hanya menjalani 8 tahun kurungan.

Ditambah dengan bebasnya Polly, lambatnya pengumuman hasil investigasi TPF menjadi tanda tanya besar bagi KontraS akan keseriusan pemerintah mengungkap kasus pembunuhan Munir. Apalagi kata Putri, dugaan adanya pelaku lain selain Pollycarpus, juga berangkat dari hasil laporan investigasi TPF.

Menurut Putri, jika pemerintah segera mengumumkan hasil laporan TPF, diharapkan ada fakta baru yang bisa ditindaklanjuti untuk menuntaskan kasus pembunuhan Munir. “Apakah jangan-jangan ada nama atau lembaga-lembaga tertentu yang luput yang sebenarnya ada dalam dokumen tapi luput ditindaklanjuti,” ujar Putri.

Kini, hilangnya dokumen TPF menjadi perhatian banyak pihak. Pada Rabu pekan lalu, Presiden Joko Widodo memerintahkan Jaksa Agung untuk menelusuri keberadan dokumen tersebut.

Seperti dikutip dari laman setkab.go.id, Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi, Johan Budi Sapto Prabowo mengatakan, Presiden Jokowi memerintahkan Jaksa Agung HM Prasetyo untuk menelusuri dokumen tersebut, termasuk memperlajari hasil TPF untuk mencari bukti baru kasus pembunuhan Munir.

“Karena itu, menyikapi hal ini, Presiden tadi saya konfirmasi akan memerintahkan Jaksa Agung dan sekarang sudah diperintahkan,” kata Johan Budi, di Istana Negara.

Kembalinya dokumen TPF Pembunuhan Munir ini akan menjadi batu ujian bagi pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla untuk menunjukkan kepedulian mereka terhadap kasus pelanggaran HAM. Juga untuk memberikan keadilan bagi keluarga korban setelah 12 tahun lebih menanti.

Baca juga artikel terkait LAPORAN TPF atau tulisan lainnya dari Arbi Sumandoyo

tirto.id - Indepth
Reporter: Arbi Sumandoyo & Reja Hidayat
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti