Menuju konten utama

Filep Karma: Kami Sudah Tidak Percaya Pemerintah Indonesia

Aktivis HAM menuntut pemerintah membentuk tim investigasi independen guna mengungkap kasus kekerasan di Papua.

Filep Karma: Kami Sudah Tidak Percaya Pemerintah Indonesia
Tokoh kemerdekaan Papua, Filep Karma. RNZI / Koroi Hawkins

tirto.id -

Seratusan mahasiswa Papua berdemonstrasi di depan Istana Negara, Jakarta Pusat, Selasa (8/8/2017). Mereka mengungkapkan kekecewaan atas sikap represif aparat Polres Paniai yang berujung tewas Yulianus Pigai, warga Kabupaten Deiyai, Papua.

Filep Karma, mantan tahanan politik Papua, yang hadir dalam demonstrasi itu mengungkapkan aparat polisi harus bisa lebih bertanggungjawab menghadapi kerumunan massa.

"[Peristiwa ini] semakin menorehkan bekas-bekas luka. Jadi luka yang ada belum sembuh, dibuat lebih dalam lagi," ujarnya.

Karma juga mengatakan ketakpercayaannya terhadap pemerintah Indonesia, "Berarti manusia Papua tidak ada harkat dan martabatnya di dalam negara Republik Indonesia. Kami sudah kehilangan harapan untuk pemerintahan Indonesia. Sudah tidak ada kepercayaan lagi."

Kejadian penembakan terhadap Pigai terjadi pada 1 Agustus lalu. Saat itu warga meminta karyawan PT Putra Dewa Paniai untuk meminjamkan mobil. Pasalnya, seorang warga dalam kondisi kritis setelah tenggelam di sungai dan harus segera dibawa ke rumah sakit. Tapi, karyawan perusahaan menolak meminjamkan mobil.

Warga yang sakit itu kemudian tewas. Pihak keluarga beranggapan, jika karyawan perusahaan mau meminjamkan mobil, nyawa kerabat mereka kemungkinan masih bisa terselamatkan.

Warga lantas mendatangi kompleks perusahaan. Kericuhan terjadi. Aparat Brimob Polres Paniai menembak warga di lokasi. Satu warga tewas dan beberapa lain luka-luka.

Sebelumnya, Kabid Humas Polda Papua Kombes Ahmad Kamal membantah tuduhan bahwa polisi tidak melakukan tembakan peringatan sesuai prosedur. Menurutnya, sudah ada dua tembakan peringatan ke udara kemudian satu tembakan ke tanah. Peluru yang mengenai warga, klaim Ahmad Kamal, sebagai "peluru pantulan" dari tembakan ke tanah.

Baca laporan Tirto tentang perjuangan, eksploitasi, dan kekerasan di tanah Papua:

Amnesty International: Perlu Membentuk Tim Independen

Menanggapi kasus ini, Papang Hidayat dari Amnesty International Indonesia mengusulkan pembentukan tim penyelidik independen.

"Satu-satunya cara untuk mengurangi ketegangan adalah investigasi yang independen di luar kepolisian," ujarnya saat konferensi pers di kantor Amnesty di Menteng, Jakarta Pusat.

Berdasarkan hasil temuan lapangan, Amnesty mempertanyakan jenis peluru yang digunakan anggota Brimob Polres Paniai. "Kalau dilihat dari ukuran lukanya, sepertinya kami ragu kalau yang digunakan adalah peluru karet," kata Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.

Untuk itu, Usman mengatakan perlu dilakukan uji balistik guna menengahi saling tuding antara aparat kepolisian dan warga.

"Kita ingin temuan investigasi kasus ini nantinya dipublikasikan," tambah Usman.

Hal serupa disampaikan perwakilan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Tommy Albert. "Penting untuk melakukan sistem keamanan secara menyeluruh di Papua."

Menurut catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), ada 16 penembakan di Papua sejak Agustus 2016. Sebagian besar kasus ini belum selesai dan memenuhi rasa keadilan sampai sekarang.

Papua—atau kerap disebut Papua Barat—adalah wilayah paling timur Indonesia yang paling tertutup bagi kalangan pengamat kemanusiaan dan wartawan internasional. Sejak 1960-an pemerintah Indonesia menguasai kawasan ini lewat Jajak Pendapat yang dianggap rakyat Papua berlangsung curang. Akivitas politik damai orang Papua dibatasi, bahkan dihadapi oleh kekuatan bersenjata berlebihan oleh aparat keamanan Indonesia. Puluhan orang Papua dipenjara karena dituduh "makar".

Pada pemilihan presiden 2014 lalu, 38 dari 40 distrik di Papua dan Papua Barat memenangkan Joko Widodo, termasuk di Kabupaten Deiyai.

Baca juga artikel terkait PAPUA atau tulisan lainnya dari Satya Adhi

tirto.id - Hukum
Reporter: Satya Adhi
Penulis: Satya Adhi
Editor: Jay Akbar