tirto.id - Politik identitas berupa agama dan etnis diprediksi masih menjadi isu politik di pemilihan Presiden (Pilpres) RI di 2019 mendatang. Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu'ti menilai bahwa agama dan etnis walau bersifat sensitif, namun menjadi isu yang senantiasa laku diperdagangkan.
Namun, penggunaan isu agama tidak hanya berkaitan dengan Islam tapi juga digunakan oleh kelompok agama-agama lainnya. Sebab, menurutnya, Islam tidak menjadi agama mayoritas di semua daerah. Di tempat-tempat tertentu Islam merupakan agama minoritas, terangnya.
Dalam konteks ini, Abdul Mu'ti menjelaskan, yang diperlukan adalah bagaimana komunikasi dan kerja sama antara tokoh-tokoh lintas agama dan pemeluk lintas agama untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan agama dengan kepentingan politik.
“Orang memilih berdasarkan keyakinannya adalah sesuatu yang patut kita hormati. Tetapi yang menjadi masalah adalah ketika orang menggunakan agama untuk kepentingan politik, ini yang menjadi tantangan kita bersama," paparnya di Universitas Multimedia Nusantara, Kamis (19/10/2017).
Lebih jauh, Mu'ti mengingatkan jika Pilpres 2019 akan menjadi tantangan besar bagi praktik demokrasi dan politik di Indonesia, terutama jika dikaitkan dengan tiga kecenderungan isu politik yang sensitif.
"Selain bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius, otonomi daerah kerap melahirkan persoalan politik identitas, baik terkait identitas etnik, ras, agama, serta adanya sentimen daerah yang menguat," jelasnya.
Selain politik identitas yang diprediksi terus mewarnai konstalasi perpolitikan mendatang, Abdul Mu'ti juga menyebutkan kemungkinan terdapat praktik-praktik lama yang dianggap sukses yang akan digunakan kembali, khususnya politik uang.
Pria yang pernah menjadi anggota eksekutif Konferensi Asia Agama untuk Perdamaian itu turut menyayangkan jika politik cenderung didominasi oleh orang-orang yang memiliki “isi tas” ketimbang integritas dan kredibelitas.
"Saat ini kita menghadapi tantangan, yakni bagaimana masyarakat sipil berusaha memastikan partai-partai politik agar mencalonkan orang-orang yang memiliki integritas dan kredibelitas dan tidak sekedar mereka yang memiliki kapital semata,” lanjutnya.
Namun persoalan lain dilihat oleh Abdul Mu'ti adalah masyarakat cenderung apatis terhadap persoalan yang terjadi. Ia menilai apatisme yang terjadi akibat masyarakat merasa kehilangan harapan.
"Kita harus optimistis membangun demokrasi dengan mengawal dan berpartisipasi aktif. Dengan demokratisasi ini Indonesia akan menjadi lebih baik, mampu melahirkan national leadership bagi Indonesia," papar Mu'ti.
Penulis: Suparjo Ramalan
Editor: Yuliana Ratnasari