tirto.id - Politik identitas berbasis agama hari ini marak di Nusa Tenggara Timur (NTT). Namun, politik identitas agama di provinsi dengan mayoritas penduduk beragama Kristen (Katolik dan Protestan) ini sulit terdeteksi dalam kegiatan politik berskala besar seperti pada kampanye politik akbar Jokowi di Kupang pada 8 April 2019. Umumnya, eksploitasi politik identitas berbasis agama terjadi di kegiatan kampanye berskala kecil dan lokal sehingga luput dari liputan media.
Pilgub Jakarta 2017 masih menghantui NTT. Sebab, meningkatnya peran kaum Islamis dalam politik nasional di Jakarta justru semakin memperdalam politik identitas berbasis agama di kalangan warga kristen dan para calon legislatif (caleg) di NTT. Terlepas dari semua jalan dan jembatan serta reformasi kesehatan yang dibangun Jokowi selama masa jabatan pertamanya, terlepas dari delapan kali kunjungan Jokowi ke NTT dan janji untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan di NTT, amatan saya atas kampanye politik di NTT sejauh ini—setelah media massa yang berbasis di Jakarta terbang pulang bersama presiden—menunjukkan bahwa politik identitas adalah faktor utama yang menentukan kiblat dukungan elektoral rakyat NTT pada 17 April.
Efek Ahok
NTT sering dijuluki sebagai "Nusa Tinggi Toleransi". Berdasarkan indeks toleransi kota Setara Institute tahun 2018 untuk 94 kota di Indonesia, Kupang terpilih sebagai satu dari 10 kota paling “toleran” di Indonesia. Penentuan kota toleransi ini didasarkan pada kriteria-kriteria seperti upaya pemerintah mendorong dan melindungi kebebasan beragama, kesetaraan gender, inklusi sosial melalui peraturan hukum pemerintah dan kebijakan-kebijakan pemerintah terkait dengan toleransi beragama.
Namun, politik identitas agama tumbuh subur di NTT sejak pemilihan gubernur Jakarta 2017, tepatnya setelah mantan gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) kalah dan kemudian dipenjara atas tuduhan penistaan agama. Kala itu, masyarakat NTT setia mengikuti perkembangan kasus Ahok yang disiarkan oleh beberapa stasiun televisi nasional. Setelah Ahok dipenjara, sejumlah warga menyalakan lilin di beberapa titik di Kupang sebagai simbol empati terhadap Ahok—saudara mereka yang beragama Kristen dan telah dikriminalisasi serta dipenjara, terlepas dari kontribusinya untuk pembangunan Jakarta. Para pastor Katolik dan pendeta Protestan memimpin doa untuk menyalakan ribuan lilin di setiap kota di Flores, Alor, Sumba, Sabu, dan Rote. Bahkan beberapa orang di Kupang mengibarkan bendera Indonesia setengah tiang sebagai tanda protes.
Ketika Ahok kalah dalam pemilihan gubernur Jakarta 2017, beberapa orang Kristen di NTT menyerukan agar Ahok dicalonkan dalam pemilihan gubernur NTT 2018. Sejumlah politisi, termasuk bupati dan anggota DPRD, hadir di acara publik untuk menunjukkan simpati kepada para pendukung Ahok dan menyampaikan komentar-komentar politik, yang tentu saja berdampak positif terhadap dukungan elektoral mereka di Pilkada 2018 dan Pemilu 2019.
Para politisi di NTT sadar betul bahwa politik identitas dapat dijual untuk mendulang suara dari para pemilih Kristen dan simpatisan Ahok di NTT. Tahun lalu, ketika Pilkada semakin dekat, banyak orang kasak-kusuk tidak akan memilih kandidat dari Gerindra dan PAN untuk membalas dendam terhadap apa yang terjadi pada Ahok di Jakarta.
Pada Februari 2018, misalnya, saya menghadiri kampanye politik Andreas Hugo Parera, seorang politisi senior PDIP, di Lego, sebuah kampung kecil di Flores. Parera mengatakan kepada hadirin:
“Kita harus memilih di pemilu 2019 nanti. Jangan golput. Anda tahu, dalam semua survei untuk pemilihan gubernur Jakarta tahun 2017, Ahok selalu menang. Waktu itu kami semua percaya Ahok bakal menang Pilgub Jakarta 2017. Tapi Ahok ternyata kalah, karena para pendukung Ahok tidak memilih. Melihat hasil survei sebelum pemilihan, Ahok dikira akan menang tanpa dukungan suara mereka. Karena itumereka pergi berlibur ke Bali dan Singapura. Kita perlu belajar dari kasus Ahok untuk pemilihan umum 2019. Terlebih lagi, hari ini, ada sebuah gerakan—gerakanyang telah membawa Ahok ke penjara—untuk mengganti presiden. Tidak hanya gerakan ini ingin mengganti presiden, tetapi mereka juga ingin mengubah prinsip dasar bangsa kita, Pancasila. Orang-orang yang mendukung gerakan ini melihat Jokowi sebagai penghambat agenda mereka untuk mengubah dan mengganti Pancasila. Mereka sangat marah ketika Jokowi membubarkan HTI. Mereka ingin mendirikan negara khilafahmuslim di Indonesia. […] Karena itu, tolong jangan golput di pemilu 2019 nanti.”
Banyak orang di NTT memiliki kerabat di Jakarta yang turut memberi informasi tentang semakin memanasnya politik identitas berbasis agama di Jakarta. Seorang responden di Flores memberitahu saya ia sering mendapat telepon dari kerabatnya yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Jakarta. Si kerabat mengatakan: "Untuk calon parlemen nasional, pilih saja caleg beragama Kristen. Jangan memilih caleg dari agama yang lain. Kami diperlakukan dengan buruk di Jakarta. Karena itu, jauh lebih baik untuk memilih caleg beragama Kristen.” Seorang responden lain di Flores, yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil, memberi tahu saya bahwa kepala dinasnya yang sering dinas ke Jakarta meminta agar ia dan kerabatnya tidak memilih caleg beragama Islam, baik di parlemen lokal maupun nasional.
Dalam pemilihan gubernur NTT 2018, Esthon Foenay dan pasangannya Chris Rotok (Esthon-Chris) yang didukung oleh Gerindra dan PAN dirumorkan sebagai kandidat pendukung khilafah Indonesia. Padahal, sebelum rumor tersebut beredar, Lingkaran Survei Indonesia (LSI), mengunggulkan Esthon-Chris sebagai kandidat yang akan memenangi pemilihan gubernur NTT 2018 karena memiliki tingkat elektabilitas tertinggi dibandingkan pasangan kandidat yang lain. Namun, Esthon-Chris akhirnya kalah telak dalam pemilihan pada 27 Juni 2018.
Ketika Viktor Bungtilu Laiskodat dan pasangannya Yoseph Nai Soi mendeklarasikan pencalonan mereka untuk pemilihan gubernur NTT 2018 di Kupang, pasangan ini membacakan surat dari Ahok yang ditujukan kepada Yoseph. Surat itu dibacakan dengan lantang oleh adik perempuan Ahok, Vivi Leti Purnama. Pasangan ini akhirnya berhasil memenangkan pemilihan gubernur NTT 2018. Tak heran jika politisi lain pun ingin menggunakan taktik yang sama, yakni menunggangi popularitas Ahok untuk meraup suara dari masyarakat NTT. Yohanis Fransiskus Lema, misalnya. Yohanis adalah juru bicara Ahok dalam pemilihan gubernur Jakarta 2017 dan kini sedang bertarung untuk kursi DPR RI dari daerah pemilihan NTT. Dalam kampanyenya, Yohanis kerap kali mengidentifikasi dirinya sebagai orang yang dekat dengan Ahok.
Politik Identitas dan Pilpres 2019
Kampanye bernuansa politik identitas terus berlanjut dalam pemilihan presiden 2019. Institusi pendidikan berbasis agama berperan penting di NTT dan—dalam beberapa kasus—turut membantu kampanye Jokowi. Pada 25-26 Februari 2019, misalnya, kandidat wakil presiden Sandiaga Uno, pasangan calon Prabowo dalam pemilihan presiden 2019 dan lawan politik Ahok dalam pemilihan gubernur Jakarta 2017, mengunjungi Flores. Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero (STFK Ledalero), Maumere, Flores, salah satu perguruan tinggi Katolik terkemuka di Flores yang mendidik calon pastor Katolik, menolak rencana Sandiaga Uno untuk mengunjungi kampus. Menurut Ketua STFK Ledalero Otto Gusti Mandung, institusi pendidikan tinggi, termasuk kampus STFK Ledalero, harus bebas dari kampanye politik apapun.
Penolakan ini menuai kontroversi. Sebab, pada 26 Januari 2019, STFK Ledalero menyambut Johnny G. Plate, seorang politisi Katolik senior dari Nasdem yang memuji proyek infrastruktur Jokowi dalam sebuah kuliah umum. Satu bulan setelah menolak usulan Sandiaga Uno, pada tanggal 23 Maret 2019, STFK Ledalero kembali menyambut Ignasius Jonan, seorang birokrat senior Katolik nasional dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, yang juga memberikan kuliah umum tentang prestasinya di bawah pemerintahan Jokowi.
Menyadari bahwa mereka adalah kelompok minoritas dan gerakan politik Islam yang intoleran di Jakarta telah mempengaruhi sikap politik konstituen mereka di NTT, beberapa caleg muslim telah mengambil langkah strategis untuk beraliansi dengan mayoritas orang kristen di NTT. Para politisi muslim ini mendekati para pemimpin agama Kristen dan menunjukkan kepada publik bahwa mereka berbeda dengan kaum muslim yang bersikap intoleran di Jakarta. Sebagai contoh, Anwar Pua Geno, Ketua DPRD NTT dari Golkar, yang bersaing memperebutkan kursi DPR RI di daerah pemilihan Flores pada 2019, terlihat sering mensponsori dan menghadiri upacara dan kegiataan keagamaan Kristen di NTT.
Dalam riset terbarunya tentang kampanye di Maluku, Marcus Mietzner menemukan bahwa agama, suku, jaringan keluarga, dan basis geografis para caleg secara signifikan menentukan konstituen. Mengingat polarisasi agama dan suku yang terjadi sejak konflik agama akhir1990-an dan relatif seimbangnya komposisi muslim dan kristen, para caleg di Maluku enggan menggunakan tokoh nasional seperti Jokowi-Ma'ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga Uno dalam kampanye politik karena hal itu dapat berdampak negatif terhadap dukungan elektoral mereka. Pasalnya, kaum muslim cenderung untuk memilih Prabowo-Sandi dan orang Kristen cenderung memilih Jokowi-Amin. Alih-alih menjual tokoh nasional, para kandidat cenderung menjual hubungan mereka dengan tokoh-tokoh lokal guna meraup suara.
Hal yang sama juga marak di NTT. Warga lokal cenderung memilih berdasarkan afiliasi keluarga, agama, dan geografis. Tetapi, berbeda dengan Maluku, bagi para politikus di NTT—yang sebagian besar penduduknya memeluk Kristen—jualan tokoh politik nasional seperti Ahok dan Jokowi adalah cara yang efektif untuk mendulang suara. Dus, walaupun tanpa instruksi dari partai, para caleg secara sukarela menempatkan Jokowi —dan bahkan Ma'ruf Amin— di poster kampanye. Sementara itu, para caleg dari partai-partai oposisi, meskipun secara resmi terafiliasi dengan Prabowo-Sandi, cenderung tidak menyertakan foto Prabowo dan Sandiaga Uno di baliho mereka, tidak pula mempromosikan Paslon 02 selama kampanye door-to-door karena khawatir hal itu dapat mencederai perolehan suara.
Politik identitas dan Klientelisme
Di tengah semakin maraknya politik identitas, politik klientelisme tetap merajalela di NTT. Caleg petahana cenderung menyalurkan bantuan sosial dari pemerintah ke daerah atau keluarga dengan jumlah pemilih besar. Selain bantuan sosial, wujud lain politik klientelisme adalah memberikan uang tunai kepada para pemilih. Berdasarkan penelitian saya di NTT, politik uang beroperasi dalam bentuk pembelian suara dari para konstituen mereka, yang seharga Rp50.000–Rp200.000 per kepala.
Politik uang di NTT sebagian besar dimainkan oleh politisi kabupaten karena lebih murah bagi mereka ketimbang buat bagi politisi nasional dan provinsi. Untuk menjadi anggota parlemen kabupaten, seorang kandidat hanya membutuhkan 800-1000 suara. Walhasil, politik uang menjadi relatif terjangkau. Uang yang dibutuhkan dapat dipinjam dari bank dan ratusan koperasi di NTT hari ini.
Sebaliknya, karena jauh lebih mahal, politisi (caleg) provinsi dan nasional jarang terlibat jual-beli suara kecuali jika mereka sangat kaya. Para politisi (caleg) nasional dan provinsi biasanya menawarkan program politik berupa pembangunan proyek-proyek tertentu kepada calon pemilih, seperti pembangunan infrastruktur publik.
Di NTT, khususnya di Timor, politik klientelisme telah menjadi faktor penting dalam menentukan siapa yang akan terpilih sebagai anggota parlemen. Misalnya, Setya Novanto —seorang muslim yang berasal dari Jawa dan sangat kaya— menang di daerah pemilihan NTT pada tahun 2014 karena kepiawaiannya bermain politik klientelistik. Namun, kasus Ahok dan peningkatan gerakan politik Islam konservatif dalam tiga tahun terakhir telah memengaruhi pilihan politik para pemilih di NTT.
Karena itulah Pemilu 2019 di NTT memiliki karakter dan hasil yang berbeda dibandingkan dengan pemilu sebelumnya, di mana politik klientelisme sangat penting. Pada Pemilu 2019, para politisi yang berpihak pada Ahok dan Jokowi-Amin —dan kerap memerciki politik identitas berbasis agama dalam kampanye politik mereka di antara orang Kristen di NTT— akan mendapat dukungan elektoral yang signifikan.
------
Sebelum diterjemahkan oleh Levriana Yustriani, tulisan ini terbit dalam bahasa Inggris di New Mandala dengan judul "Campaigning in the shadow of Ahok in NTT". Penulisnya, Emilianus Yakob Sese Tolo, adalah peneliti untuk isu perubahan agraria, migrasi, dan desentralisasi. Selama Pemilu 2019, ia menjadi New Mandala Indonesia Correspondent Fellow yang menulis isu seputar pembangunan di Indonesia Timur.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.