tirto.id - Pemilu sudah usai dengan damai. Selama proses pemilu berlangsung, gejolak dan keributan relatif minim. Tingkat partisipasi pemilih untuk pemilu kali ini diberitakan sangat tinggi. Sekitar 80 persen pemilih menggunakan hak suaranya. Berarti, sekitar 154 juta pemilih mencoblos di 800 ribu tempat pemungutan suara (TPS).
Seperti kita tahu, rakyat memilih di lima pemilihan berbeda: DPRD Kab/Kota, DPRD Provinsi, DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden.
Kita belum tahu hasil resminya, meski beberapa lembaga sudah melakukan hitung cepat (quick count) yang menunjukkan Presiden Jokowi terpilih kembali. Namun, hasil hitung cepat ini cepat pula menuai kontroversi. Kubu Prabowo Subianto sudah mendeklarasikan kemenangan.
Saya membandingkan tujuh lembaga survei yang melakukan hitung cepat pilpres (Indo Barometer, Indikator, Median, Charta Politika, Litbang Kompas, LSI Denny JA, Poltracking). Rata-rata margin kemenangan Jokowi dari tujuh lembaga survei itu adalah 9,1 persen. Artinya, pemilih Jokowi bertambah hanya 2,91% dari hasil 2014.
Bukan besar nilai kemenangan Jokowi itu yang menarik perhatian saya. Hasil hitung cepat tersebut memperlihatkan kondisi kita sebagai bangsa pada saat ini.
Apakah yang bisa kita pelajari?
Ada pola yang saya kira sangat penting untuk diperhatikan. Baik Jokowi maupun Prabowo menambah suara sangat secara sangat signifikan di daerah-daerah di mana mereka menang pada 2014. Jokowi menang di daerah-daerah Jawa, berpenduduk Islam nominal (abangan) dan tradisional (tidak seluruhnya NU) dan di daerah-daerah minoritas.
Sementara itu, Prabowo menang di daerah-daerah Islam yang kuat. Dia menang di daerah-daerah luar Jawa. Prabowo kalah telak di propinsi-propinsi yang memiliki penganut Kristen yang cukup besar.
Kita akan melihat sebaran wilayah-wilayah kemenangan kedua calon presiden ini, menganalisis kemenangan ini, dan mencari jawaban mengapa ini terjadi.
Wilayah Prabowo
Secara umum, kemenangan Prabowo terjadi di provinsi-provinsi di Sumatra, Jawa bagian barat, Kalimantan Selatan, separuh Sulawesi, dan Nusa Tenggara Barat.
Ketujuh lembaga survei yang melakukan hitung cepat itu memberikan angka berbeda-beda untuk beberapa provinsi. Contohnya adalah Sumatera Utara, Bengkulu, Kepri, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Maluku, dan Maluku Utara. Sembilan provinsi ini bisa diperlakukan sebagai ‘too close to call’; jarak suara antara kedua kontestan terlalu dekat sehingga tidak bisa dipastikan mana yang unggul.
Yang jelas, ada 24 provinsi yang telah disepakati siapa pemenangnya. Kemenangan Prabowo tidak semuanya terjadi di wilayah-wilayah yang pernah ia menangkan pada tahun 2014. Dia juga menang di beberapa provinsi di Sulawesi yang dahulu dia kalah.
Prabowo menambah lebih dari 20 persen suara di Aceh dan Sumatera Barat. Dia menjadi lebih kompetitif di Sumatera Utara di mana dia kalah dengan lebih dari 10 persen pada 2014. Kemudian, dia menambah suara secara signifikan di Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan.
Prabowo juga kompetitif di Kalimantan Barat, di mana dia kalah lebih dari 20 poin pada 2014 dan kemungkinan memperkecil margin kekalahan di Kalimantan Tengah. Dia menang dengan suara 10 persen lebih besar dari kemenangannya pada 2014 di Kalimantan Selatan. Provinsi terakhir ini menarik karena dikenal sebagai basis Nahdlatul Ulama (NU). Keputusan Jokowi untuk menggandeng KH Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden rupanya tidak berpengaruh pada pemilih NU di sana.
Prabowo mampu membalik beberapa provinsi di Sulawesi. Pada 2014, dia hanya memperoleh Gorontalo. Kini, kejutan paling besar datang dari Sulawesi Selatan. Pada pilpres yang lalu, Prabowo kalah dengan margin 43%. Kini, dia menang kira-kira 10-15%. Provinsi ini memiliki pemilih terbanyak di Sulawesi. Selain itu, Prabowo menjadi makin kompetitif di Sulawesi Tengah. Sulawesi Tenggara juga mungkin akan jatuh ke kolomnya.
Nusa Tenggara Barat juga masih menjadi teritori Prabowo. Di sana, Prabowo berjaya. Selisih suaranya dengan Jokowi sekitar 30-40 persen. Dukungan Tuan Guru Bajang ke Jokowi hanya sedikit berpengaruh pada tingkah laku pemilih di provinsi ini.
Pertahanan terbesar Prabowo adalah Jawa Barat dan Banten. Jawa Barat adalah provinsi dengan pemilih terbesar di Indonesia. Pada 2014, selisih suara Prabowo dengan Jokowi adalah 20 persen. Tahun ini, keadaan diperkirakan tidak jauh berbeda. Sementara itu, di Banten, daerah asal Ma’ruf Amin, perolehan suara Prabowo malah diperkirakan akan naik. Pada 2014, Prabowo memenangi Banten dengan selisih 14,2 persen. Tahun ini, selisihnya melebar menjadi 20-25 persen.
Secara keseluruhan, Prabowo mampu memenangkan lebih banyak provinsi di tahun ini ketimbang 2014. Ia menang di provinsi-provinsi di luar Jawa yang karakteristik pemilihnya berbeda dengan di Jawa. Menariknya, wilayah-wilayah yang dimenangkan oleh Prabowo adalah daerah-daerah yang pada Pemilu 1955 dimenangkan oleh partai Masjumi dan partai-partai Islam modernis lainnya. Prabowo juga masih kompetitif di sebagian daerah NU sekalipun KH Ma’ruf Amin menjadi cawapres Jokowi.
Wilayah Jokowi
Dari sisi geoografi, perolehan kubu Jokowi-Amin sebenarnya agak menciut. Jokowi kehilangan setidaknya dua provinsi di Sulawesi. Juga menghadapi kemungkinan kekalahan di beberapa provinsi di Sumatera, khususnya di Sumatera Utara dan Bengkulu. Jokowi juga mungkin tidak akan mendapat Kalimantan Barat yang pada 2014 dikuasainya dengan selisih 20,8 persen.
Namun, Jokowi menambah suaranya di provinsi-provinsi minoritas. Dia hampir melipatgandakan perolehan suaranya di Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Utara. Dia juga menambah suara cukup besar di provinsi Papua dan Papua Barat.
Jokowi memperoleh suara yang fantastis di provinsi Bali. Di sini, Jokowi memperoleh lebih dari 90 persen suara. Perolehan Jokowi juga berbarengan dengan dominasi PDI Perjuangan di wilayah ini. Partai berlambang banteng gemuk ini memperoleh lebih setengah dari suara dalam pemilihan legislatif.
Namun, perolehan suara terbesar Jokowi terjadi di wilayah Jawa. Dia memenangkan Jawa Tengah dengan perolehan sekitar 77 persen. Dia juga memenangkan Jawa Timur dengan margin yang sangat meyakinkan, yaitu 32 persen.
Di Sumatera, Jokowi diperkirakan hanya menang di provinsi Lampung. Provinsi ini posisinya agak unik di wilayah Sumatera karena lebih dari 60 persen penduduknya adalah orang Jawa.
Sulit untuk tidak mengatakan bahwa Jokowi adalah presidennya orang Jawa. Etnis yang merupakan 40 persen dari penduduk Indonesia ini pada umumnya memilih Jokowi. Menurut exit poll yang dikeluarkan lembaga survei Indikator Indonesia, 65 persen pemilih Jawa menjatuhkan pilihannya kepada pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin.
Tentu saja, kemenangan telak Jokowi di Jawa Tengah dan Jawa Timur menghapus semua kemenangan Prabowo di provinsi-provinsi luar Jawa dan Banten. Di Jawa Barat, Jokowi mampu bertahan dan memperoleh suara yang tidak begitu berbeda dari 2014.
Elektorat yang Terbelah
Hasil hitung cepat ini, jika angka-angkanya tak banyak meleset, menunjukkan terbelahnya elektorat Indonesia. Kita melihat pengentalan dukungan terhadap kedua capres di daerah-daerah yang dimenanginya pada Pilpres 2014.
Pembelahan yang paling kentara adalah antara Jawa dan luar Jawa. Jokowi mengentalkan dukungan di wilayah-wilayah dengan mayoritas penduduk etnis Jawa, seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dia juga menang di provinsi dengan demografi orang Jawa ada dalam jumlah yang cukup signifikan, seperti di Lampung dan Kalimantan Timur.
Prabowo menang di daerah-daerah yang bisa dikategorikan non-Jawa. Dia makin menguatkan cengkeramannya di Aceh dan Sumatera Barat. Dia juga menang besar di Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan.
Situasi ini sangat mirip dengan hasil Pemilu 1995. Apakah yang menyebabkan keterbelahan ini?
Menurut saya, ini semua adalah akibat kampanye yang berkepanjangan dan penggunaan sentimen identitas secara besar-besaran oleh kedua kubu yang bertarung. Politik identitas ini diperkuat dengan penyebaran hoaks, berita palsu, dan penyesatan informasi lewat media sosial.
Hoaks dan berita palsu mendorong orang untuk berkawan hanya dengan mereka yang memiliki identitas sejenis. Tidak ada lagi afiliasi silang (cross-cutting affiliation), yang dalam ilmu sosiologi disebut sebagai fondasi masyarakat modern. Orang semakin terkonsolidasi dalam kubunya masing-masing dan memandang orang di luar kubunya sebagai lawan yang akan memusnahkannya.
Jika Anda pendukung Prabowo, maka berita-berita palsu akan dibikin untuk menguatkan keyakinan Anda bahwa pemerintahan Jokowi adalah pemerintahan represif yang akan menindas Anda. Jika Anda pendukung Jokowi, maka Anda akan dipaksa untuk melihat Prabowo sebagai ancaman yang eksistensial.
Selain itu demonisasi dan penyebaran ketakutan (fear mongering) juga berlangsung terus-menerus. Keduanya memiliki efek dalam mengentalkan elektorat. Ini pula yang menjelaskan mengapa angka orang yang memilih atau voters turnout sangat tinggi dalam pemilu kali ini.
Ketakutan juga membuat kalangan minoritas memilih pasangan Jokowi-Amin dengan jumlah yang amat fantastis. Politisasi identitas sangat kental di kalangan Kristen (Protestan maupun Katolik). Institusi-institusi keagamaan secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan menyerukan untuk memilih Jokowi karena ketakutan akan koalisi Prabowo.
Sementara itu, di pihak Prabowo, ada juga ketakutan yang teramat sangat bahwa jika lawannya berkuasa, maka mereka akan dihabisi.
Adakah Jalan Keluarnya?
Terus terang, saya tidak terlalu optimistis akan jalan keluar dari pembelahan politik ini. Pembelahan ini sudah sedemikian mendalam. Ia adalah hasil kerja dalam waktu yang lama. Kedua belah pihak memainkan sentimen untuk mengkonsolidasikan dukungan ke kubunya.
Akhir-akhir ini, kita melihat provokasi-provokasi yang dilakukan sebelum penetapan hasil pemilihan presiden. Kubu Prabowo Subianto mengeraskan tuduhan bahwa pilpres berlangsung dengan penuh kecurangan. Sebaliknya, pendukung presiden Jokowi tidak sedikit pun mengendorkan ejekannya kepada kubu Prabowo.
Kita berhadapan dengan polarisasi yang tidak pernah selesai. Kubu Prabowo tampak hendak mendelegitimasi hasil pemilu dengan menuduhkan berbagai kecurangan (kekeliruan perhitungan memang terjadi di sana-sini, tetapi belum ada bukti kuat bahwa ada kecurangan yang terorganisasi).
Untunglah ada sedikit harapan: partai-partai koalisi Prabowo tampaknya tidak ingin berdiri di depan dalam pertarungan pasca-pemilihan ini. Yang tampil lebih banyak adalah para “relawan” yang tidak berafiliasi pada partai mana pun juga. Di pihak Jokowi pun terjadi hal yang sama.
Soalnya sekarang ada pada kenegarawanan dua orang yang bertarung, yaitu Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Mereka harus menyembuhkan bangsa ini. Taktik dan strategi politik merekalah yang membelah bangsa ini. Hanya kepada merekalah kita bisa meminta tanggung jawab.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.