Menuju konten utama

Perwira Aktif TNI/Polri di Pilkada: UU Lemah & Krisis Kader Parpol?

UU Pilkada memungkinkan TNI dan Polri aktif ikut bersaing pada pemilihan kepala daerah di Indonesia.

Perwira Aktif TNI/Polri di Pilkada: UU Lemah & Krisis Kader Parpol?
Bakal Calon Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi bersama Bakal Calon Wakil Gubernur Musa Rajeckshah menyampaikan pidato pada deklarasi bakal Cagub - Cawagub Sumut, di Medan, Sumatera Utara, Minggu (7/1/2018). ANTARA FOTO/Irsan Mulyadi

tirto.id - Adanya jajaran anggota TNI dan Polri aktif sebagai kandidat gubernur/wakil gubernur dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 memiliki banyak catatan penting. Selain persoalan adanya indikasi para partai politik (parpol) krisis kader, juga karena lemahnya regulasi yang ada.

Anggota aktif TNI-Polri yang menempati posisi tinggi di institusi masing-masing punya kesempatan menjadi kontestan Pilkada mendapat lampu hijau dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

Selain itu, didukung oleh Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota.

Berdasarkan dua produk hukum itu, penyelenggara Pilkada dalam hal ini KPU diizinkan menerima dan menetapkan kandidat kepala daerah yang berlatarbelakang TNI, Polri, atau Pegawai Negeri Sipil (PNS) aktif.

Pasal 7 Ayat (2) UU Pilkada mengatur, kandidat kepala daerah dari TNI-Polri baru wajib menyatakan pengunduran diri dari instansinya sejak ditetapkan sebagai calon peserta. Sementara Pasal 69 PKPU tentang pencalonan di Pilkada mengizinkan anggota TNI, Polri, atau PNS menyerahkan surat keputusan (SK) pemberhentian maksimal 30 hari sebelum pemungutan suara dimulai.

Bagian terakhir itulah yang membuka lebar potensi adanya penyalahgunaan kekuasaan, misalnya, meminta bawahannya untuk turut serta berkampanye.

Baca juga:Perludem: Bawaslu Harus Awasi Laporan LHKPN Kandidat Pilkada

Harus Pensiun Sejak Lama

Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahyudi Djafar, punya pandangan lebih jauh. Ia menilai harusnya ada jeda yang panjang bagi anggota TNI-Polri yang hendak ikut Pilkada, kira-kira satu sampai tiga tahun sebelum mendaftar.

"Waktu itu cukup untuk melepas pengaruh-pengaruh mereka di institusi yang ditinggalkan," ujar Wahyudi.

Celah hukum ini dinilai sengaja dimanfaatkan, terlihat dari banyak yang mengumumkan ketertarikan menjadi kandidat kepala daerah jauh hari sebelum masa pendaftaran dibuka.

Ada empat perwira tinggi polisi yang maju di Pilkada serentak tahun ini. Mereka adalah Kepala Korps Brimob Inspektur Jenderal (Irjen) Murad Ismail, Kapolda Kalimantan Timur Irjen Safaruddin, Kapolda Sumatera Utara Irjen Paulus Waterpauw, dan Wakil Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan (Wakalemdiklat) Polri Irjen Anton Charliyan.

Kemudian, di petinggi TNI antara lain Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) Letjend Edy Rahmayadi juga telah lama mengumumkan keinginannya jadi kandidat. Kini ia telah resmi terdaftar sebagai calon Gubernur Sumatera Utara, Senin (8/1) lalu.

Kelima perwira tinggi itu belum ada yang mendapat SK pengunduran diri. Padahal secara etika, merujuk UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, anggota TNI dan Polri harus mundur jika hendak berpolitik praktis.

"Kalau situasi ini tidak dihentikan, agenda reformasi sektor keamanan akan mengalami kemunduran karena TNI dan Polri diberi ruang kembali [untuk] berpolitik. Ini juga masalah di masyarakat sipil sendiri yang merasa percaya diri dengan mencalonkan kandidat berlatar TNI dan Polri," kata Wahyudi.

Meski tidak bisa dibilang banyak dari 171 daerah yang menggelar Pilkada serentak di 2018, tapi majunya perwira TNI-Polri aktif di Pilkada cukup mengkhawatirkan. Wahyudi mengatakan bahwa tren keterlibatan TNI-Polri di gelanggang politik praktis menguat tepat 20 tahun setelah Soeharto mundur.

Tren tersebut menurutnya juga tidak bisa dilepaskan dari kualitas kaderisasi dan inkonsistensi sikap partai politik, yang pada masa awal reformasi lantang menyuarakan pemberangusan hak politik TNI-Polri lewat pencabutan dwi-fungsi ABRI.

"Mereka yang harusnya mencetak kader potensial justru malah memberi ruang kepada anggota TNI dan Polri aktif," kata Wahyudi.

Usulan Revisi UU Pilkada

Sampai sini satu-satunya cara yang mungkin bisa dilakukan oleh legislatif-eksekutif selaku pembuat peraturan adalah dengan merevisi UU Pilkada. Hal ini disepakati pimpinan organisasi non-pemerintah yang bergerak di bidang Hak Asasi Manusia (HAM) itu.

Misalnya Direktur Eksekutif Imparsial, Al Araf mengatakan selain revisi UU Pilkada dengan penekanan pada waktu mencalon dengan pensiun, yang juga perlu dilakukan adalah pembuatan aturan internal yang lebih ketat dari partai.

"Revisi UU Pilkada perlu dilakukan terkait menata aturan main soal TNI dan Polri," kata Al Araf.

"Ini PR bagi Parpol untuk benar-benar meletakkan dirinya sebagai pilar demokrasi," katanya.

Namun usulan tersebut dinilai tidak penting oleh anggota Fraksi PPP yang menjadi bagian dari Komisi II DPR RI, Achmad Baidowi.

Menurut Achmad, aturan mengenai anggota aktif TNI-Polri yang hendak berkontestasi di Pilkada telah cukup adil. Aturan itu menurutnya cukup ideal karena juga mengatur PNS. Ia menilai keterlibatan aparat dalam politik praktis tidak lebih dari sekadar ketakutan masyarakat sipil.

"Kalau kekhawatiran politisasi prajurit menurut saya berlebihan karena toh selama ini perwira tidak terlibat politik praktis. Mereka mau mengerahkan siapa? Memang bisa jadi mengerahkan keluarganya tapi itu tidak ada jaminan," katanya kepada Tirto.

Ia mengatakan bahwa dugaan TN-Polri tidak netral juga semata ketakutan yang tidak berdasar. Sebab menurutnya selama ini tidak banyak kandidat kepala daerah berlatar TNI-Polri yang kemudian menang dari kandidat dari sipil.

Hal ini membuktikan bahwa tidak ada yang namanya mobilisasi. "Jangan juga salahkan partai. partai itu siapa pun yang berpotensi menang ya didukung karena kita ikut Pilkada mau menang. Kalau tidak ada figur sendiri, ya yang bagus bahkan mantan wartawan pun bisa kita dukung," katanya.

Baca juga artikel terkait PILKADA SERENTAK 2018 atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Politik
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Rio Apinino