Menuju konten utama

Pertarungan di Pilgub Jabar-Jatim Berimbas untuk Jokowi

Kepala daerah yang terpilih di dua daerah tersebut akan menentukan dukungan terhadap calon presiden yang akan maju.

Pertarungan di Pilgub Jabar-Jatim Berimbas untuk Jokowi
Presiden Joko Widodo berpidato saat pembukaan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar, di Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta, Senin (18/12/2017). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Hasil pilkada serentak 2018 akan berpengaruh kepada kontestasi pemilu presiden (Pilpres) 2019, terutama untuk provinsi-provinsi yang selama ini menjadi barometer politik nasional, seperti Jawa Timur (Jatim) dan Jawa Barat (Jabar). Kepala daerah yang terpilih di dua daerah tersebut akan menentukan dukungan terhadap calon presiden yang akan maju.

"Posisi kepala daerah cukup menentukan bagi dukungan saat Pilpres," kata Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research Centre (SMRC) Djayadi Hanan dalam diskusi dan rilis survei bertajuk Tahun Politik 2018: Kekuatan Partai dan Calon Presiden, di Kantor SMRC, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (2/1/2018).

Analisis ini berdasarkan apa yang terjadi pada Pilpres 2014. PKS sebagai pemenang Pilgub Jabar 2013 menjadi pendukung Prabowo Subianto dan sukses menyumbangkan suara yang signifikan dari provinsi tersebut. Saat itu, Prabowo mengungguli Jokowi dengan perolehan suara 14.167.381 atau 59,78 persen. Sementara, Jokowi hanya mendapatkan suara 9.530.315 atau 40,22 persen.

Apa yang terjadi di Jabar berbanding terbalik dengan Jatim. Saat itu Demokrat dalam posisi netral atau tidak menentukan sikap di tingkat nasional. Sementara, Demokrat menjadi partai pemenang di Pilgub Jatim 2013. Di Jatim, Jokowi memperoleh 53,17 persen atau 11.669.313 suara. Sedangkan, Prabowo memperoleh 46,83 persen atau 10.277.088 suara.

Peta Pilpres 2019 Tak Jauh Berbeda

Hal serupa, kata Djayadi, tidak akan berbeda jauh pada Pilpres 2019 mendatang. Dalam survei yang dilakukan SMRC pada Desember 2017 dengan 1.220 responden di seluruh Indonesia, masih menempatkan Jokowi dan Prabowo sebagai dua kandidat capres terkuat.

Jokowi dalam survei semi terbuka mendapat 53,8 persen suara, sedangkan Prabowo mendapat 18,5 persen suara. Jauh mengungguli sosok-sosok lainnya seperti Anies Baswedan yang hanya mendapatkan 1,7 persen dan Hary Tanoesoedibjo yang hanya mendapatkan 1,3 persen dan berada dalam lima besar hasil survei SMRC.

Sehingga, menurut Djayadi, hubungan posisi kepala daerah dan perolehan Pilpres 2014 lalu masih relevan untuk digunakan sebagai analisis secara kualitatif untuk Pilpres 2019 mendatang, meskipun tidak bisa dianggap sebagai pola berlanjut.

Yang membedakan dari 2014, kata Djayadi, pengaruh Jokowi di masyarakat Jabar sudah melampaui Prabowo lantaran berposisi sebagai petahana dan kinerjanya diterima masyarakat Jabar selama Jokowi menjabat sebagai presiden. "Kalau tidak salah sekitar 50 persenan lebih penerimaan Jokowi (di Jabar)," kata Djayadi.

Posisi ini membuat Jokowi bisa dipilih kembali masyarakat, apalagi jika dia mampu meningkatkan performa kinerjanya di sisa masa jabatannya. "Kalau kinerjanya bagus, terutama di bidang ekonomi dan politik keamanan, maka dia punya kecenderungan untuk dipilih kembali," kata Djayadi.

Riset SMRC pada Desember 2017 ini juga memperlihatkan, 76 persen responden menyatakan yakin dengan kemampuan Jokowi memimpin. Angka ini meningkat dari bulan September yang hanya sebesar 72 persen.

Penilaian atas kinerja menteri Jokowi juga menunjukkan tren yang meningkat menjadi 66 persen responden menyatakan puas dengan kinerja menteri Jokowi, lebih tinggi 4 persen dari bulan September 2017.

Sosok Yang Selaras dengan Jokowi

Untuk meningkatkan performa tersebut, menurutnya, dibutuhkan pula sosok kepala daerah yang bisa selaras dengan Jokowi lantaran jika kepala daerah selaras dengan pusat akan dapat mempercepat proses pembangunan.

Dari sosok-sosok yang berkontestasi di Pilgub Jabar 2018, Djayadi menilai Ridwan Kamil memiliki kedekatan dengan Jokowi. Hal itu, menurutnya, terlihat dari beberapa momen yang menunjukkan keduanya kerap bersama.

"Tapi PDIP kan lain kebijakannya. Sebagai partai terbesar dia kan enggak mau hanya jadi pendukung, bukan pengusung," kata Djayadi.

Sementara untuk Pilgub Jatim, Djayadi menyebut, sosok Syaifullah Yusuf atau Gus Ipul dan Khofifah Indar Parawansa sama-sama bisa bersinergis dengan Jokowi di Pilpres 2019.

"Karena baik Gus Ipul maupun Khofifah dianggap bukan orang yang oposisi dengan Jokowi. Jadi siapapun yang menang minimal tidak membahayakan posisi politik kepada presiden," kata Djayadi.

Secara terpisah, politisi PDIP Maurarar Sirait menyatakan PDIP mengedepankan kepentingan rakyat dalam mencari sosok untuk diusung dalam Pilgub Jabar dan Jatim dan tidak hanya berpatokan pada sosok yang menguntungkan Jokowi di Pilpres 2019.

"Pilkada itu demi kepentingan rakyat," kata Maurarar.

Ketua Taruna Merah Putih ini pun menyatakan belum ditentukannya sosok yang diusung PDIP di Pilgub Jabar sampai saat ini, karena masih dalam proses memilih yang selaras dengan kepentingan rakyat.

Perihal partai koalisi lain yang telah menyatakan dukungan pada sosok yang berbeda-beda, pun menurut Maurarar tidak masalah. Seperti halnya PPP, PKB dan Nasdem yang mendukung Ridwan Kamil di Jabar dan Golkar dan Nasdem yang mendukung Khofifah Indar Parawansa di Jatim, sementara mereka mendukung Syaifullah Yusuf.

"Beda dong. Kan isu lokal tingkat dua, di provinsi dan nasional juga berbeda. Saya yakin nanti semuanya akan menyatu," kata Maurarar.

Berbeda dengan Maurarar, Ketua DPP Golkar Happy Bone menyatakan Golkar sangat mempertimbangkan suara Jokowi di 2019 dalam penentuan dukungan di Pilgub Jabar dan Jatim.

Menurut Happy, salah satu yang membuat rekomendasi kepada Khofifah sebagai cagub Jatim cepat dikeluarakan adalah karena yang bersangkutan dianggap bisa selaras dengan Jokowi.

"Bu Khofifah menterinya Pak Jokowi. Dulu juga jadi timsesnya Pak Jokowi. Kami sebagai partai pendukung Pak Jokowi tidak ada alasan untuk tidak mendukungnya," kata Happy.

Pertimbangan yang sama juga digunakan Golkar dalam Pilgub Jabar. Happy bilang, Golkar sampai saat ini masih terjebak dalam dilema menentukan dukungan. Di satu sisi Dedi Mulyadi sebagai calon yang akan mereka usung sudah merasa cocok dengan Deddy Mizwar, tapi pada lain sisi, Demokrat belum mau diajak bersama-sama untuk mendukung Jokowi di Pilpres 2019.

"Kami sedang berusaha agar Demokrat mau berkomitmen mendukung Jokowi di 2019. Fokus kami itu," kata Happy.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Politik
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Mufti Sholih