tirto.id - Basuki Tjahaja Purnama cukup mujur. Setelah Joko Widodo resmi memenangi Pemilihan Presiden, dia pun secara otomatis naik jabatan dari wakil Gubernur menjadi Gubernur DKI Jakarta. Tepat pada 19 November 2014, Ahok dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta. Ahok, begitu sapaan akrabnya, tidak perlu susah payah untuk menempati posisi itu.
Seandainya Ahok dulu maju langsung sebagai Gubernur Jakarta, mungkin kecil sekali kemungkinannya dia akan menang dalam Pilkada. Ini mengingat ada dua sentimen yang tidak bisa disingkirkan dari dirinya, non muslim dan keturunan Tionghoa.
Sebelum Ahok, Hendrik Hermanus Joel Ngantung sudah lebih dulu beruntung. Pada tahun 1960 pria kelahiran Manado yang lebih dikenal dengan nama Henk Ngantung itu ditunjuk oleh Presiden Soekarno sebagai Deputi Gubernur DKI Jakarta atau setara dengan Wakil Gubernur pada saat ini.
Pada saat itu, terjadi banyak penolakan. Salah satunya karena latar belakang Henk yang merupakan seorang pelukis dan non muslim plus bukan Jawa. Namun, Soekarno tetap menunjuk Henk karena ingin menjadikan Jakarta sebagai kota budaya. Soekarno percaya dengan sentuhan jiwa seni Henk, hal itu bisa terwujud.
Pada 1964, Soemarno Sosroatmodjo yang saat itu menjadi Gubernur diangkat Soekarno menjadi Menteri Dalam Negeri. Secara otomatis Henk pun menjadi Gubernur Jakarta menggantikan Soemarno. Henk pun tercatat menjadi Gubernur Jakarta ke tujuh. Karya Henk yang sampai sekarang masih ada yakni Tugu Selamat Datang. Henk merupakan pembuat sketsanya. Selain itu, lambang DKI Jakarta juga lahir dari tangan Henk, sayangnya sampai sekarang hal itu tidak diakui Negara.
Sejarah Jakarta, Sejarah Pendatang
Harus diakui, Jakarta sejak dulu memang menjadi daya tarik bagi para pendatang, bahkan untuk urusan pemimpin Jakarta, menjadi perebutan para pendatang. Dalam sejarah Jakarta, tercatat hanya dua gubernur saja yang memang merupakan kelahiran Jakarta. Dua gubernur itu yakni Soerjadi Soedirdja gubernur ke-13 dan Fauzi Bowo gubernur ke-15. Selebihnya adalah pendatang.
Gubernur Jakarta pertama sendiri, Raden Suwiryo merupakan orang Wonogiri. Sebelum menjadi gubernur, Suwiryo menjadi wakil Gubernur pada masa pendudukan Jepang. Begitu Jepang kalah, dia pun langsung diangkat menjadi Gubernur Jakarta pertama di bawah bendera republik Indonesia.
Suwiryo sempat menjadi Kepala Urusan Kependudukan pada saat Ibukota pindah ke Yogyakarta. Daan Jahja pun menggantikannya sebagai gubernur militer Jakarta. Daan merupakan kelahiran Padang Panjang, Sumatra Barat. Pada masa Republik Indonesia Serikat, Suwiryo kembali diangkat menjadi gubernur Jakarta.
Gubernur keempat Jakarta, Sjamsuridjal juga bukan merupakan orang Jakarta. Sama seperti Jokowi, Sjamsuridjal pernah menjabat sebagai Walikota Solo pada tahun 1946. Dia kemudian hijrah ke Jakarta dan dipercaya Soekarno menjadi gubernur Jakarta.
Sjamsuridjal kemudian digantikan oleh Sudiro, pria kelahiran Yogyakarta. Sebelum menjadi Gubernur Jakarta pada tahun 1953–1960, Sudiro terlebih dahulu menjadi Gubernur Sulawesi pada tahun 1951–1953. Sudiro adalah Gubernur yang mengeluarkan kebijakan memecah wilayah Jakarta menjadi tiga kabupaten yaitu Jakarta Utara, Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan. Sistem Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) juga merupakan gagasannya.
Gubernur keenam hingga ke-12 berturut yakni Soemarno Sosroatmodjo merupakan kelahiran Jember, Henk Ngantung kelahiran Manado, kemudian Soemarno kembali menjabat, lalu digantikan Ali Sadikin kelahiran Sumedang, Tjokropranolo kelahiran Temanggung, Soeprapto kelahiran Surakarta, Wiyogo Atmodarminto kelahiran Yogyakarta.
Gubernur ke-13 yakni Soerjadi Soedirdja menjadi putra Jakarta yang pertama kali menjadi gubernur di Jakarta. Dia kemudian digantikan Sutiyoso yang merupakan kelahiran Semarang. Sepuluh tahun menjabat, Sutiyoso digantikan oleh Fauzi Bowo. Fauzi Bowo pun menjadi putra Jakarta kedua yang menjadi Gubernur Jakarta. Namun, pria yang akrab dipanggil Foke itu pun tumbang ketika bertarung dengan Jokowi pada pilkada 2012.
Para Jenderal Penguasa Jakarta
Selama 17 kali pergantian gubernur di Jakarta, militer memiliki pengaruh yang kuat. Terbukti selama 17 kali itu, delapan gubernur di antaranya berasal dari militer. Pertama ada Daan Jahja, yang menjadi gubernur kedua Jakarta saat ibukota pindah ke Yogyakarta. Jejak Daan ini diteruskan oleh Soemarno yang menjadi gubernur ke enam dan ke delapan.
Begitu orde lama digusur oleh orde baru, semua gubernur yang menjabat di Jakarta adalah dari militer. Gubernur Jakarta yang dianggap paling kontroversial, Ali Sadikin merupakan Letnan Jendral dari Angkatan Laut. Jejak Bang Ali kemudian dilanjutkan oleh Letnan Jenderal TNI (Purn) Tjokropranolo atau yang akrab dipanggil bang Nolly.
Pengganti bang Nolly adalah Soeprapto yang pernah menjadi Panglima Kodam XVI/Udayana tahun 1970-1972. Selanjutnya Soeprapto digantikan Letjen Wiyogo Atmodarminto. Wiyogo kemudian digantikan oleh Jenderal Soerjadi Soedirdja.
Pada tahun 1997, Letjen Sutiyoso menjadi penerusnya. Pria yang kini menjadi Kepada BIN ini menjadi gubernur Jakarta terakhir yang berlatar belakang militer. Setidaknya untuk saat ini. Sutiyoso kemudian digantikan oleh Fauzi Bowo yang merupakan mantan Sekretaris Daerah.
Sementara jika dilihat dari partai politik, Partai Nasional Indonesia (PNI) sempat dua periode berkuasa dengan gubernurnya Suwiryo, Masyumi pernah berkuasa selama satu periode dengan gubenur Sjamsuridjal, Parta Demokrat berkuasa satu periode pada masa Foke, PDIP sempat mencicipi ketika Jokowi menjadi Gubernur, pun juga Gerindra, sebelum akhirnya Ahok memutuskan keluar dari Gerindra.
Selain dari partai, Jakarta juga pernah memiliki gubernur non partai dan non militer yakni Sudiro dan Henk Ngantung. Sudiro banyak terlibat didunia pendidikan, sementara Henk Ngantung adalah seorang seniman. Jika melihat latar belakang para gubernur Jakarta, semuanya sangat bervariasi. Militer, Partai Islam, Partai Nasionalis bahkan seniman pun pernah. Hanya satu yang belum pernah dimiliki Jakarta, yakni gubernur perempuan.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti