Menuju konten utama

Peluang Petani Kakao Nglanggeran DIY Bisa Tembus Ekspor ke Swiss

Heri bersama para petani kakao mengaku kini dapat mengelola kakao tak sekadar menjadi bubuk saja, tetapi lemak cokelat, bahkan bisa diekspor.

Peluang Petani Kakao Nglanggeran DIY Bisa Tembus Ekspor ke Swiss
Heri Yulianta sedang memperlihatkan perkebunan kakao di pekarangan rumahnya. tirto.id/Dwi Aditya Putra

tirto.id - Sinar matahari menyala menembus dedaunan pekarangan rumah milik Heri Yulianta. Di tanah tidak begitu luas, tanaman kakao tampak berjejer bersamaan dengan jenis lainnya. Pepohonan yang sudah tua itu, ditumbuhi ratusan buah berkelir merah menyerupai pepaya kecil dan siap untuk dipanen.

Heri adalah petani warga Dusun Doga, di Nglanggeran, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang masih mempertahankan ladang pekarangan rumahnya digunakan sebagai media tanam kakao. Kawasan ini, memang dikenal sebagai daerah penghasil kakao dan cokelat.

"Basic saya adalah petani warisan orangtua, sudah ada tanaman kakao tapi sempat tidak terurus," ujar pria berusia 29 tahun itu saat ditemui di karangan rumahnya, Kamis (2/5/2024).

Daerah Gunungkidul merupakan sumber penghasil kakao ke-2 di DIY, yang memiliki luas tanaman kakao sebesar 1.116,7 hektare (ha) dengan total produksi rata-rata 0,75 ton/ha. Desa Nglanggeran menjadi salah satu potensi penghasil perkebunan kakao.

Total luas perkebunan kakao di desa ini sebenarnya tak begitu luas, hanya 10,2 hektare (ha), atau sekitar 5.325 pohon kakao yang dikelola oleh 96 warga. Dari pohon tersebut, yang berbuah juga hanya sekitar 3.000 pohon dengan produksi 1,5 - 2 kuintal biji kakao per bulan.

Sebagai petani generasi ketiga, Heri sadar betul potensi tanaman kakao ada di desanya. Sedikit demi sedikit, ia mengubah seluruh pohon kakao warisan orangtuanya menjadi tanaman berpenghasilan. Biji kakao di pekarangan rumahnya kini menyumbang sekian persen dari seluruh total produksi di desa Nglanggeran.

"Dulu bertani malu. Sekarang justru jadi pendapatan utama ketika [kita] upayakan itu hasilnya enggak kalah," ujar dia.

Heri Yulianta

Heri Yulianta sedang memperlihatkan perkebunan kakao di pekarangan rumahnya. tirto.id/Dwi Aditya Putra

Heri memang bukan petani tulen. Sebelum terjun sebagai petani kakao, ia merupakan salah satu guru di SMP Negeri 2 Paliyin, di Singkil, Giring, Paliyan, Gunungkidul. Namun, karena belakangan biji kakao di desanya berhasil memikat wisatawan mancanegara, ia akhirnya memutuskan untuk membagi waktu: sebagai seorang guru dan petani.

"Untuk kakao urusnya seminggu sekali, apalagi sekarang kakao harga lagi naik," ujar dia.

Heri bercerita, pada 2018-2019 harga biji kakao sempat anjlok sekitar Rp10 ribu per kilogram (kg). Setelah mendapatkan binaan dari Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) atau dikenal dengan nama Indonesia Eximbank harganya mulai meningkat menjadi Rp50 ribu-Rp60 ribu.

"Ini sudah luar biasa satu dua tahun ini naiknya," ujar Heri.

Mendobrak Ekspor Kakao

Ketua Badan Usaha Milik Desa (BumDes) Desa Nglanggeran, Ahmad Nasrodin, mengatakan harga kakao saat ini tidak lepas dari peran LPEI yang menaruh perhatian lebih pada komoditas ini. Belakangan lembaga tersebut ikut melakukan pembinaan secara berkelanjutan kepada petani tentang cara mengelola hingga memasarkan produk cokelat sampai ke luar negeri.

"2023 hadir LPEI dengan peningkatan SDM akhirnya kakao kita bisa ekspor," ujar Ahmad yang juga mendampingi Heri di pekarangan rumahnya.

Berkat pendampingan LPEI & Kemenkeu, Ahmad bersama para petani mengaku kini dapat mengelola kakao tak sekadar menjadi bubuk saja. Melainkan juga lemak cokelat. Lemak cokelat inilah yang kemudian diminati oleh produsen cokelat di luar negeri.

"Kita ada dua buyer, tapi untuk saat ini baru satu kita layani. Dua-duanya dari Swiss," ujar Ahmad yang juga sebagai Ketua Koperasi Amanah Doga Sejahtera.

Meskipun ekspor baru melalui pihak ketiga atau indirect export, Ahmad beserta warga desa lainnya cukup senang karena penjualan produk Omah Kakao Doga (salah satu binaan UMKM) semakin meningkat. Terutama untuk bubuk dan lemak cokelat. Dari 3 kg kakao dapat diolah menjadi 1 kg bubuk yang dihargai Rp250 ribu.

Sedangkan untuk lemak cokelat, dari 5 kg biji kakao mampu menghasilkan 700 gr dengan harga per kg Rp175 ribu. Saat ini, Omah Kakao Doga mampu menghasilkan omzet sekitar Rp2 juta sampai dengan Rp4 juta per bulan.

"Dengan kakao kami punya tekad sejahterakan masyarakat," imbuh dia.

Direktur Pelaksana Pengembangan Bisnis LPEI, Maqin U Norhadi, mengatakan pihaknya memang berkontribusi dalam kegiatan ekspor kakao Desa Nglanggeran. Mulai dari prosedur dan administrasi ekspor, kontrol kualitas biji kakao, bahkan hingga melakukan business matching dengan pembeli dari luar negeri.

Business matching adalah kegiatan mempertemukan pelaku UKM dengan buyer-nya di luar negeri. Ini difasilitasi dengan LPEI. Sehingga, mereka akhirnya bernegosiasi dengan buyer-nya dalam koordinasi LPEI, dan akhirnya menjual produknya,” tutur Maqin.

Dari kegiatan itu, kemudian mempertemukan Koperasi Amanah Doga Sejahtera dengan pembeli asal Swiss bernama Smith, yang merupakan pemilik Cokelat Monnier. Dari sini, para petani bisa meraup keuntungan lebih banyak karena harga ekspornya lebih baik dibandingkan harga lokal.

"Dan akhirnya, mereka bisa ekspor dan meningkatkan daya saingnya. Berarti, para petani bisa lebih ‘cuan’ karena harga ekspornya lebih baik dibanding harga lokal,” terang dia.

Heri Yulianta

Heri Yulianta sedang memperlihatkan perkebunan kakao di pekarangan rumahnya. tirto.id/Dwi Aditya Putra

Sejak saat itu, pada 19 Mei 2023, Desa Nglanggeran diresmikan LPEI sebagai Desa Devisa Kakao Gunungkidul sekaligus sebagai awal dilaksanakan program pelatihan dan pendampingan.

Desa Devisa Gunungkidul ini merupakan kolaborasi Kemenkeu Satu (Kementerian Keuangan, PT SMF & LPEI) bersama Koperasi Amanah Doga Sejahtera untuk mendorong pertumbuhan ekonomi desa dan kesejahteraan masyarakat Desa.

LPEI melalui program Desa Devisa Gunungkidul memberikan pelatihan manajemen ekspor, pendampingan akses pasar, peningkatan kapasitas produksi, dan pendampingan terkait sertifikasi organik kepada 60 petani kakao dan Koperasi Amanah Doga Sejahtera.

Hingga Maret 2024, LPEI telah mendorong dan menghasilkan 1.035 desa devisa. Dari jumlah desa itu, didapati lebih dari 26 produk kualitas ekspor seperti kakao, kopi, bulu mata, peti mati, craft eceng gondok, daun kelor, hingga gula semut. Manfaat dari desa devisa itu juga diperkirakan dirasakan oleh lebih dari 100 ribu pekerja, petani, dan nelayan.

Di luar dari itu, Lurah Nglanggeran, Widada, meminta kepada pemerintah dan LPEI untuk tidak melepas para petani dan kelompok UMKM begitu saja. Dia berharap apa yang sudah berjalan baik saat ini kembali dilanjutkan.

"Jangan dilepas gitu aja, harus dipantau, dan ditinjau kembali perkembangan petani kakao," pinta Widada.

Baca juga artikel terkait KEMENKEU atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Maya Saputri