tirto.id - Artikel ini mengandung narasi berunsur tindakan kekerasan atau dugaan sadisme. Disarankan tidak membaca lebih lanjut jika Anda memiliki trauma atau tidak kuat terhadap konten sensitif.
Duka menyeruak dari sebuah rumah kontrakan di Gang Roman, RT 004/RW 003, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Tragedi itu mencuat, Rabu (6/12/2023), ketika empat anak ditemukan tewas di salah satu kamar rumah kontrakan ini. Kematian mereka mengagetkan warga sekitar. Konflik orang tua bocah-bocah malang ini, diduga menjadi faktor yang membuat nyawa mereka melayang.
Mulanya, warga curiga dengan bau menyengat yang bersumber dari rumah tersebut. Kepala Kepolisian Resor Metro Jakarta Selatan Kombes, Ade Ary Syam Indradi, mengatakan Kepolisian Sektor Jagakarsa menerima laporan masyarakat sekitar pukul 14.50 WIB terkait bau menyengat.
Pemeriksaan di TKP menemukan P, pemilik rumah sekaligus Ayah korban, terkapar dalam kondisi lemas dengan luka di tangan. Ada pisau di dekat tubuh P. Setelah kepolisian mengecek ke kamar, barulah ditemukan sumber bau menyengat, yang berasal dari jasad keempat bocah dalam kondisi berjajar di tempat tidur.
Empat korban anak itu berinisial Va (6), Sa (4), Aa (3), dan Ak (1). Keempatnya merupakan anak dari P dan istrinya, D. Ketika penemuan jasad keempat korban, D, tengah menjalani perawatan di rumah sakit akibat dugaan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dilakukan oleh P.
“(P) dirawat di rumah sakit, tadi kami juga sudah menginterogasi yang bersangkutan, kemudian ibunya juga sedang dirawat sejak Sabtu (2/12/2023),” kata Ade kepada awak media, Rabu (6/12/2023) malam.
Ade menyebutkan, kepolisian masih menyelidiki penyebab kematian dari keempat bocah malang itu. Di satu sisi, P sempat diinterogasi, namun karena mengalami luka-luka di tubuhnya, dia masih harus dirawat.
Kepolisian masih belum mengungkapkan hasil interogasi kepada P. Polisi juga masih mendalami apakah P berupaya bunuh diri atau tidak.
Terkait temuan empat korban anak dalam kasus ini, polisi sudah menaikkan perkara ini ke tahap penyidikan. Belum ada informasi resmi dari kepolisian soal penyebab kematian keempat korban.
Di lokasi kejadian, pihak kepolisian juga menemukan tulisan berwarna merah di lantai berbunyi, “Puas Bunda, tx for all.” Kepolisian masih belum dapat memastikan siapa, warna merah apa, dan untuk apa tulisan tersebut hadir di lokasi kejadian. Mereka masih melakukan investigasi untuk mengungkap terang kasus ini.
Sementara itu, dugaan D alias isteri dari P, sebagai korban KDRT menguat. Hal ini berdasarkan kesaksian tetangga dan kerabat korban. Saat ini D masih mendapatkan perawatan di rumah sakit sejak Sabtu pekan lalu, dan sudah menjalani visum.
KDRT dalam Keluarga Korban
Titin, tetangga P dan D, merupakan salah satu warga di sekitar tempat kejadian perkara yang mengetahui peristiwa KDRT yang dialami D. Kala itu, Sabtu (2/12/2023) siang, suami Titin mengaku kepadanya mendengar teriakan minta tolong D.
“Yang dengar suami ibu [ketika] pulang dari mushola tetangga. ‘Jangan, Pak, ampun,’ begitu kata suami ibu [mengikuti teriakan D],” ucap Titin ditemui reporter Tirto di dekat tempat kejadian perkara (TKP), Kamis (7/12/2023).
Saat kejadian KDRT yang diduga dilakukan P kepada D berlangsung, Titin mengaku sempat dihubungi ibu dari D yang minta tolong untuk membantu menghentikan KDRT. Adik D lantas melaporkan peristiwa KDRT itu ke Kepolisian.
“Pas di situ memang babak belur istrinya. Sudah gitu dibawa ke rumah sakit istrinya, sampai sekarang dirawat,” lanjut dia.
Ketua RT 04 Kelurahan Jagakarsa, Yacob, mengungkapkan P dan D disebut jarang bersosialisasi dengan warga sekitar. Namun, anak-anak P dan D kerap bermain dengan anak lain di lingkungan tersebut.
“Iya, sering main di sini, makanya kadang dikasih makanan sama tetangga,” tutur Yacob ditemui reporter Tirto di dekat TKP.
Yacob menambahkan, P sempat bekerja sebagai sopir, sementara D merupakan pegawai kantoran. P sudah berhenti bekerja, dan keduanya beberapa kali terlibat permasalahan keluarga. Diketahui, P juga belum membayar kontrakan yang mereka huni selama hampir empat bulan.
Kepala Kepolisian Resor Jakarta Selatan, Komisaris Besar Ade Ary Syam, menuturkan P sudah dilaporkan oleh kakak D atas dugaan KDRT pada Sabtu (2/12/2023). Kasusnya sudah ditelusuri dan penyidik sempat memanggil P untuk dimintai keterangan.
Namun, P berhalangan datang dengan alasan sedang mengurus keempat anaknya karena D sedang dirawat di RS. Peristiwa ini akhirnya disusul dengan temuan keempat anak mereka yang tewas berjajar di salah satu kamar dan P yang bersimbah darah. Tragedi memilukan yang memakan korban anak di tengah pusaran dugaan permasalahan keluarga.
KDRT Korbankan Anak
Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Mike Verawati, menyatakan anak selalu menjadi korban rentan yang terdampak dalam permasalahan orang tua. KDRT yang dilakukan pasangan, kerap merembet kepada anak yang turut menjadi korban.
“Anak itu bukan saja secara langsung dia terdampak dalam KDRT yang terjadi di dalam keluarga, tetapi anak juga kadang dijadikan alat ya untuk saling terus berseteru saling memperpanjang proses KDRT,” kata Mike dihubungi reporter Tirto, Kamis (7/12/2023).
Selain itu, kata Mike, anak kerap dipakai sebagai alat bagi kedua pasangan yang berseteru untuk terus menyakiti dan saling menekan. Tanpa sadar, orang tua akhirnya jadi melukai anak baik secara fisik dan mental dalam pusaran permasalahan pasangan.
“Sebenarnya dia (anak) tidak boleh terluka karena sebuah konflik atau KDRT. Seandainya ya orang-orang dewasa dalam sebuah keluarga Itu mengedepankan cara pandang seperti itu tentunya Ini juga tidak akan terjadi,” ujar Mike.
Mike juga menyoroti peran aktif masyarakat merespons KDRT yang terjadi di lingkungan sekitar mereka. Masyarakat masih banyak menganggap persoalan KDRT sebagai delik privat yang tidak perlu dicampuri. Masalahnya, sikap ini justru berpotensi menimbulkan korban lebih parah dan lebih banyak.
“Bahkan anggota keluarga pun tuh bungkam ya, karena itu tadi pemahaman bahwa permasalahan rumah tangga, permasalahan ini tuh delik privat ya. Tidak elok kalau kita ikut campuri ya,” jelas Mike.
Mike menilai, laporan KDRT di kepolisian juga kerap direspons lambat dan tidak berpihak pada korban. Padahal, sudah ada Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
“Karena itu tadi mereka masih menganggap bahwa urusan KDRT itu lebih baik diselesaikan dulu, kalau bisa dimediasi, ya lebih baik dimediasi, tidak usah ke kantor polisi,” ungkap Mike.
Sementara itu, psikolog forensik, Reza Indragiri, menyatakan kepolisian harus merespons secepat mungkin laporan begitu menerima kabar tentang KDRT. Dalam kasus ini, Reza menyarankan agar dicari tahu kondisi bahkan masalah mental yang mungkin dialami terduga pelaku nantinya.
Reza mengakui memang tidak mudah dalam praktiknya menangani laporan KDRT. Belum lagi, Indonesia dinilai masih rendah dalam berperan aktif melaporkan kejadian KDRT.
“Karena masyarakat menganggap KDRT sebagai masalah domestik yang tabu untuk diikut campuri. Belum lagi jika khalayak luas mengalami krisis kepercayaan terhadap polisi,” kata Reza dalam keterangannya, Kamis (7/12/2023).
Peran Masyarakat Dinanti
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jasra Putra, mempertanyakan mekanisme penanganan kasus KDRT ketika di dalamnya melibatkan anak-anak. Kunjungan KPAI ke lokasi kejadian, Ketua RT menyampaikan bahwa warga tidak curiga, meski memang korban anak tidak keluar rumah dalam beberapa hari.
Menurut Jasra, ketika warga sudah mengetahui keluarga korban berkonflik, harusnya dapat melaporkan dan mendapatkan intervensi. Terutama dalam kasus ini, sebagaimana mandat Undang Undang Perlindungan Anak yakni menjauhkan anak sementera dari keluarga berkonflik.
“Hanya mungkin masyarakat belum terbiasa merujuk anak-anak ke lembaga yang diberi wewenang menerimanya,” kata Jasra dalam keterangan tertulis, Kamis (7/12/2023).
KPAI mamandang problem ekonomi menjadi persoalan utama keluarga tersebut hingga memicu persoalan lainnya, yang berujung pada tragedi kematian anak-anak. Karena sering kali dalam konflik orang tua, kata Jasra, anak dijadikan jaminan, ancaman, dan sasaran dari konflik yang tidak berkesudahan.
“Kita semua gagal dalam melindungi anak-anak. Apalagi sebenarnya ada kasus penyerta sebelum anak-anak meninggal, yang tidak ada satu pihak pun memastikan kondisi pengasuhan anak, ketika ibunya mengalami KDRT,” sesal Jasra.
Sementara itu, Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden (KSP), Erlinda, menyatakan peran serta masyarakat sangat dibutuhkan bukan hanya saat terjadi tindakan pidana, namun untuk pencegahan agar tidak menimbulkan korban. Momentum Pemilu 2024 sebaiknya menjadi hal positif agar masyarakat berpartisipasi menyuarakan pentingnya pemenuhan hak dan perlindungan pada perempuan, anak, dan kelompok rentan.
“Sehingga dapat diadopsi pada visi-misi dan program aksi nyata,” ujar Erlinda.
Dihubungi terpisah, Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Nahar, menyampaikan pihaknya sudah berkoordinasi dengan kepolisian untuk mengungkap terang kasus ini. Nahar juga mengaku sudah menerjunkan tim observasi untuk melihat langsung lokasi kejadian perkara ini.
“Menjangkau dan observasi lingkungan kenapa kejadian ini muncul di lingkungan masyarakat,” kata Nahar dihubungi reporter Tirto, Kamis (7/12/2023).
Ia berpesan agar masyarakat bisa sensitif jika melihat kasus KDRT di lingkungan tempat tinggal. Hal ini untuk mencegah situasi memburuk dan melindungi jatuhnya korban anak dalam pusaran KDRT.
“Kasus ini harus dapat dijadikan pelajaran agar tidak kembali muncul kasus serupa,” tegas Nahar.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz