Menuju konten utama

Jalan Terjal Transformasi Kebijakan Pupuk Subsidi untuk Petani

Ombudsman menilai langkah dan kebijakan yang diambil pemerintah belum cukup mengatasi permasalahan pupuk subsidi di tingkat petani.

Jalan Terjal Transformasi Kebijakan Pupuk Subsidi untuk Petani
Pekerja menurunkan pupuk NPK bersubsidi dari truk di Gudang Pupuk Lini III PT Pupuk Indonesia Group, Desa Ujong Drien, Kecamatan Meureubo, Aceh Barat, Aceh, Senin (31/7/2023). ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/rwa.

tirto.id - “Jadi yang menjadi pertanyaan apakah inovasi yang ada, apakah inovasi sudah dilakukan oleh pemerintah termasuk transformasi, itu menjadi solusi atau menjawab permasalahan petani?”

Pengantar awal itu disampaikan oleh Anggota Ombudsman RI, Miftah Firdaus, dalam webinar 'Transformasi Kebijakan Pupuk Bersubsidi'. Miftah menilai, langkah dan kebijakan diambil pemerintah belum cukup mengatasi permasalahan pupuk subsidi di tingkat petani.

Faktanya, hingga saat ini berdasarkan data diperoleh Kementerian Pertanian dan PT Pupuk Indonesia tingkat penyerapan atau penebusan pupuk subsidi oleh petani pada kios pengecer secara nasional masih di bawah 60 persen hingga per awal Oktober 2023. Selain itu, terdapat 22 provinsi yang memang penyerapannya masih sangat rendah. Salah satunya di Banten yang berada di bawah 35 persen.

“Kami melihat bahwa dari data ini menunjukkan bahwa rendahnya tingkat penyaluran atau penebusan pupuk ini, ternyata menjadi salah satu indikasi bahwa masih ada permasalahan dalam mekanisme penebusan pupuk bersubsidi,” kata dia dalam acara webinar 'Transformasi Kebijakan Pupuk Bersubsidi', Rabu (6/12/2023).

Miftah mengatakan, pada saat bersamaan dari data yang sama menunjukkan ada sekitar 4,3 juta petani yang terdaftar di e-Alokasi, namun belum bisa menebus pupuk bersubsidi hingga per 6 Oktober 2023. Sementara terdapat 15 provinsi dengan presentasi di atas 40 persen ke atas yang pertaniannya belum atau tidak bisa menebus pupuk bersubsidi.

“Ini nilai 4,3 juta cukup besar jika kita ambil dari total yang terdaftar di e-Alokasi 2023 yang terdaftar sekitar 15 juta petani,” kata dia.

Data tersebut, kata Mifta, menjadi bukti bahwa tingginya petani yang belum bisa mendapatkan pupuk bersubsidi mengonfirmasi ada permasalahan dalam mekanisme penebusan pupuk subsidi. Masalah utama yang menjadi hambatan karena adanya penerapan mekanisme penebusan secara tunggal di kios.

Dia menyebut, hingga saat ini ada beberapa daerah yang kiosnya secara saklek menerapkan satu mekanisme penebusan seperti kartu tani. Ketika mekanisme itu dilakukan secara tunggal, sedangkan infrastruktur kartu tani di setiap daerah belum memadai tentu banyak petani yang tertolak. Masalahnya masih banyak petani di Indonesia belum memiliki kartu tani.

“Jadi ketika misalnya satu daerah menetapkan secara saklek hanya menggunakan kartu tani tentu petani yang tidak punya tidak bisa menembus pupuk subsidi,” kata dia.

Mifta melanjutkan, potret permasalahan lainnya membuat petani tidak bisa menebus pupuk bersubsidi karena gangguan teknis kartu tani. Ini terjadi karena titik kios tidak terjangkau jaringan atau signal. Belum lagi soal data petani pada e-Alokasi tidak padu padan dengan data ada di dukcapil.

"Terkahir, kerap kita temukan, tapi jarang muncul. Jadi petani terhambat dalam penebusan karena tidak bisa dilakukan secara kelompok petani atau diwakilkan," imbuh dia.

Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Jawa Barat, Otong Wiranta, melihat persoalan lain daripada masalah pupuk bersubsidi ini adalah masih banyaknya petani belum mengerti mekanisme untuk mendapatkan barang tersebut. Sebab, sebagian petani mayoritas masih belum melek digital dan masih terbiasa dengan cara-cara konvensional.

“Mereka menginginkan sesuatu yang gampang dan mudah dan instan. Mereka datang bawa uang memperoleh apa yang mereka inginkan,” kata Otong dalam webinar tersebut.

Para petani, kata Otong, tidak mengetahui mekanisme penebusan pupuk bersubsidi karena cukup rumit. Karena salah satu mekanisme untuk mendapatkan pupuk bersubsidi mereka harus mendaftar ulang terlebih dahulu.

“Yang keterbatasan pengertian mereka serta informasi yang mereka dapat itu, akhirnya mereka tidak tahu mekanisme adanya daftar ulang,” ucap dia.

Otong menuturkan, masalah validitas data juga masih menjadi kendala ada di lapangan. Menurut dia, masalah ini harus diselesaikan karena berdampak kepada alokasi dan realisasi pupuk bersubsidi.

“Jadi data bukan copy paste dari tahun kemarin, sehingga banyak juga misalkan petani yang tidak berdomisili di situ petani yang sudah pindah ke Sukabumi misalnya itu masih terdaftar di dalam," kata dia.

Petani Butuh Kemudahan Tanpa Ribet

Oleh sebab itu, Otong mengusulkan agar pemerintah memberikan kemudahan kepada petani untuk mendapatkan pupuk bersubsidi. Misalnya hanya menggunakan identitas Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang ditunjukan kepada kios pengecer.

"Pertama petani menginginkan sesuatu yang instan sesuatu yang mudah dan gampang dalam cara memperoleh pupuk. Karena petani tidak susah-susah tinggal bawa KTP," kata dia.

Kedua dalam perencanaan, kata Otong, tentu semua stakeholders harus bergerak bersama. Sehingga data yang dihasilkan itu menjadi data yang valid dan bisa digunakan dalam pelaksanaan penyaluran pupuk bersubsidi.

“Ketiga beberapa daerah masih memerlukan jenis pupuk yang dihapus dalam daftar subsidi terutama. Terakhir itu hanya ada dua jenis pupuk,” kata dia.

Dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 10 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penetapan Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian membatasi jenis pupuk subsidi yang sebelumnya lima jenis yakni ZA, Urea, NPK, SP-36, dan pupuk organik Petroganik menjadi dua jenis yaitu Urea dan NPK.

Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, justru menganalogikan pemerintah semestinya bisa memperlakukan petani seperti halnya orang yang menerima subsidi BBM. Sebab, orang menikmati subsidi BBM sudah pasti memiliki kendaraan motor dan mobil.

Sederhana saja, kata Yeka, ketika pengendara ingin mendapatkan subsidi BBM, mereka datang ke SPBU tidak pernah ditanya kendaraan milik siapa. Bahkan tidak pernah ditanya juga misalnya siapa yang mengendarai.

“Selama bisa bayar mau berapapun juga tidak masalah. Mau full isi tangki sepanjang ada uang tidak masalah, SPBU pasti melayani dan tidak ribet transaksi jalan habis itu selesai dalam waktu cepat,” kata Yeka.

Kondisi tersebut jelas berbanding terbalik dengan petani penerima pupuk bersubsidi. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) sebanyak 67,4 persen warga miskin di pedesaan itu adalah petani dan harusnya bisa mendapatkan pupuk subsidi semuanya.

“Pertanyaannya sederhana kalau kita lihat BBM misalnya apakah semua orang yang memiliki kendaraan dapat BBM? Ya sepanjang mereka bisa beli pasti dia akan dapat. Tapi kalau di pupuk bersubsidi tidak semua petani di republik itu bisa mendapatkan pupuk subsidi. Nah ini permasalahannya," kata Yeka.

Persoalan pupuk bersubsidi ini, lanjut Yeka, selama tidak ada political will dilakukan oleh pemerintah dipastikan akan terus bermasalah. Selama itu tidak dilakukan, maka persoalan isu kelangkaan, tidak mendapatkan pupuk subsidi akan ada terus.

“Saya merasa prihatin bagaimana pemerintah ini memperlakukan terhadap para petani kita. Para pejuang pangan kita,” pungkas dia.

Transformasi Penyaluran Pupuk Bersubsidi

Saat ini, pemerintah bersama dengan PT Pupuk Indonesia (Persero) tengah melakukan transformasi kemudahan dalam menebus pupuk bersubsidi melalui sistem digitalisasi yang sudah di implementasi pada kios. Sistem digital yang bernama i-Pubers ini diuji coba di Provinsi Bangka Belitung, Riau, Kalimantan Selatan, Sumatera Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Aceh, dan Bali.

Senior Project Manager Advokasi Publik PT Pupuk Indonesia, Yana Nurahmad Haerudin, mengatakan aplikasi i-Pubers ini mengintegrasikan data penerima subsidi di alokasi elektronik dengan data stok pupuk di rekan yakni BUMN PT Pupuk Indonesia. Di hilir atau penyaluran, kios menggunakan aplikasi ini untuk menginput data penyaluran data subsidi secara digital.

Aplikasi ini diklaim memiliki teknologi yakni geo-tegging dan timestamp sehingga memberi tambahan info seperti lokasi geografis koordinat, GPS, lokasi transaksi. Manfaat lainnya yakni digitalisasi proses penebusan dan dokumen administrasi pupuk bersubsidi, kemudian mampu terintegrasi database e-Alokasi Kementan & data stok Pupuk Indonesia Holding Company sehingga mempermudah kontrol stok produk & barang secara real time.

"I-Pubers ini lebih kepada integrasikan sistem penebusan pupuk untuk bisa lebih menjamin penyaluran tepat sasaran,” kaya Yana.

Penebusan pupuk bersubsidi dengan i-Pubers ini hanya dapat dilakukan oleh petani yang terdaftar di e-Alokasi. Adapun cara menebusnya yaitu petani datang membawa KTP untuk dipindai NIK-nya guna mengakses data petani pada sistem e-Alokasi. Selanjutnya, kios akan menginput jumlah transaksi penebusan dan petani menandatangani bukti transaksi tersebut pada aplikasi i-Pubers.

Pada saat transaksi, KTP milik petani dan juga petani beserta pupuk bersubsidi yang ditebus akan difoto oleh kios pada aplikasi i-Pubers. Foto yang diinput akan dilengkapi dengan geo-tagging dan timestamp. Sehingga dapat tercatat lokasi dan waktu terjadinya transaksi dan memudahkan penelusuran.

Apabila KTP tidak sesuai, maka petani harus melengkapinya dengan Surat Keterangan dari pemerintah desa atau kelurahan. Melalui i-Pubers, petani terdaftar wajib datang sendiri ke kios dan tidak dapat diwakilkan. Akan tetapi, bagi petani terdaftar namun sudah meninggal, maka penebusannya dapat diambil oleh ahli waris dengan menunjukkan bukti surat keterangan meninggal.

Meski memberikan kemudahan, Yana mengakui masih terdapat beberapa kendala di lapangan untuk menerapkan mekanisme penyaluran melalui I-Pubers. Di antaranya masih terdapat blankspot pada 362 kios atau 11,5 persen dari total kios I-Pubers. Kemudian juga ada regulasi penebusan yang tidak bisa diwakilkan serta kios-kios yang jauh dari petani.

Yana sendiri tidak menampik bahwa masih banyak permasalahan di lapangan seperti sudah disampaikan di atas sebelumnya. Mulai dari masalah sinyal kurang bagus di beberapa titik serta masih banyaknya petani belum mengerti sepenuhnya mekanisme mendapatkan pupuk.

“Ini harus diperbaiki sudah pasti harus dipastikan edukasi sosialisasi yang cukup komperhensif. Ini perlu diperkuat dan kemudian perubahan tradisi dari konvensional ke elektronik. Kita mulai bicara berpikir dari tidak biasa menjadi biasa. Ini perlu waktu yang cukup untuk bisa merubah mindset," terang dia.

Terlepas dari itu, Miftah Firdaus juga memberikan catatan terkait dengan inovasi dalam mekanisme penebusan pupuk bersubsidi. Ombudsman sendiri apresiasi betul apa yang disampaikan Pupuk Indonesia yang sangat terbuka transparan terkait dengan mekanisme i-Pubers sekarang.

"Terlepas dari kelebihan yang ada beliau tetap sampaikan apa yang menjadi hambatan ataupun kelemahan dari I-Pubers," kata dia.

Menurut Miftah, transformasi skema i-Pubers ternyata belum sepenuhnya memudahkan pelayanan bagi petani. Pertama, masih banyak data nama NIK petani tidak padu padan dengan Dukcapil yang akhirnya membuat petani tertolak dalam menebus pupuk.

Kedua, masih banyak daerah titik kios yang tidak terjangkau jaringan atau sinyal. Kondisi ini pada akhirnya membuat petani terhambat dalam menebus pupuk.

“Kemudian skema kartu tani juga masih banyak kendala teknis dalam penggunaan kartu tani yang akhirnya membuat petani gagal menembus pupuk," pungkas dia.

Baca juga artikel terkait PUPUK SUBSIDI atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz