Menuju konten utama

Kenapa Korban KDRT Sulit Meninggalkan Pelaku Menurut Psikolog

Penjelasan lengkap psikolog soal kenapa korban KDRT cenderung sulit untuk meninggalkan pelaku.

Kenapa Korban KDRT Sulit Meninggalkan Pelaku Menurut Psikolog
Ilustrasi KDRT. foto/Istockphoto

tirto.id - Kasus pembunuhan Mega Suryani Dewi (24) di tangan suaminya, Nando Kusuma Wardana (25), diketahui diawali dengan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Sebagai korban, Mega rupanya pernah melaporkan tindak KDRT yang dialaminya ke pihak berwajib, tapi laporan tersebut dihentikan.

Sementara menurut pengakuan Dewi selaku pemilik kontrakan, Mega memang sudah lama jadi korban KDRT suaminya. Pasangan ini bahkan sempat pisah rumah, tapi entah karena alasan apa, Mega akhirnya memutuskan kembali tinggal bersama sang suami.

Dalam kasus KDRT, korban yang memilih untuk tetap tinggal bersama pelaku sebenarnya adalah hal yang sudah sering terjadi. Mega pun hanya satu dari sekian banyak korban KDRT yang sulit lepas dari si pelaku.

Bagi orang lain, hal ini akan terlihat aneh dan janggal. Namun jika dilihat dari sudut pandang korban, sebenarnya KDRT adalah masalah yang sangat rumit untuk dihadapi.

Alasan Korban KDRT Sulit Meninggalkan Pelaku Menurut Psikolog

Korban KDRT cenderung kembali pada pelaku dan memilih untuk tidak meninggalkannya. Hal ini berkaitan erat dengan psikologis dan pola pikir korban.

Dalam laman Psychology Today, Jason Whiting Ph.D menuliskan beberapa alasan kenapa korban KDRT sulit meninggalkan pelaku. Berikut di antaranya:

1. Gangguan pola pikir

Kekerasan tak hanya menimbulkan trauma, tapi juga akan menyebabkan kesalahan pola pikir. Banyak korban KDRT yang merasa bahwa mereka memang pantas mendapat kekerasan.

Sebagai contoh, ada korban yang merasa bahwa kekerasan yang dialaminya adalah hal yang wajar. Hal itu karena korban merasa dialah yang menyebabkan atau menyulut kemarahan si pelaku.

Jadi, korban berpikir bahwa dialah yang melakukan kesalahan, menyalahkan diri sendiri, dan akhirnya mewajarkan tindakan KDRT dari pasangannya.

Ada pula korban KDRT yang ragu atau tidak tahu bahwa apa yang dialaminya adalah kekerasan, terutama jika berkaitan dengan kekerasan mental, verbal, atau finansial. Menurut mereka, semua hal itu tidak meninggalkan luka fisik sehingga tidak menganggapnya sebagai kekerasan.

2. Ketakutan

Dalam kasus KDRT, pelaku akan menunjukkan kekuasaan atau kekuatannya untuk mengontrol korbannya. Hal ini tentu saja membuat korban merasa takut, terintimidasi, dan juga trauma.

Para pelaku KDRT juga biasanya selalu mengancam dengan hal-hal buruk jika si korban meninggalkannya. Ancamannya pun beragam, mulai dari kekerasan fisik yang lebih parah, mengancam merebut hak asuh anak, melukai orang-orang di sekitar korban, hingga ancaman pembunuhan.

3. Korban ingin menyelamatkan pelaku

Tak sedikit korban KDRT yang enggan pergi dengan alasan ingin menyelamatkan si pelaku. Padahal, justru merekalah yang butuh diselamatkan.

Korban KDRT beranggapan bahwa pelaku adalah orang yang perlu ditolong. Korban juga merasa bahwa pelaku membutuhkan mereka dan hanya merekalah yang bisa menolongnya.

Sehingga, korban pun berusaha mencintai pelaku dan bertahan dengan segala kekurangannya. Mereka juga ingin menunjukkan kesetiaan sekaligus mengajarkan cinta dan kasih sayang dengan harapan si pelaku bisa berubah.

Hal ini semakin diperparah dengan sikap manipulatif pelaku KDRT yang biasanya meminta maaf dan berjanji akan berubah. Namun, mereka malah terus mengulangi perbuatannya.

4. Anak-anak

Korban KDRT, khususnya perempuan, umumnya bertahan dengan pasangannya yang abusive karena memikirkan anak-anaknya. Sebagian korban rela menjadi sasaran kekerasan karena takut pelaku akan beralih pada anak-anaknya dan memukuli mereka.

Sebagian korban juga memilih tetap tinggal dengan si pelaku karena ingin mempertahankan keutuhan keluarganya. Menurut korban, anak-anak harus tetap memiliki seorang ayah sehingga berusaha menghindari perceraian.

5. Pengalaman dan ekspektasi keluarga

Korban KDRT kadang tidak tahu seperti apa hubungan rumah tangga yang sehat. Hal itu bisa jadi karena mereka punya pengalaman buruk di masa lalu.

Sebagai contoh, sejak kecil korban sudah melihat tindak KDRT yang dilakukan oleh orang tuanya dan kerap melihat ibunya jadi korban kekerasan. Ketika ia menikah dan mendapat perlakuan serupa dari sang suami, ia pun menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang wajar.

Ekspektasi keluarga juga bisa membuat korban enggan meninggalkan pelaku KDRT. Sebagian korban berpikir bahwa keluarga akan marah atau ia akan mendapat murka dari Tuhan jika bercerai dari suaminya.

6. Kendala finansial

Finansial adalah alasan klasik kenapa korban KDRT sulit lepas dari si pelaku, terutama jika sudah punya anak. Korban biasanya tidak punya penghasilan sendiri untuk menghidupi diri dan anak-anaknya, karena itu ia merasa harus bergantung pada pasangannya.

Ironisnya, korban tidak punya kesempatan untuk bekerja justru karena ulah si pelaku. Pelaku kadang membatasi aktivitas korban dan melarangnya bekerja. Beberapa korban juga sulit bekerja karena mengalami luka fisik dan mental akibat KDRT yang dialaminya.

7. Isolasi

Pelaku KDRT biasanya akan mengisolasi korbannya dengan cara menjauhkan dia dari orang-orang terdekat, termasuk keluarga dan teman. Dengan demikian, korban akan merasa sendirian dan hanya bisa bergantung pada si pelaku.

8. Harga diri rusak

Pelaku KDRT akan memanipulasi korbannya untuk berpikir bahwa diri mereka tidak berharga dan tidak bisa melakukan apa-apa. Di sinilah pelaku akan mengatakan bahwa korban membutuhkan dirinya dan hanya dia yang peduli pada si korban.

Manipulasi semacam ini akan membuat korban merasa tidak percaya diri dan takut berpisah dengan si pelaku. Akibatnya, mereka tidak bisa lagi membuat keputusan yang benar dan memilih untuk tetap bertahan dalam hubungan yang tak sehat.

Baca juga artikel terkait KDRT atau tulisan lainnya dari Erika Erilia

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Nur Hidayah Perwitasari
Kontributor: Erika Erilia
Penulis: Erika Erilia