tirto.id - Dampak psikologi bisa terjadi pada anak Mega-Nando yang melihat secara langsung ibunya dibunuh oleh ayahnya sendiri.
Baru-baru ini publik digegerkan oleh peristiwa pembunuhan kejam yang dilakukan oleh seorang suami bernama Nando, usia 24 tahun kepada istrinya Mega Suryani Dewi, usia 24 tahun pada Kamis, 7 September 2023 sekira pukul 22.00 WIB di rumah kontrakan mereka, daerah Cikarang.
Pembunuhan yang diawali dengan tindakan KDRT itu menurut Kanit Reskrim Polsek Cikarang Barat Iptu Said Hasan dilandasi karena motif sakit hati dan faktor ekonomi.
Korban mulanya ditampar oleh pelaku, tamparan keras itu kemudian membuat korban tersungkur. Bukannya iba setelah melihat korban yang tersungkur, pelaku malah gelap mata dan menggorok leher korban menggunakan pisau.
Korban yang sudah tidak bernyawa lalu dimandikan oleh pelaku, pakaian yang dikenakan korban saat kejadian itu, sempat pelaku cuci dan jemur.
Setelah memandikan jenazah korban, dia membaringkan korban di kasur dan menutupinya dengan handuk. Aksi keji itu diduga disaksikan oleh dua anak mereka yang masih balita yaitu berusia 3,5 tahun dan 18 bulan.
Kedua anaknya yang menyaksikan peristiwa itu lalu dia boyong ke rumah mertuanya, ibu dari korban. Sementara itu dia pulang ke rumah orang tuanya.
Pembunuhan itu terkuak saat ibu korban mendatangi rumah dan menemukan jenazah anaknya yang terbujur kaku pada Sabtu, 9 September 2023 sekira pukul 01.30 WIB.
Pelaku pun mengakui perbuatannya kepada orang tuanya, lalu oleh orang tuanya pelaku diantar ke kantor polisi untuk menyerahkan diri pada Sabtu, 9 September 2023 dini hari.
Dampak Psikologis Anak Mega-Nando
Peristiwa tragis yang dialami keluarga Mega-Nando itu menyisakan banyak perbincangan. Salah satunya adalah bagaimana dampak psikologis anak mereka yang menyaksikan kejadian keji itu.
Menurut penelitian Burman dan Meares berjudul “Neglected victims of murder: children's witness to parental homicide” dalam PubMed National Institute of Health (NIH), anak-anak yang menyaksikan pembunuhan orang tua akan mengalami trauma emosional, stigma, dan luka yang sangat dalam akibat peristiwa yang menakutkan itu.
Mereka sering menunjukkan gejala-gejala yang sebanding dengan gejala gangguan stres pascatrauma. Sebab, perhatian terfokus pada korban yang meninggal dan pelaku kejahatan, anak-anak yang menjadi saksi tidak sengaja menjadi korban yang terabaikan.
Lebih lanjut, dikutip Los Angeles Times, Spencer Eth dan Robert L. Pynoos dalam studinya terhadap 55 anak berusia 3 hingga 17 tahun mengungkap bahwa trauma melihat orang tua meninggal dengan kejam dapat memicu ketidakberdayaan yang luar biasa dan ingatan yang berkepanjangan akan saat-saat yang paling kejam.
Gambaran yang tak terhapuskan akan terus membayangi, "seperti tusukan pisau atau ledakan senapan," kata para penulis.
Indera anak diserang oleh "penglihatan, suara, dan bau tembakan; jeritan atau keheningan tiba-tiba dari korban; percikan darah dan tisu di pakaian anak itu sendiri, genggaman orang tua yang sekarat; dan sirene polisi serta ambulans yang datang."
Apa yang dialami anak-anak ini, sebagian besar peneliti sekarang setuju, adalah gejala klasik sindrom stres pascatrauma, suatu kondisi psikologis yang paling sering dikaitkan dengan para veteran perang dan penyintas bencana.
Sindrom stres pascatrauma telah diamati pada anak-anak di bawah usia 4 tahun, dan dicurigai terjadi pada anak-anak di usia 2 tahun.
Tanpa bantuan dari terapis, kata Eth dan Pynoos, anak-anak yang menyaksikan pembunuhan orang tua lebih mungkin untuk melanjutkan siklus kekerasan, bahkan mungkin melakukan atau menjadi korban pembunuhan.
Seperti dilaporkan laman Fatherly, hampir setengah dari kasus pembunuhan perempuan di seluruh dunia pelakunya adalah suami mereka.
Penelitian menunjukkan bahwa banyak korban pembunuhan oleh pasangan intim juga merupakan orang tua, tetapi mengingat sifat sensitif dari subjek ini, tidak banyak yang diketahui tentang apa yang terjadi pada anak-anak yang selamat dari pembunuhan tersebut.
Sebuah tinjauan literatur baru tentang topik ini telah mensintesiskan hasil dari 13 studi relevan yang pernah dilakukan, delapan di antaranya adalah studi kasus.
Temuannya tentu tidak terlalu mengejutkan, trauma pembunuhan menyebabkan PTSD dan sejumlah masalah terkait termasuk, namun tidak terbatas pada ingatan yang mengganggu, kecemasan, gangguan tidur, perilaku agresif dan merusak diri sendiri, hiperaktif, dan masalah konsentrasi.
Penelitian yang dipublikasikan di PLOS ONE ini mengungkapkan bahwa sebagian besar dari anak-anak ini adalah korban kekerasan dan sering kali berada di gedung yang sama dengan orang tua mereka pada saat kejadian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata anak-anak berusia sekitar 7 tahun pada saat pembunuhan terjadi, dan sekitar dua pertiganya berusia di bawah 10 tahun.
Sementara 83 persen anak-anak mengalami penelantaran dan kekerasan sebelum orang tua mereka dibunuh, 43 persen belum menerima jenis layanan sosial atau intervensi perawatan kesehatan mental apa pun sebelum pembunuhan terjadi, dan untuk 16 persen lainnya, akses mereka terhadap bantuan tidak jelas.
Bagi 80 persen anak-anak, pembunuhan terjadi di rumah mereka, dan pada 43 persen keluarga, setidaknya ada satu anak yang menyaksikan pembunuhan atau tempat kejadian perkara.
"Kami telah melihat cukup banyak anak yang berduka karena pembunuhan dalam layanan klinis kami dan itu mulai menimbulkan pertanyaan," kata rekan penulis studi Eva Alisic, seorang peneliti psikolog trauma di Monash University, kepada Fatherly. "
"Kami hanya tahu sedikit tentang anak-anak yang tidak terlihat oleh layanan kesehatan mental," ucapnya.
Untuk menyatukan sedikit penelitian yang masih ada, Alisic dan rekan-rekannya memeriksa delapan basis data nasional di Belanda, seperti basis data Dewan Perawatan dan Perlindungan Anak, basis data klien Pusat Psikotrauma Nasional di Rumah Sakit Anak Wilhelmina, dan basis data Departemen Kehakiman, dan menemukan 256 anak yang kehilangan orang tua karena pembunuhan pasangan intim antara tahun 2003 dan 2012.
Sekitar setengah dari anak-anak yang diteliti Alisic kehilangan orang tua mereka karena pisau atau senjata tajam, sedangkan senjata api adalah senjata yang paling banyak digunakan.
Meskipun penelitian ini melibatkan anak-anak yang ibu kandungnya dibunuh oleh pasangan romantis yang bukan ayah mereka, Namun data justru menegaskan bahwa sebagian besar anak-anak tinggal bersama kedua orang tua kandungnya pada saat itu, yang menunjukkan bahwa pelaku pembunuhan adalah ayah mereka sendiri.
"Kita tahu bahwa kekacauan dan kebohongan kepada anak-anak tentang apa yang terjadi dan di mana orang tua mereka berada akan membuat situasi yang buruk menjadi lebih buruk lagi," tambah Alisic.
"Jadi, segala sesuatu yang dapat kita lakukan untuk menyediakan lingkungan yang aman dan penuh perhatian di masa-masa sulit ini akan sangat membantu. Memberi anak-anak kendali dan suara adalah hal yang penting," pungkasnya.
Penulis: Balqis Fallahnda
Editor: Nur Hidayah Perwitasari