tirto.id - DPR RI bersama pemerintah resmi mengesahkan revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dalam masa persidangan II tahun sidang 2023-2024. Terdapat sejumlah poin yang direvisi, salah satunya penghapusan Pasal 27A.
“Apakah rancangan undang-undang tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dapat disetujui untuk disahkan menjadi UU?” tanya Wakil Ketua DPR RI, Lodewijk F. Paulus, dalam persidangan yang digelar 5 Desember 2023.
“Setuju,” jawab para anggota DPR yang mengikuti sidang.
Terkait revisi ini, Kementerian Kominfo menyampaikan sejumla substansi penting yang diubah. Dirjen Aplikasi dan Informatika Kemenkominfo, Semuel Abrijani Pangerapan, mengatakan revisi UU ITE mengadopsi KUHP baru serta memberikan penjelasan spesifik tentang UU ITE.
Ia mencontohkan, Pasal 27A dihapus dalam revisi UU ITE. Semuel mengatakan, Pasal 27A akan diatur lewat UU KUHP baru. Kemudian, pemerintah mengatur lebih jauh soal norma “Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyiarkan,” dalam Pasal 27.
“Di UU ITE yang baru, ada kata-kata menyiarkan dan mempertunjukkan. Itu diambil, diadopsi dari definisi di KUHP. Sedangkan dalam UU ITE yang lama, penjelasan tidak komprehensif. Ini kita menjelaskan apa yang dimaksud menyiarkan, mendistribusikan, semua itu dijelaskan supaya tidak ada multitafsir,” tutur Semuel dikutip dari siaran pers Kominfo.
Sementara itu, dalam Pasal 27 ayat 2 tidak ada perubahan, tapi ditambahkan penjelasan dan merupakan adopsi dari UU KUHP yang baru, kemudian dimasukkan dalam penjelasan lanjutan.
“Pasal 27 ayat 2 terkait dengan sengaja tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan atau dapat diaksesnya informasi yang memiliki muatan perjudian,” jelas Semuel.
Semuel juga mengatakan bahwa mereka mengatur soal pencemaran nama baik lewat dunia maya. Ia mengatakan, pemerintah membuat pengaturan baru lewat revisi UU ITE.
“Pasal 3 UU ITE diubah menjadi Pasal 27 a (UU ITE baru) bahwa setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan dan nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal untuk diketahui umum dalam bentuk informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilakukan melalui sistem elektronik. Ini normanya berbeda, makanya kita pisahkan. Ayat 1 soal kesusilaan, ayat 2 tentang judi, kemudian pencemaran nama baik cluster-nya beda juga di KIUHP. Jadi, kita harus membuat pasal baru,” kata dia.
Selain itu, revisi UU ITE baru juga meningkatkan perlindungan anak dalam akses dunia digital. Semuel mengatakan, aturan baru mewajibkan penyedia platform untuk menyiapkan mekanisme perlindungan anak dari segi konten.
“Jadi mau tidak mau penyedia platform harus menyiapkan mekanisme untuk perlindungan anak. Penyedia platform harus bisa mendeteksi adanya penyalahgunaan,” kata dia.
Semuel menekankan bahwa PSE harus proaktif dalam mengawasi pengguna layanan. Ia juga menekankan bahwa anak harus dilindungi dari konten yang bukan sesuai umur mereka.
“Hak anak juga harus dilindungi jangan sampai terekspos melebihi usianya. Mereka harus mendeteksi apakah banyak anak-anak yang menggunakan platform buatan mereka. Jadi, ketika memang bisa diakses oleh anak, mereka harus dan berkewajiban menghapus segala konten dewasa di platform mereka,” kata dia.
Menurut Semuel, masalah perlindungan anak tidak hanya diatur dalam Pasal 16a Perubahan Kedua UU ITE. Bahkan, pemerintah akan membuat peraturan turunan berupa Peraturan Pemerintah yang mengatur lebih detail mengenai perlindungan anak di ruang digital.
“Pemerintah bertanggung jawab dalam mendorong terciptanya ekosistem digital yang adil, akuntabel, aman dan inovatif,” kata Semuel.
Menurut dia, dari revisi UU ITE akan menghadirkan tiga PP. Pertama, merevisi PP yang sudah ada yaitu PP Nomor 71 tahun 2019. Lalu, dalam revisi UU ITE ini akan ada PP khusus terkait Pasal 40a yang mengatur adanya keseimbangan. “Pasal baru tentang perlindungan anak juga akan ada PP baru,” kata dia.
Semuel juga menegaskan, UU ITE akan membuat pemerintah mengoptimalkan penindakan konten yang melanggar aturan. “Nantinya, Kominfo akan menemukan konten pelanggaran dari hasil patroli maupun aduan,” kata Semuel.
Meskipun membawa perubahan positif, tapi sejumlah organisasi masyarakat sipil masih memberikan sejumlah catatan. Salah satunya adalah Institute Criminal and Justice Reform (ICJR) yang menilai masih ada kritik dari sisi formil dan substansi.
Peneliti ICJR, Maidina Rahmawati, mengatakan dari sisi substansi, ICJR menyayangkan pelaksanaan revisi terkesan tertutup. Sementara dari segi formil, hal yang paling disayangkan adalah rapat serta konsinyering pembahasan tim perumus dan tim panja mayoritas dilakukan secara tertutup dan hasil dari pembahasan termasuk naskah revisi sulit untuk diakses oleh publik.
“Padahal, desakan untuk membuka proses pembahasan untuk diketahui publik terus menerus disuarakan sepanjang tahun ini,” kata Maidina dalam keterangan tertulis yang dikutip Tirto pada Kamis (7/12/2023).
Maidina menilai, keengganan tersebut memicu tanda tanya bagi publik, lantaran pasal yang dibahas adalah pasal penting berkaitan pembatasan hak publik serta tidak ada alasan kuat untuk menutupi pembahasan rapat.
Sementara itu, kata Maidina, dari substansi, ICJR melihat masih ada potensi permasalahan. Pada Pasal 27 ayat 1 UU ITE tentang kesusilaan memang sudah ada perubahan. ICJR mengakui ada penguatan unsur penyebaran konten masih diperbolehkan selama demi kepentingan pembelaan diri.
Akan tetapi, kata Maidina, ICJR khawatir masih ada unsur mentransmisikan dalam pasal tersebut. Mereka khawatir hal itu masih menjadi ruang untuk menjerat pidana korban.
Selain itu, kata dia, perumus masih menggunakan istilah “melanggar kesusilaan.” Unsur “melanggar kesusilaan” didefinisikan sebagai “perbuatan mempertunjukkan ketelanjangan, alat kelamin, dan aktivitas seksual yang bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat di tempat dan waktu perbuatan tersebut dilakukan.” Ia menilai, konten yang dimaksud harusnya dibatasi ke pornografi agar tidak membuka perdebatan perbuatan apa saja yang dikategorikan sebagai kesusilaan.
Kemudian, Pasal 27 ayat 3 tentang penghinaan individu juga disoroti ICJR. Mereka mengakui rumusan Pasal 27A UU ITE yang baru mengatur kembali perbuatan menyerang kehormatan sesuai Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Rumusan pasal memang dicocokkan dengan Pasal 433 KUHP 2023. Ia menekankan komunikasi privat atau tertutup tidak dapat lagi dijerat pidana.
Hal yang perlu diperhatikan adalah Pasal 27 ayat 3 berkaitan juga dengan Pasal 45 ayat (4) sampai dengan (7) yang mengatur pemidanaan tidak hanya untuk pencemaran nama baik, tapi juga untuk fitnah, sehingga UU ITE hanya diterapkan untuk delik pencemaran dan fitnah.
Pasal 45 ayat (7) juga mengatur mengenai alasan pembenar, yaitu terpaksa membela diri dan untuk kepentingan umum. Terdapat juga pengurangan ancaman pidana yaitu dari 4 tahun di UU ITE 2016 menjadi 2 tahun untuk delik pencemaran, sedangkan fitnah tetap di ancaman 4 tahun.
Kemudian, Pasal 28 ayat 2 UU ITE terkait ujaran kebencian juga menjadi sorotan. ICJR menilai pasal tersebut seharusnya mengacu pada Pasal 20 ayat (2) ICCPR dengan pembatasan-pembatasan yang telah dirumuskan dalam Prinsip Camden maupun Rabat Plan Action.
ICJR menilai substansi yang ada saat ini masih perlu penegasan bahwa konten yang disebarkan harus bersifat menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain dengan tujuan menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik. ICJR tidak ingin ada proses hukum atas dasar golongan yang tidak jelas seperti profesi, pejabat, tokoh politik, dan sejenisnya.
Dalam Pasal 28 ayat 3 tentang berita bohong juga perlu pengaturan lebih lanjut, kata Maidina. Hal ini tidak lepas bahwa aturan ini memiliki subtansi sama dengan KUHP yang baru disahkan. ICJR juga meminta penggunaan pasal berita bohong tidak lagi dapat disandarkan pada perdebatan atau kerusuhan di dunia online, melainkan harus bersifat fisik di dunia luar jaringan internet.
“Ke depan kerusuhan fisik ini juga perlu dipertegas bahwa ini adalah sebab akibat dari adanya perbuatan berita bohong bukan karena adanya kelompok yang sekadar tidak suka dan melakukan keributan sepihak,” kata Maidina.
Selain pasal-pasal yang disebut di atas, kata Maidina, ICJR juga menyoroti soal upaya pengaturan tata kelola internet dan penyelenggara sistem elektronik. Ia menyoroti penambahan Pasal 16A dan 16B serta perubahan Pasal 40 dan 40A RUU ITE. Pasal 16A ayat (3) dan (4) RUU ITE mengatur mengenai hal-hal yang harus disiapkan oleh PSE sebagai bentuk perlindungan bagi anak dalam mengakses internet.
ICJR menilai, pemerintah harus membuat pedoman PSE dalam waktu dekat. Sementara itu, kata Maidina, para PSE juga membuat pedoman sesuai aturan yang berlaku. ICJR mendorong agar pemberian pengaturan PSE berjalan dengan konsep keseimbangan kedua pihak.
“Jangan sampai, pemberian pembebanan kewajiban perlindungan kepada PSE ini justru menjadi self-regulation PSE tanpa adanya mekanisme checks and balances antara pemerintah dan PSE,” kata Maidina.
Selain itu, ketentuan Pasal 16B ayat (2) yang memberikan sanksi administratif berupa pemutusan akses PSE apabila melakukan pelanggaran terhadap Pasal 16A, perlu diperhatikan dari aspek kekuasaan, kata Maidina.
Mengingat perlu adanya checks and balances antara pemerintah dan PSE, maka kewenangan pemerintah untuk memberikan sanksi administratif berupa pemutusan akses perlu dipertimbangkan kembali karena pemerintah terlihat memegang peranan yang besar terhadap aktor privat.
Maidina mengacu pada Pasal 40 atau 40A di mana pemerintah bisa memerintahkan PSE untuk memutus akses, moderasi konten informasi elektronik atau dokumen elektronik, penyesuaian sistem elektronik dan tindakan lain.
Ia mengakui bahwa pemerintah memberikan kewajiban pada PSE untuk memberikan perlindungan. Akan tetapi, ICJR berharap masalah pemutusan akses hanya pada konten yang dilarang atau tindak pidana. Mereka mendorong agar ada aturan teknis untuk Pasal 40 dan 40A, tetapi tidak boleh mendefinisikan kembali konten yang harus dibatasi atau dilarang.
Di sisi lain, proses pengawasan penerapan Pasal 40 dan 40A perlu diatur lebih lanjut. ICJR mendorong agar pengadilan sebagai penentu keputusan saat penerapan pasal tersebut. Sebab, kata dia, dengan adanya izin pengadilan, maka tindakan pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 40 dan Pasal 40A dapat dijadikan sebagai objek praperadilan dan pemerintah dapat dimintakan pertanggungjawaban apabila ditemukan kesalahan dalam implementasinya.
“Penambahan pasal yang mengatur hal ini menjadi krusial untuk memastikan tidak ada konten yang melanggar UU lolos, sekaligus memastikan tidak ada pelanggaran hak berekspresi dan berpendapat yang terjadi,” kata Maidina.
Kritik serupa dilontarkan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), M. Isnur. Ia menilai DPR dan pemerintah gagal merevisi UU ITE karena merevisi tanpa keterbukaan.
“DPR dan pemerintah nampak tidak mau belajar dari kesalahan dalam praktik revisi undang-undang maupun penyusunan UU yang elitis, tertutup, tidak transparan, dan akuntabel dengan mengabaikan partisipasi bermakna yang merupakan hak mendasar warga dalam negara demokrasi,” kata Isnur, Kamis (7/12/2023).
Isnur beralasan, publik tidak menerima draf rencana revisi UU ITE hingga disahkan. Publik juga tidak bisa mengakses isi dokumen, bahkan sampai di situs resmi DPR, kata Isnur.
YLBHI juga ikut menyoroti beberapa pasal yang dikenal karet selama ini. Menurut Isnur, YLBHI masih menganggap ada pasal bermasalah seperti Pasal 27 ayat 3 tentang pengurangan hukum pencemaran nama baik serta perumusan delik absolut; Pasal 28 ayat 3 tentang berita bohong yang sebelumnya ada di Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana; hingga kehadiran Pasal 40 yang dianggap membuka ruang kesewenang-wenangan pemerintah dalam memblokir, memutus akses secara ilegal hingga melabeli konten hoaks.
“Kewenangan besar pemerintah yang diberikan melalui pasal ini dikhawatirkan akan menjadi alat sensor informasi dan suara kritis publik," kata Isnur.
Isnur juga menilai, beberapa pasal karet masih hadir dan berpotensi mengganggu kemerdekaan berdemokrasi. Pasal tersebut antara lain, yaitu: Pasal 26, Pasal 27 ayat (1) dan (3), Pasal 28 ayat (2) dan (3), Pasal 29, Pasal 36, Pasal 40 ayat (1) dan (2), dan Pasal 45 terkait pemidanaan. YLBHI khawatir, kehadiran pasal-pasal bermasalah justru menimbulkan kegagalan semangat revisi UU ITE.
Ia mengingatkan, setidaknya ada 199 kasus pelanggaran hak kebebasan yang ditangani YLBHI dan 18 LBH selama 2020-2022. Beberapa kasus yang menjadi contoh adalah pemutusan ilegal akses internet di Papua hingga kasus dua eks Koordinator KontraS, Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti.
“Masih dipertahankannya pasal-pasal bermasalah dalam momentum penting revisi UU ITE ini, tentu menjadi keprihatinan publik karena ketentuan yang ada di dalamnya masih berpotensi menambah daftar panjang kasus kriminalisasi kemerdekaan berpendapat dan berekspresi warga negara,” kata dia.
Isnur menambahkan, “Kegagalan menghapus pasal-pasal bermasalah tersebut akan berdampak pada tidak tercapainya tujuan revisi UU ITE untuk dekriminalisasi pasal-pasal yang mengancam hak asasi manusia, khususnya kemerdekaan berpendapat dan berekspresi.”
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz