Menuju konten utama

Menguak Penyebab Rendahnya Perdagangan Karbon di Indonesia

BEI sudah melakukan sosialisasi ke seluruh pemangku kepentingan seperti perusahaan tercatat dan akademisi. Ini dilakukan untuk menggairahkan pasar karbon.

Menguak Penyebab Rendahnya Perdagangan Karbon di Indonesia
Presiden Joko Widodo (tengah) berfoto bersama, dari kiri, Mendagri Tito Karnavian, Seskab Pramono Anung, Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan, Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar, Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar, Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono, dan Anggota Dewan Komisioner OJK Inarno Djajadi usai meresmikan bursa karbon Indonesia di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (26/9/2023).ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/tom.

tirto.id - Perdagangan karbon di Indonesia belum menunjukkan geliatnya. Sejak diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada 26 September 2023, nilai perdagangan di bursa karbon Indonesia baru mencapai Rp30,7 miliar dengan volume perdagangan 490.716 ton setara karbondioksida (CO2e) hingga 30 November 2023. Sementara masih terdapat sebanyak 71,95 persen karbon yang ditawarkan masih belum terjual.

Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK, Inarno Djajadi, memerinci nilai perdagangan tersebut meliputi 30,56 persen di pasar reguler atau senilai Rp9,38 miliar, 9,24 persen di pasar negosiasi atau Rp2,84 miliar, serta 60,2 persen di pasar lelang atau Rp18,48 miliar.

“Ke depan potensi bursa karbon di Indonesia masih besar mengingat 71,95 persen karbon yang ditawarkan masih belum terjual,” ujar Inarno dalam Konferensi Pers Rapat Dewan Komisioner Bulanan November 2023 secara virtual di Jakarta, Senin (4/12/2023).

Jokowi sendiri mengamini bahwa Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan nature based solutions (solusi berbasis alam). Menurut dia, Indonesia adalah negara yang memiliki potensi hingga 60 persen dalam pemenuhan pengurangan emisi karbon berasal dari sektor alam.

“Di catatan saya, ada kurang lebih 1 gigaton CO2 potensi kredit karbon yang bisa ditangkap dan jika dikalkulasikan potensi bursa karbon kita bisa mencapai Rp3 ribu triliun, bahkan bisa lebih,” kata Jokowi saat memberikan sambutan peluncuran pasar karbon di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (26/9/2023).

Dalam catatan lain, Center of Economic and Law Studies (Celios) menangkap potensi pasar karbon Indonesia mencapai Rp8 ribu triliun, sementara nilai transaksi global mencapai Rp11.400 triliun. Artinya, ada potensi sekitar 70 persen di Indonesia dari total transaksi unit karbon global.

Bursa karbon merupakan sistem yang mengatur perdagangan karbon atau pencatatan kepemilikan unit karbon. Saat ini, yang dapat bertransaksi dalam perdagangan karbon hanya perusahaan dan bukan perorangan. Penjualnya ialah perusahaan yang memiliki unit karbon, sementara pembelinya perusahaan yang membutuhkan unit karbon.

Bursa Karbon Indonesia atau IDXCarbon menyediakan sistem perdagangan yang transparan, teratur, wajar, dan efisien sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon.

Selain memberikan transparansi pada harga, Direktur Utama BEI, Iman Rachman, mengatakan perdagangan IDXCarbon juga memberikan mekanisme transaksi yang mudah dan sederhana, yang saat ini, terdapat empat mekanisme perdagangan IDXCarbon, di antaranya auction, regular trading, negotiated trading, dan marketplace.

IDXCarbon terhubung dengan Sistem Registrasi Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN-PPI) milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sehingga mempermudah administrasi perpindahan unit karbon dan menghindari double counting.

Pelaku usaha berbentuk perseroan yang memiliki kewajiban dan/atau memiliki komitmen untuk secara sukarela menurunkan emisi Gas Rumah Kaca, dapat menjadi pengguna jasa IDXCarbon dan membeli unit karbon yang tersedia.

Demand Rendah di Tengah Potensi Besar Perdagangan Karbon

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menilai masih sepinya transaksi karbon di perdagangan di bursa karbon tidak lepas dari demand atau permintaan yang masih lesu. Sekalipun potensinya besar, tapi butuh waktu lama agar perdagangan karbon bisa bergeliat.

“Kenapa rendah? Karena Indonesia belum membatasi (cap) emisi sektor-sektor ekonomi pengemisi tinggi," kata Fabby kepada Tirto, Selasa (5/12/2023).

Tidak hanya itu, sepinya transaksi perdagangan bursa karbon akibat pelaku ekonomi yang melakukan penurunan emisi masih fokus pada upaya-upaya perbaikan internal. Sehingga tidak membutuhkan pembelian karbon di bursa.

Berkaca pada pembelajaran dari beberapa sistem perdagangan emisi (ETS) seperti Cina, menunjukkan bahwa dibutuhkan waktu yang cukup lama. Menurut dia, hampir satu dekade, untuk membangun ekosistem pasar yang kuat dan matang.

Fabby menuturkan, meskipun pasar karbon di Indonesia masih tergolong baru, penerapannya yang efektif diharapkan dapat mendorong perubahan perilaku industri. Khususnya pada sub-sektor pembangkit listrik dan sektor energi secara keseluruhan.

“Penyebaran informasi kepada khalayak yang lebih luas dinilai penting untuk menarik lebih banyak pembeli dan pedagang untuk berpartisipasi dalam pertukaran karbon di luar sektor energi,” ujar dia.

Pada tahap awal ini, diperlukan insentif dari pemerintah karena untuk bisa lolos kriteria ‘hijau’, diperlukan proses tambahan yang menimbulkan biaya tambahan dan berpotensi menjadi beban, sehingga membuat pasar karbon menjadi tidak menarik. Pasar ini juga menciptakan peluang bagi Indonesia untuk memenuhi kebutuhan pendanaan iklim, sekaligus mendorong peluncuran pajak karbon sebagai alat pelengkap yang penting.

“Pemantauan dan evaluasi berkala diperlukan untuk menjaga semua kegiatan pada jalur yang benar, sementara peningkatan dan pengembangan lebih lanjut diperlukan agar pasar memenuhi syarat di tingkat internasional,” kata Fabby.

Belum Ada Kewajiban Perusahaan Beli Unit Karbon

Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Fahmy Radhi, menilai hingga saat ini belum ada aturan yang kuat bagi perusahaan atau entitas bisnis di dalam negeri untuk membeli unit karbon di Bursa Efek Indonesia. Absennya kewajiban pembelian itu membuat transaksi bursa karbon saat ini sepi.

"Iya sampai sekarang belum ada peraturan yang mewajibkan bahwa perusahaan tadi harus berkontribusi dalam menurunkan karbon," kata Fahm kepada Tirto, Selasa (5/12/2023).

Menurut Fahmy, aturan ada saat ini hanya berupa komitmen dan berdasarkan kesadaran perusahaan dan entitas bisnis di dalam negeri saja. Sehingga banyak perusahaan justru tidak tertarik dan enggan transaksi karbon.

"Itu saya kira menyebabkan masih sepi di pasar bursa karbon tadi," kata dia.

Bersamaan aturan wajib, Fahmy juga mendorong pemerintah agar menyiapkan insentif bagi perusahaan mau berkontribusi perdagangan karbon. Insentif ini bisa berupa pemberian tax karbon.

“Jadi jika dia berkontribusi perdagangan karbon bisa mendapatkan insentif berupa keringan pajak dan kredit dengan buka lebih rendah,” kata dia.

Jika hal di atas sudah berjalan, maka bisa menjadi pemicu bagi perusahaan untuk terlibat dalam perdagangan karbon. Pada saat itulah, Fahmy optimistis bursa karbon akan ramai.

“Saya kira ke depan prospeknya sangat bagus. Semakin muncul kesadaran kalau sudah ada aturan tegas yang mewajibkan perusahaan berkontribusi maka pada saat itulah akan meramaikan bursa karbon,” kata dia.

Direktur Pengembangan Bursa Efek Indonesia (BEI), Jeffrey Hendrik, mengatakan hingga November 2023, terdapat peningkatan pengguna jasa di bursa karbon menjadi 41 dari 25 pengguna jasa karbon di Oktober 2023. Selain itu, tercatat sebanyak dua penjual unit karbon dan 23 pembeli unit karbon.

“Saat ini sudah ada 41 pengguna jasa dan kita harapkan terus berkembang,” kata dia kepada Tirto, Selasa (5/12/2023).

Terkait dengan aktivitas sepinya di bursa karbon sejak diluncurkan pada 26 September 2023, kata dia, pihaknya juga sudah melakukan sosialisasi kepada seluruh pemangku kepentingan seperti perusahaan tercatat dan akademisi. Ini dilakukan untuk menggairahkan pasar karbon.

“Kalau kita bicara potensi bursa karbon tentu kita meyakini kalau potensinya sangat besar,” kata Jeffrey.

Baca juga artikel terkait BURSA KARBON atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz