Menuju konten utama

Seberapa Mampu Indonesia Mencapai Swasembada Pangan di 2026?

Untuk mewujudkan swasembada pangan yang baik, pemerintah tentu harus dapat bekerja sama dengan petani agar dapat meningkatkan produktivitas pertanian.

Seberapa Mampu Indonesia Mencapai Swasembada Pangan di 2026?
Foto udara petani memanen padi menggunakan mesin pertanian di Padang, Trucuk, Bojonegoro, Jawa Timur, Rabu (25/10/2023). Kementerian Pertanian menargetkan produksi beras dalam negeri mencapai 35 juta ton pada 2024 dan jumlah ini naik dibandingkan target 2023 yang sejumlah 31 juta ton. ANTARA FOTO/Muhammad Mada/hp.

tirto.id - Menteri Pertanian, Amran Sulaiman, optimistis Indonesia bisa menuju swasembada pangan pada 2026 mendatang. Setidaknya, terdapat tiga tahapan untuk menuju ke arah sana. Pertama, menekan impor, lalu memperbaiki produksi pangan, dan terakhir, baru bisa swasembada.

Swasembada pangan sendiri adalah kemampuan sebuah negara dalam mencukupi sendiri kebutuhan pangan bagi masyarakat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), swasembada adalah usaha mencukupi kebutuhan sendiri.

Amran mengatakan, salah satu upaya dilakukan dalam mencapai swasembada pangan adalah melalui pemanfaatan potensi lahan rawa. Saat ini terdapat sekitar 10 juta hektare lahan rawa yang berpotensi untuk digarap dan ditanami.

"Itu potensi kita ada 10 juta hektar, mudah-mudahan bisa kita kejar 1 juta hektar per tahun," kata Amran saat ditemui di Kantor Kementerian Pertanian (Kementan), Jakarta, Senin (20/11/2023).

Amran meyakini jika upaya tersebut dilakukan Indonesia dapat mencapai swasembada pangan dalam tiga tahun ke depan. Optimisme tersebut didasari karena sebelumnya Indonesia pernah mencapai swasembada beras.

Swasembada beras Indonesia terjadi tiga kali berturut pada 2019-2021. Pada kurun waktu tersebut, Indonesia tidak melakukan impor beras umum. Terakhir kali, Indonesia melakukan impor beras umum melalui penugasan Bulog pada 2018 silam, yakni sebesar 1,8 juta ton.

Keberhasilan tersebut membuat Indonesia mendapatkan penghargaan dari Institut Penelitian Padi Internasional (IRRI). IRRI menilai Indonesia telah memiliki sistem ketahanan pangan yang baik dan berhasil swasembada beras pada periode 2019-2021.

IRRI menjelaskan Indonesia mencapai swasembada lantaran mampu memenuhi kebutuhan pangan pokok domestik beras, lebih dari 90 persen. Diketahui, produksi beras nasional dari 2019 konsisten berada di angka 31,3 juta ton sehingga berdasarkan hitungan Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah stok akhir di April 2022 lalu tertinggi di angka 10,2 juta ton.

Seberapa Optimistis Swasembada Beras?

Untuk beras sendiri, kata Amran, bukan hal mustahil Indonesia bisa kembali swasembada. Perhitungan dia, jika 1 juta hektare lahan rawa diubah menjadi pertanian, maka bisa menghasilkan 5 juta ton gabah. Angka tersebut bisa bertambah jadi 7 ton apabila lahan sudah dalam kondisi siap IP 2 bahkan 3.

Dengan langkah tersebut, Amran optimistis selama tiga tahun bisa menghasilkan 15 juta ton gabah kering panen (GKP). "Saya percaya Indonesia juga bisa mengekspor beras. Kita kan cuma kekurangan 2-3 juta, sudah bisa ekspor," ucap dia.

Jika menilik data Badan Pusat Statistik (BPS), data produksi padi di Indonesia sepanjang Januari−September 2023 diperkirakan sebesar 45,33 juta ton GKG (gabah kering giling). Angka ini mengalami penurunan sekitar 105,09 ribu ton GKG (0,23 persen) dibandingkan Januari−September 2022 yang sebesar 45,43 juta ton GKG.

Sementara itu, berdasarkan amatan fase tumbuh padi hasil Survei KSA September 2023, potensi produksi padi sepanjang Oktober−Desember 2023 adalah sebesar 8,30 juta ton GKG.

Dengan demikian, total produksi padi pada 2023 diperkirakan sebesar 53,63 juta ton GKG atau mengalami penurunan sebanyak 1,12 juta ton GKG (2,05 persen) dibandingkan 2022 yang sebesar 54,75 juta ton GKG.

Namun, jika produksi padi dikonversikan menjadi beras untuk konsumsi pangan penduduk, produksi padi sepanjang Januari−September 2023 diperkirakan setara dengan 26,11 juta ton beras atau mengalami penurunan sebesar 58,56 ribu ton beras (0,22 persen) dibandingkan Januari− September 2022 yang sebesar 26,17 juta ton beras.

Sementara itu, potensi produksi beras sepanjang Oktober−Desember 2023 adalah sebesar 4,78 juta ton beras. Dengan demikian, total produksi beras pada 2023 diperkirakan sekitar 30,90 juta ton beras atau mengalami penurunan sebesar 645,09 ribu ton beras (2,05 persen) dibandingkan produksi beras pada 2022 yang sebesar 31,54 juta ton beras.

Target produksi beras tahun 2024

Buruh tani mengoperasikan mesin harvester untuk memanen padi di Lubuk Pakam, Deli Serdang, Sumatera Utara, Rabu (13/9/2023). ANTARA FOTO/Fransisco Carolio/rwa.

Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, mengatakan jika menggunakan definisi bahwa swasembada adalah manakala 90 persen kebutuhan domestik bisa dipenuhi dari produksi sendiri, sebenarnya Indonesia sudah swasembada beras. Tinggal saat ini bagaimana pemerintah bisa mempertahankannya.

“Bahwa tahun ini ada impor beras besar, iya. Tapi impor beras dalam jumlah besar itu hanya terjadi di tahun-tahun tertentu saja. Tidak sepanjang tahun,” ucap dia kepada Tirto, Selasa (21/11/2023).

Khudori menuturkan, jika ditarik ke belakang pada 10-15 tahun terakhir, porsi impor beras Indonesia paling 4-5 persen dari kebutuhan konsumsi. Oleh karena itu, menurut dia, langkah Kementerian Pertanian untuk mengoptimalkan pemanfaatan lahan rawa perlu didukung untuk mewujudkan swasembada pangan.

“Selain mengintensifkan lahan yang sudah ada, lahan rawa dan lahan kering adalah potensi besar yang belum digarap optimal. Harapan ke depan ada di lahan-lahan itu. Bukan hanya padi, tapi juga komoditas yang lain,” ucap dia.

Menurut Khudori, saat ini lahan-lahan sawah yang ada sudah jenuh untuk menggenjot produksi. Karena meski potensinya ada, perlu kerja keras dan ketekunan di lapangan. Terutama memastikan SOP budidaya yang baik dipatuhi dan ditaati. Tentu dengan menyiapkan segala kebutuhan sarana produksi dan input.

“Optimalisasi lahan rawa dan kering pasti butuh waktu. Konsentrasi kerja-kerja teknokratis ke depan mesti diorientasikan ke sana,” kata Khudori.

Indonesia Bisa Swasembada Beras, tapi Tidak Komoditas Pangan Lain

Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santoso, mengamini bahwa untuk swasembada beras Indonesia bisa dicapai dengan mudah. Karena menurut definisi FAO, swasembada beras berarti jika produksi lokal dapat memenuhi 90 persen kebutuhan nasional.

“Kalau definisi swasembada berdasarkan FAO sejak 25 tahun kita swasembada terus. Hanya tahun ini saja kita tidak swasembada. Karena impor kita tahun ini di atas 2 juta ton,” ujar Andreas kepada Tirto, Selasa (21/11/2023).

Untuk tahun ini, pemerintah mengimpor beras sebanyak 2 juta ton. Instruksi tersebut tercatat dalam surat resmi Badan Pangan Nasional (Bapanas) tertanggal 24 Maret 2023. Rencana impor beras 2 juta ton ini tergolong besar bagi Indonesia, bahkan menjadi rekor terbanyak dalam lima tahun terakhir.

Berdasarkan data BPS selama periode 2019-2022 volume impor beras nasional rata-rata hanya 409 ribu ton per tahun, sekitar 5 kali lipat lebih rendah dari rencana impor 2023. Impor beras 2 juta ton juga terhitung besar di skala global.

Jika dibandingkan dengan data impor beras negara-negara lain yang dihimpun United States Department of Agriculture (USDA), pada 2023 Indonesia menjadi importir beras terbesar ke-5 sedunia. Di atas Indonesia ada Filipina, Tiongkok, Irak, dan Nigeria, sedangkan impor negara lainnya lebih sedikit seperti terlihat pada grafik.

Kalau terkait dengan swasembada beras sudah sebetulnya. Tapi lain ceritanya kalau kita bercerita swasembada pangan,” ujar dia.

Andreas yang juga Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) itu, bahkan menjawab tidak mungkin jika bicara swasembada pangan secara keseluruhan. Untuk urusan pangan pokok saja, seperti gandum rasanya sulit untuk bisa swasembada. Gandum sendiri proporsinya sebagai pangan pokok mencapai 28 persen.

“Sehingga bagaimana menggantikan gandum persoalannya? Karena tidak akan pernah ada satu politik yang berani dan kuat untuk melawan dominasi gandum,” kata dia.

“Kalau itu digunakan sebagai definisi swasembada pangan, sudah sejak puluhan tahun ini kita tidak bisa swasembada pangan. Ketika proporsi gandum sebagai pangan pokok kita semakin lama semakin meningkat,” lanjut Andreas.

Berdasarkan trennya, impor gandum belakangan juga bergerak dinamis. Pada tahun lalu impor gandum dan meslin Indonesia sebesar 9,46 juta ton. Jumlahnya turun 17,61 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 11,48 juta ton.

Kendati, nilai impor gandum dan meslin Indonesia naik 7,38 persen menjadi 3,81 miliar dolar AS pada tahun lalu. Pada 2021, impor gandum dan meslin ke dalam negeri senilai 3,55 miliar dolar AS.

Jika swasembada pangan diperluas ke kedelai seperti cita-cita menteri sebelumnya, juga akan mustahil terjadi. Sebab, faktanya, kata Andreas, ketergantungan kita terhadap kedelai impor sudah 97 persen. “Tahun lalu cetak rekor tertingginya 8 juta ton. Bisa dibayangkan,” imbuh dia.

“Kalau kita mau swasembada apa? Gula. Gula 70 persen kita impor,” ucap dia.

Jika dilihat tren impornya, nilai impor kedelai Indonesia pada 2022 mencapai 1,62 miliar dolar AS. Angka ini naik 9,45 persen dari tahun sebelumnya (year-on-year/yoy) yang sebesar 1,48 miliar dolar AS. Meski nilainya naik, namun volume impor kedelai Indonesia justru menurun pada 2022 yaitu sebanyak 2,32 juta ton. Volume ini turun 6,45 persen dari 2021 yang sebanyak 2,48 juta ton.

Header Pergeseran Pola Pangan di Indonesia

Header Pergeseran Pola Pangan di Indonesia. tirto.id/Tino

Sementara untuk impor gula pada periode Januari-Oktober 2023 tercatat sebanyak 4,08 juta ton atau turun 22 persen dari jumlah impor pada Januari-Oktober 2022 sebanyak 5,23 juta ton. Sedangkan per Oktober 2023 sendiri 369,57 ribu ton, naik 39,58 persen dari Oktober 2022 sebanyak 264,78 ribu ton.

“Kalau mengurangi impor kan tergantung pemerintah. Produksi cukup pun pemerintah bisa impor kan. Kan gampang kurangi saja impornya selesai,” ujar dia.

Untuk dapat mewujudkan swasembada pangan yang baik, pemerintah tentu harus dapat bekerja sama dengan para petani di Indonesia agar dapat meningkatkan produktivitas pertanian.

Kekuatan kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat akan semakin memperkuat ketahanan pangan dan menjadi kebutuhan yang harus dipersiapkan dan dilaksanakan semaksimal mungkin. Kontrol harga pangan dalam negeri semestinya dapat turut dikendalikan oleh pemerintah.

Sewajarnya, pemerintah dalam mengelola swasembada pangan juga dinilai perlu memperhatikan kebutuhan masyarakat petani dengan membayar hasil panen sesuai dengan kinerja para petani.

Baca juga artikel terkait SWASEMBADA BERAS atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Maya Saputri