tirto.id - Partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) kemungkinan akan maju sendiri-sendiri dalam pilkada serentak November 2024. Hal ini tidak lepas dari keinginan mereka untuk mengusung kader terbaiknya memperebutkan kursi kepala daerah, khususnya di level provinsi.
Meski masih ada niat untuk maju sebagai satu koalisi dari level nasional hingga daerah, setidaknya di dua provinsi dengan lumbung suara besar seperti Jawa Barat dan Jawa Timur, parpol yang tergabung di KIM --Gerindra, Golkar, PAN, Demokrat, PSI, PBB, Gelora, dan Partai Garuda-- berpotensi tak solid.
Di Jawa Barat misal, Golkar berencana mengusung kembali Ridwan Kamil sebagai bakal cagub Jabar. Kepastian pria yang akrab disapa RK maju di Pilgub Jabar diungkapkan Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar, Ahmad Doli Kurnia.
“Dengan segala perhitungan, kami secara politik dan juga untuk kepentingan pembangunan di Jawa Barat, mungkin Pak Ridwan Kamil lebih relevan, lebih bermanfaat, lebih berguna untuk masyarakat Jawa Barat,” kata Doli ketika ditemui di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Kamis (25/4/2024).
Di sisi lain, Partai Gerindra membuka peluang untuk mengusung kader sekaligus Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Dedi Mulyadi. Hal itu disampaikan Sekjen Partai Gerindra, Ahmad Muzani, beberapa waktu lalu.
“Orang yang di samping saya [Dedi Mulyadi] yang dilirik untuk Pilgub Jabar,” kata Muzani usai membuka Kontes Sapi APPSI memperebutkan piala MPR RI di Kemayoran, Jakarta, sebagaimana dikutip Antara.
Dedi yang juga hadir dalam acara tersebut menandakan restu Partai Gerindra untuk mengusungnya di Pilkada Jawa Barat. Meski belum mendapat keputusan partai, Dedi mengaku siap untuk maju di Pilkada Jawa Barat.
“Kalau ditugaskan oleh partai, kita harus berani mengambil risiko karena ini tugas. Tugas itu, kan, jangankan jabatan, rumah pun harus kita tinggalkan kalau tugas,” kata mantan Bupati Purwakarta itu kala itu.
Sementara itu, di Jawa Timur, permasalahan bukan pada nama bakal cagub, melainkan bakal cawagub. Empat partai KPI, yaitu Gerindra, Demokrat, PAN, dan Golkar memberikan surat rekomendasi kepada Khofifah Indar Parawansa. Akan tetapi, Gerindra dan Demokrat punya nama masing-masing sebagai calon pendamping Khofifah, yaitu Emil Dardak (Demokrat) dan Anwar Sadat (Gerindra).
Sebagai bakal cagub, Khofifah mengaku ingin agar keempat parpol pengusungnya, yakni Gerindra, Golkar, Demokrat, dan PAN, mendukung dirinya bersama Emil Dardak, yang notabene rekannya saat maju Pilkada Jawa Timur di 2018.
“Saya berharap bahwa empat partai pengusung ini kompak. Saya mudah-mudahan diberi kesempatan tetap bersama Mas Emil. Saya merasa nyaman dan produktif bersama Mas Emil lima tahun kemarin,” kata Khofifah di Jakarta, Selasa (14/5/2024).
Keempat partai koalisi yang tergabung dalam KIM itu menjadi prioritas komunikasi yang dilakukan Khofifah. Di klaster kedua, ada PSI, PDIP dan PPP. Hal ini tidak lepas tiga partai di klaster dua sudah berkomunikasi dengan dia. Sementara klaster terjauh adalah PKB yang belum berkomunikasi.
Analis politik dari Universitas Padjajaran, Kunto Adi Wibowo, menilai koalisi pilpres sebelumnya akan mengubah paradigma mereka di pilkada. Parpol akan mengejar kursi gubernur atau wakil sehingga masalah latar koalisi harus sama dengan pilpres atau tidak sudah bukan lagi pertimbangan utama.
“Bagi mereka, kan, yang pertama, apakah mereka punya kader yang punya potensi menang besar gitu kan? Kalau iya, mereka akan ngotot jadi calon gubernur. Kalau enggak ya sebisa mungkin dapat pencalonan wakil gubernur gitu dan itu pun suasana koalisinya juga sangat dinamis,” kata Kunto, Selasa (14/5/2024).
Kunto juga mengingatkan situasi pilkada kali ini beda dengan pilkada sebelumnya. Saat ini, pilkada berlangsung setelah pileg sehingga mereka bisa menggunakan hasil pileg sebagai daya tawar untuk membentuk koalisi.
“Jadi mereka merasa hasil pileg itu memang benar-benar bisa dijadikan bargaining position untuk dapat maju jadi calon gubernur maupun maju jadi calon wakil gubernur," kata Kunto.
Ia menilai kasus Jabar bisa menjadi contoh kemungkinan pecah. Kunto sebut, Golkar tidak akan menerima kursi wakil karena mereka punya kader yang bekas petahana, yakni Ridwan Kamil. Di sisi lain, Gerindra yang suaranya besar di Jawa Barat juga tidak ingin mendapat kursi wakil. Hal ini tidak hanya di Jabar, tetapi juga di Jatim.
“Jadi ini dinamikanya lebih tergantung pada bagaimana bursa tokoh-tokoh di provinsi tersebut atau di daerah tersebut dan kemudian potensi koalisi baru dengan menghitung kemenangan, posisi dan segala macamnya tadi," kata Kunto.
Kunto tidak menutup kemungkinan KIM di Jabar dan Jatim pecah, apalagi sejumlah partai non-KIM bersedia untuk membangun koalisi. Ia mencontohkan Nasdem dan PDIP Jabar yang ingin membuka koalisi dengan Gerindra. Oleh karena itu, situasi politik masih cair hingga penyerahan tiket.
“Pada akhirnya karena enggak ada yang bisa mencalonkan sendiri, ya harus bisa berkoalisi dan koalisi itu kan juga butuh chemistry, butuh perhitungan supaya jangan sampai dari calon gubernur dan wakil gubernur yang ada di hasil koalisi ini justru elektabilitasnya rontok ketika digabungin,” kata Kunto.
Kunto juga menekankan, perbedaan sikap di daerah tidak akan mempengaruhi sikap nanti di tingkat nasional. Dalam kasus pilkada, Kunto lebih melihat kengototan figur untuk bisa maju pilkada daripada ribut di tingkat nasional.
“Tapi pada akhirnya, kan, bagi-bagi kue di pusat itu jauh lebih penting kecuali di beberapa daerah pasti ada tokoh yang sangat ngotot gitu dan pada akhirnya pilkada lebih raja-raja kecil (cagub) ini yang akan kemudian akan punya lebih banyak daripada partainya,” kata Kunto.
Analis politik dari Skala Data Indonesia, Arif Nurul Imam, juga melihat KIM berpotensi bubar di daerah sangat mungkin terjadi. Ia mengingatkan situasi nasional berbeda dengan daerah sehingga kemungkinan koalisi daerah berbeda dengan nasional bisa terjadi.
“Kita tahu konstelasi politik nasional dengan konstelasi politik lokal hampir selalu tidak linier sehingga potensi Koalisi Indonesia Maju untuk berbeda pilihan dan dukungan politik sangat lebar," kata Imam.
Imam tidak memungkiri Jabar adalah contoh kuat KIM pecah karena ada Ridwan Kamil dan Dedi Mulyadi. Ia menilai, kebuntuan komunikasi politik membuka ruang lebar KIM akan berjalan masing-masing.
Selain itu, kata dia, kesempatan untuk berpisah juga mungkin terjadi di Jabar dan Jatim karena daerah tersebut adalah daerah suara besar. Sebab, partai politik berusaha menjaga basisnya masing-masing.
Akan tetapi, Imam melihat KIM di tingkat nasional akan tetap solid meski nantinya berbeda faksi di pilkada. Ia menilai konflik yang ada di Tingkat daerah tidak akan mengganggu pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz