tirto.id - Pemerintah bakal melebur sistem iuran kelas I, II dan III BPJS Kesehatan menjadi kelas rawat inap standar (KRIS). Sistem ini diimplementasikan secara resmi setelah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 diteken Presiden Joko Widodo pada 8 Mei 2024. Ke depan, mekanisme KRIS akan diatur lebih lanjut lewat Peraturan Menteri Kesehatan.
Pemerintah mengklaim penerapan KRIS akan meningkatkan mutu dan kualitas pelayanan peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Lewat sistem KRIS, peserta BPJS Kesehatan mendapatkan standar layanan rawat inap yang sama sehingga tidak dibedakan sesuai besaran iuran kelas.
Meski begitu, sejumlah pihak menilai sistem KRIS harus dipertimbangkan ulang pemerintah sebelum benar-benar dilaksanakan secara penuh paling lambat 30 Juni 2025.
Kepala Bidang Pengaduan dan Hukum YLKI, Rio Priambodo, mengingatkan pemerintah seharusnya membuat kebijakan yang bijak kepada konsumen karena yang dibutuhkan saat ini adalah standarisasi kelas bukan kelas rawat inap standar.
Menurut Rio, menyeragamkan kelas rawat inap berpotensi mengkebiri hak konsumen memilih suatu layanan.
“Yang jelas itu merupakan mandat dari UU Perlindungan Konsumen,” kata Rio kepada reporter Tirto, Selasa (14/5/2024).
Rio mempertanyakan alasan pemerintah yang terkesan memaksakan kehendak untuk memberlakukan KRIS.
Seharusnya, pemerintah memikirkan peningkatan layanan seperti ketersediaan obat, tempat tidur, rujukan BPJS, dan perluasan kerjasama dengan rumah sakit. Sebab, justru hal-hal tersebut yang akan dirasakan langsung dampaknya oleh peserta.
“Jika buntut kebijakan tersebut ada kenaikan iuran bagi peserta kelas 3, pemerintah harus memikirkan mitigasi bagi konsumen yang tidak mampu membayar iuran jika akan dinaikkan,” ujar Rio.
Ketua Umum Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI), Mahesa Paranadipa, menyampaikan tujuan awal penerapan KRIS adalah standarisasi pelayanan yang sama untuk kelas non-VIP. Tujuan ini baik, menurut dia, agar tidak ada perbedaan mutu layanan kelas rawat inap.
Di sisi lain, ekses negatif KRIS diprediksi membuat banyak peserta BPJS Kesehatan yang saat ini masuk kategori iuran BPJS Kesehatan kelas 1 tidak nyaman. Mahesa menilai mereka akan pindah ke kelas VIP atau berpindah menggunakan asuransi komersil.
“Jika ada sekian banyak masyarakat berpindah ke asuransi komersil dan tidak menggunakan kartu BPJS, [maka] perlu ditinjau kembali terkait cakupan Universal Health Coverage (UHC) karena ini tanggung jawab negara terhadap seluruh rakyat,” ucap Mahesa kepada reporter Tirto, Selasa (14/5/2024).
Mahesa juga menyatakan sistem KRIS bakal berdampak pada rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
Menurutnya, hasil penelitian yang dilakukan oleh Kemenkes terkait penerapan KRIS pada 2023, dampak penerapan KRIS kepada rumah sakit adalah pengurangan jumlah tempat tidur. Dari sisi bisnis tentunya ini akan mengurangi pemasukan rumah sakit.
“Kalau saya malah memprediksi akan terjadi cakupan layanan RS yang eksisting akan berkurang, hal ini nantinya jadi alasan pemerintah maupun swasta akan mendirikan lebih banyak RS. Maka RS akan berjamur di daerah yang jumlah penduduknya banyak,” kata dia.
KRIS mengamanatkan dua belas kriteria yang harus dipenuhi oleh rumah sakit. Kriteria ini meliputi komponen bangunan yang tidak memiliki tingkat porositas yang tinggi, ventilasi udara, pencahayaan ruangan, kelengkapan tempat tidur, nakas per tempat tidur, temperatur ruangan, dan pembagian ruang rawat.
Selain itu, kriteria kepadatan ruangan, tirai/partisi antartempat tidur, kamar mandi dalam ruangan rawat inap, kamar mandi sesuai dengan standar aksesibilitas, dan outlet oksigen.
Berdasarkan hasil survei Kemenkes soal kesiapan RS dalam implementasi KRIS, per 4 Februari 2024 ada 681 RS yang belum memenuhi kriteria dan sudah ada 2.233 RS yang memenuhi dua belas kriteria KRIS.
Waspada Timbul Masalah Baru Penerapan KRIS
Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, mengatakan pelaksanaan KRIS akan menimbulkan masalah baru ke depannya. Pertama, pelaksanaan KRIS berpotensi menghambat akses peserta JKN pada ruang perawatan. Dia menjelaskan, pelaksanaan KRIS akan merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2021.
Dalam Pasal 18, kata dia, disebutkan bahwa rumah sakit swasta dapat mengalokasikan ruang perawatan KRIS minimal 40 persen dari total yang ada dan untuk rumah sakit pemerintah minimal harus mengalokasikan 60 persen.
“Ini artinya terjadi pembatasan akses bagi peserta JKN ke ruang perawatan di RS,” kata Timboel dalam keterangan yang diterima, Selasa (14/5/2024).
Timboel menyatakan, KRIS berpotensi membuat iuran peserta mandiri akan menjadi satu (single tarif) karena menggunakan satu ruang perawatan. Sehingga iuran kelas I dan II akan turun, sementara kelas III diproyeksikan akan naik.
Sementara itu, bagi kelas I dan II akan membayar lebih rendah sehingga menurunkan potensi penerimaan iuran.
“Sementara kelas III yang naik akan berpotensi meningkatkan peserta yang menunggak,” tutur dia.
Masalah lain yang akan timbul adalah terjadi ketidakpuasan bagi peserta penerima upah swasta dan pemerintah yang selama ini menggunakan kelas I dan II, yang mana ruang perawatan terdiri dari dua atau tiga tempat tidur. Rumah sakit swasta, sambung Timboel, akan mengalami kesulitan dana untuk merenovasi ruang perawatan sesuai KRIS.
“Seharusnya pemerintah mengkaji ulang KRIS dengan melakukan standarisasi ruang perawatan kelas I, II dan III, bukan membuat KRIS dengan satu ruang perawatan," ujar Timboel.
Di sisi lain, Anggota Komisi IX DPR RI, Rahmad Handoyo, menyambut baik rencana pemerintah tersebut. Menurutnya, penghapusan kelas BPJS Kesehatan itu merupakan amanah undang-undang lewat peraturan presiden.
“Artinya amanah rakyat, apa yang disampaikan oleh presiden dalam hal ini peraturan presiden mengacu pada UU,” kata Rahmad saat dihubungi Tirto, Selasa (14/5/2024).
Menurut Rahmad, Komisi IX DPR RI berkali-kali melakukan rapat bersama pemerintah, yakni Kementerian Kesehatan guna mengetahui strategi, konsep, payung hukum termasuk uji coba dan evaluasi penerapan KRIS.
Hingga kini, pembahasan mengenai penerapan KRIS itu belum final dan masih dalam taraf uji coba. Selama tahap inilah, Rahmad mengingatkan agar pemerintah benar-benar membuat desain atau konsep matang menjelang penerapan KRIS. Rahmad tak ingin penerapan KRIS menimbulkan masalah baru, terutama dari sisi iuran.
Selama ini, jelas dia, BPJS Kesehatan terbagi ke iuran mandiri, bantuan pemerintah pusat, kemudian pemerintah daerah. Ia mewanti-wanti jika kelas BPJS Kesehatan dihapus menjadi KRIS jangan sampai memberatkan peserta yang mandiri.
"Kalau yang dibayar pemerintah enggak masalah, tapi kalau peserta mandiri yang kelas III aja terasa berat, ada beberapa warga yang sulit memenuhi kewajiban secara mandiri, apalagi nanti KRIS. Jangan sampai peserta BPJS keluar karena ketidakmampuan untuk membayar penyesuaian," pesannya.
Respons Pemerintah
Presiden Joko Widodo menegaskan dirinya belum meresmikan penghapusan kelas kesehatan dalam pembiayaan BPJS Kesehatan. Jokowi mengaku belum menandatangani karena regulasinya masih dalam proses penyempurnaan.
Selain itu, pemerintah klaim tidak ada penghapusan kelas, melainkan hanya meningkatkan kualitas pelayanan BPJS Kesehatan. Hal itu disampaikan Jokowi usai meninjau situasi RSUD Konawe, Sulawesi Tenggara, Selasa (14/5/2024). Hal yang sama disampaikan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin saat mendampingi Jokowi.
“Jadi itu bukan dihapus, standarnya disederhanakan dan kualitasnya diangkat. Jadi itu ada kelas tiga kan semuanya naik ke kelas dua dan kelas satu,” kata Budi Gunadi.
Dia mengklaim, perubahan kelas tersebut akan membuat pelayanan lebih sederhana dan layanan kesehatan ke masyarakat jauh lebih baik. Kemenkes bakal mengeluarkan aturan turunan soal perubahan kelas tersebut ke depan.
Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, menyatakan sampai dengan saat ini, belum ada regulasi turunan dari Perpres Nomor 59 Tahun 2024 tersebut, sehingga mekanisme KRIS belum dapat diketahui secara pasti.
Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa hasil evaluasi pelayanan rawat inap rumah sakit yang menerapkan KRIS akan menjadi landasan bagi pemerintah untuk menetapkan manfaat, tarif, dan iuran JKN ke depan.
"Perlu kami tegaskan juga bahwa kebijakan KRIS ini masih akan dievaluasi penerapannya oleh Menteri Kesehatan dengan melibatkan BPJS Kesehatan, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), dan pihak-pihak terkait lainnya," kata Ghufron saat dihubungi, Selasa (14/5/2024).
Sampai dengan saat ini, kata dia, nominal iuran yang berlaku bagi peserta JKN masih mengacu pada Perpres 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018.
Ghufron menyebut, untuk peserta JKN segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) atau peserta mandiri kelas I iuran masih sebesar Rp150 ribu, kelas II Rp100 ribu dan kelas III Rp42 ribu per orang per bulan dengan subsidi sebesar Rp7 ribu per orang per bulan dari pemerintah, sehingga yang dibayarkan peserta kelas III Rp35 ribu.
“Hasil evaluasi penerapan KRIS ke depan, akan menjadi salah satu input dalam menetapkan penyesuaian besaran iuran peserta JKN," ucap Ghufron.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Bayu Septianto