tirto.id - Pemerintah dan DPR RI sepakat merevisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Aksi revisi ini menjadi spesial karena kegiatan pembahasan dilakukan tanpa ada kabar dan tiba-tiba langsung kesepakatan dan akan dibawa ke sidang paripurna DPR.
Dalam keterangan kepada wartawan pada Senin (13/5/2024), Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Hadi Tjahjanto, mengumumkan pemerintah menerima hasil pembahasan RUU tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (RUU MK) di tingkat Panitia Kerja (Panja).
“Atas nama pemerintah, kami menerima hasil pembahasan RUU di Tingkat Panitia Kerja (Panja), yang menjadi dasar pembicaraan atau pengambilan keputusan tingkat I pada hari ini. Pemerintah sepakat untuk dapat meneruskan pembicaraan dan pengambilan keputusan tingkat II terhadap RUU Mahkamah Konstitusi di Sidang Paripurna DPR RI,” kata Hadi saat Rapat Kerja dengan Komisi III DPR terkait Pembahasan Pengambilan Keputusan Tingkat I terhadap RUU tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (13/5/2024).
Hadi sebut ada beberapa poin penting dalam revisi UU MK terbaru itu. Meski mantan Panglima TNI itu tidak merinci isi poin penting yang dimaksud, tapi ia mengklaim revisi akan semakin memperkokoh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta semakin meneguhkan peran dan fungsi MK sebagai penjaga konstitusi negara (guardian of the constitution).
“Pemerintah berharap kerja sama yang telah terjalin dengan baik antara DPR RI dan pemerintah, dapat terus berlangsung, untuk terus mengawal tegaknya negara kesatuan yang kita cintai bersama,” kata Hadi.
Rapat kerja ini dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Golongan Karya (Golkar), Adies Kadir, serta Wakil Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra, Habiburokhman.
Dalam keterangan yang dikutip dari laman resmi DPR, Adies Kadir memang meminta persetujuan anggota Komisi III dan pemerintah untuk melanjutkan pembahasan revisi UU MK ke paripurna DPR.
Adies dalam rapat menyampaikan, pada 29 November 2023, Panja Komisi III DPR RI dan pemerintah telah menyetujui DIM RUU tentang Mahkamah Konstitusi dan memutuskan bahwa pembahasan RUU tentang Mahkamah Konstitusi dapat langsung dilanjutkan pada Pengambilan Keputusan Pembicaraan Tingkat I atau Rapat Kerja di Komisi III.
Namun, revisi tersebut terkesan diam-diam, apalagi dilakukan saat reses. Anggota Komisi III dari Fraksi PDIP, Johan Budi, mengaku tidak diundang untuk pengesahan UU MK ke tingkat paripurna.
“Saya enggak dapat (undangan),” kata Johan Budi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (14/5/2024).
Johan Budi secara pribadi mengaku memanfaatkan masa resesnya untuk mengunjungi daerah pemilihannya (dapil). Namun, kata dia, rapat tetap bisa dilaksanakan di tengah masa reses sepanjang izin pimpinan.
“Karena sekali lagi, kan, reses (saya) enggak ada di Jakarta. Kalau teorinya orang reses, orang ke dapil. (Tapi) bukan berarti ketika reses enggak boleh ada rapat, bukan berarti itu,” ucap mantan juru bicara Presiden Jokowi itu.
Di sisi lain, Jokowi sendiri enggan berkomentar soal revisi UU MK. “Tanyakan ke DPR,” kata Jokowi di Pasar Sentral Lacaria, Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara, Selasa (14/5/2024) sebagaimana rekaman video yang diterima dari Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden.
Upaya Menyingkirkan Hakim Konstitusi?
Sontak, rencana revisi UU MK yang senyap itu mendapat kritik publik. Ahli hukum tata negara Universitas Andalas, Fery Amsari, mengatakan, revisi UU MK kali ini dapat dilihat sebagai upaya menjaga kepentingan politik dengan menendang hakim konstitusi yang tidak sejalan.
“Ya jelas substansi ini berupaya menyingkirkan hakim-hakim tertentu yang punya sikap dan upaya menegakkan konstitusi sehingga nirpolitik, dengan upaya mengubah UU MK ini terlihat sekali upaya itu untuk ruang kepentingan politik baik pemerintah maupun DPR,” kata Feri kepada Tirto, Selasa (14/5/2024).
Fery menilai, MK seharusnya dijauhkan dari upaya kendali pembuat undang-undang. Ia menilai janggal pembuat undang-undang untuk memaksakan upaya merevisi, apalagi UU MK tersebut baru direvisi.
“Undang-undang ini sudah berkali-kali [direvisi], artinya pembentuk undang-undang tidak matang mengubah dan merancang konstruksi bangunan MK yang mestinya independen,” kata Fery.
Sebagai catatan, pemerintah sebelumnya sudah beberapa kali merevisi UU MK. Terakhir, UU MK direvisi pada 2020 dengan mengubah ketentuan batas umur paling rendah hakim 55 tahun dari sebelumnya 47 tahun.
Rencana merevisi kembali UU MK itu lantas ditolak oleh Mahfud MD yang kala itu menjabat sebagai Menkopolhukam. Dalam keterangan pers, Selasa (14/5/2024), Mahfud mengaku menolak usulan revisi UU MK sebelum diketok.
“Banyak itu yang saya blok, tapi yang terakhir itu UU MK, tidak ada di Prolegnas, tidak ada di apa, masuk, dibahas,” kata Mahfud.
Mahfud mengingatkan, RUU MK ditolak ketika dirinya mewakili pemerintah sebagai Menkopolhukam periode 2019-2023. Mantan Ketua MK ini menegaskan, pembahasan terhadap RUU MK itu dilakukan secara tiba-tiba menjelang kontestasi politik Pemilu 2024.
“Itu saya tolak ketika saya ditunjuk untuk menghadapi, mewakili pemerintah, saya bilang coret, dead lock, tidak ada perubahan UU menjelang begini,” ujar Mahfud.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran, Prof Susi Dwi Harijanti, mengaku sudah pernah menyarankan agar pembahasan RUU MK dilakukan oleh DPR RI periode selanjutnya.
“Baik DPR maupun presiden dalam masa lame duck (bebek lumpuh) karena masa jabatan mereka segera berakhir. Dalam masa seperti ini, secara etika politik pembentuk UU tidak membuat keputusan-keputusan penting yang dapat mempengaruhi pemerintah yang akan datang,” kata Susi dalam keterangan yang diterima, Selasa (14/5/2024).
Fery lantas menilai bahwa revisi tidak lepas dari upaya untuk memaksa MK untuk tunduk. Ia malah khawatir aksi revisi tidak lepas dari upaya untuk meloloskan kepentingan dalam revisi Undang-Undang Kementerian Negara maupun UU Pemilu.
“Bagi saya ini masalah yang disengaja untuk mencoba menawan Mahkamah Konstitusi apalagi kalau bicara soal UU Kementerian Negara yang akan diubah. Jangan-jangan ini bagian dari upaya alat sandera itu terutama kalau dikaitkan dengan kepentingan pemilu,” kata Fery.
Hal senada diungkapkan ahli hukum dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah. Ia melihat bahwa revisi UU MK tidak lepas dari upaya kelompok tertentu untuk diambil alih. Ia juga tidak memungkiri mereka yang tidak sejalan dengan niat politik kelompok tertentu akan diganti.
“Mereka yang tidak sejalan dengan jalan pikiran kekuasaan, akan dicopot dan disingkirkan dengan berbagai cara. Bukan hanya sekali dua kali. Namun, upaya kooptasi ini dilakukan berkali-kali demi menyingkirkan mereka yang dianggap menghambat kepentingan kekuasaan,” kata pria yang karib disapa Castro itu.
"Parahnya, operasi penyingkiran ini dilakukan dengan cara-cara kotor! Dalam berbagai macam literatur, kooptasi umumnya dimaknai sebagai upaya untuk mengambil alih kendali suatu organisasi," tambahnya.
Castro menilai, revisi UU MK terakhir kembali ingin mengubah batas umur hakim dari yang sebelumnya 55 tahun menjadi 60 tahun. Castro menilai, perubahan umur adalah upaya menyasar hakim yang memiliki umur di bawah 60 tahun.
Dalam catatan, hanya Saldi Isra (55), Guntur Hamzah (59), dan Daniel Yusmich (59). Jika menilik berbasis pengusul, Daniel dan Saldi diusulkan Presiden Jokowi, sementara Guntur diusulkan DPR.
Pada revisi UU MK yang diperoleh dan akan disahkan, memang ketentuan umur hakim tidak berubah. Namun, Pasal 23A mengatur bahwa hakim konstitusi memiliki masa jabatan selama 10 tahun. Ketika seorang hakim konstitusi sudah mencapai masa jabatan 5 tahun, hakim tersebut wajib dikembalikan kepada lembaga pengusul untuk mendapat persetujuan atau tidak untuk melanjutkan masa jabatan.
Jika ingin kembali bertugas di 5 tahun berikutnya, hakim tersebut harus memenuhi syarat sebagai hakim, belum berusia maksimal 70 tahun dan mendapat persetujuan dari lembaga pengusul. Jika tidak memberikan persetujuan, lembaga pengusul harus mengusulkan.
Selain itu, dalam ketentuan pasal peralihan di Pasal 87 menyatakan bahwa hakim yang menjabat lebih dari 5 tahun, tapi kurang dari 10 tahun, hanya dapat melanjutkan sebagai hakim konstitusi sejak tanggal penetapan keputusan presiden mengenai pengangkatan pertama hakim konstitusi setelah mendapat persetujuan dari lembaga pengusul. Sementara itu, hakim yang menjabat melebihi 10 tahun, maka masa jabatan berakhir di umur 70 tahun sebagaimana sesuai ketetapan presiden.
Castro menilai, upaya lain yang dilakukan untuk menyingkirkan pihak yang tidak sejalan adalah dengan menarik pejabat di tengah masa jabatan. Salah satunya dialami oleh Aswanto yang diganti oleh Guntur Hamzah. Pergantian Aswanto oleh DPR RI sebagai lembaga pengusul, tidak lepas dari sikap dia yang membatalkan UU Cipta Kerja.
Selain itu, keterpilihan Arsul Sani yang menggantikan Wahiduddin Adams juga menunjukkan potensi kooptasi MK. Ia beralasan, DPR terkesan buru-buru, tidak transparan, tidak partisipasif, dan berbenturan kepentingan. Hal ini tidak lepas dari posisi Arsul yang juga anggota DPR kala itu.
Oleh karena itu, Castro menolak rencana revisi UU MK. Ia khawatir upaya kooptasi tidak lepas untuk memastikan MK tunduk kepada penguasa.
“Publik dengan mudah dapat menebak motif di balik rencana perubahan UU MK tersebut, yakni kepentingan untuk mengamankan hasil Pemilu 2024, di mana MK akan bertindak sebagai pengadilnya. Dan rencana perubahan UU MK ini bertujuan untuk memastikan agar hakim-hakim MK tunduk dan selaras dengan kehendak kekuasaan. Usulan perubahan ini tentu akan makin memperkuat kooptasi terhadap MK,” kata Castro.
Ketua Umum YLBHI, Muhammad Isnur, kaget dengan revisi UU MK yang tiba-tiba. Pemerintah dan DPR seolah tergesa-gesa dan mengulangi kesalahan revisi UU MK pada 2020 yang tidak partisipatif, tertutup dan tergesa-gesa padahal syarat tersebut diamanatkan dalam UU MK. Ia menilai, revisi tersebut tidak memenuhi syarat untuk disahkan secara formil.
“Jadi ini jelas secara formil melanggar atau cacat hukum,” kata Isnur.
Isnur mengatakan, substansi revisi tidak lepas dari sejumlah tekanan kepada MK. Ia mencontohkan penggantian Aswanto, pelanggaran etik Anwar Usman hingga putusan kontroversi soal syarat capres dan cawapres.
Ia khawatir revisi UU MK ini berimbas pada upaya penyingkiran hakim konstitusi berintegritas seperti Enny Nurbaningsih dan Saldi Isra maupun menguntungkan bagi hakim yang bermasalah seperti Anwar Usman.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz