Menuju konten utama

Setop Penganiayaan saat Interogasi Demi Cap Status Tersangka

Penetapan tersangka tak bisa hanya berbasis keterangan verbal dari saksi, tetapi harus berbasis data intelijen dan bukti yang kuat.

Setop Penganiayaan saat Interogasi Demi Cap Status Tersangka
Personel Dit Lantas Polda Kalbar memasangkan pita operasi di seragam rekannya sebelum mengikuti apel gelar pasukan di Polda Kalimantan Barat, Rabu (3/4/2024). ANTARA FOTO/Jessica Wuysang/wpa.

tirto.id - Kasus penganiayaan yang dilakukan polisi saat menginterogasi kembali terjadi. Kali ini, kejadian muncul di Bulukumba, Sulawesi Selatan, saat seorang remaja dianiaya dan dipaksa mengaku sebagai pengguna narkoba. Korban pun sempat melawan dengan melapor ke Propam Polres Bulukumba.

"Sudah kita periksa di propam polres," kata Kapolres Bulukumba, AKBP Andi Erma Suryono, saat dihubungi Tirto, Senin (13/5/2024).

Satuan Narkoba (Satnarkoba) Polres Bulukumba sebelumnya menjadi sorotan karena menangkap anak remaja dan memaksanya mengaku sebagai pengedar narkoba. Pemaksaan pun disebut dilakukan dengan upaya penganiayaan.

Akan tetapi, Andi menegaskan bahwa mereka masih mendalami dugaan remaja yang salah tangkap itu terlibat kasus narkoba. Ia mengakui bahwa remaja yang ditangkap tidak menggunakan narkoba dan tidak ada barang bukti. Namun, mereka masih melakukan pendalaman.

"Sementara masih kita dalami dengan mengumpulkan bahan keterangan," kata Andi.

Kasi Humas Polres Bulukumba, AKP H. Marala, menjelaskan usai menerima laporan dari pelapor berinisial IK pada Selasa 7 Mei 2024, pihak Propam belum bisa memanggil IK.

"Maksud pemanggilan kepada IK didampingi oleh orang tuanya untuk diarahkan membuat laporan secara resmi di Propam guna penanganan lebih lanjut." jelas Marala pada Jum'at (10/5/2024), sebagaimana dikutip Senin (13/5/2024).

Sementara dari pihak Satnarkoba membenarkan pihaknya telah mengamankan IK pada Kamis 2 Mei 2024, karena dari hasil penyelidikan diduga terlibat dalam penyalahgunaan narkoba jenis sabu.

Saat diamankan dan dilakukan interogasi, IK mengaku telah mengonsumsi sabu sebelum ditangkap anggota Opsnal Satnarkoba.

"Pengakuan tersebut berdasarkan rekaman video dan suara pada saat IK diinterogasi oleh polisi," jelas Marala.

Marala juga menyampaikan dugaan penganiayaan yang dialami IK terjadi pada Kamis 2 Mei 2024. Akan tetapi, kejadian penganiayaan baru dilaporkan kepihak Propam pada Selasa 7 Mei 2024 pukul 01.00 dinihari.

Kasus Berulang & Polisi Harus Lebih Profesional

Kasus salah tangkap dan penganiayaan yang dilakukan anggota kepolisian sebetulnya bukan hanya terjadi di Bulukumba. Baru-baru ini, seorang warga Aceh Utara meninggal dunia akibat dianiaya polisi saat penangkapan yang dilakukan satuan Polres Aceh Utara.

Hampir serupa dengan di Bulukumba, korban dipaksa mengaku memiliki narkoba.

Komisioner Kompolnas Poengky Indarti menegaskan, aparat seharusnya tidak boleh sembarangan dalam penangkapan. Polisi harus bersifat secara profesional berdasarkan scientific crime investigation.

"Artinya bukti-bukti dan saksi-saksi harus kuat. Jangan sampai salah mengidentifikasi bukti dan keterangan saksi sehingga berdampak pada kesalahan fatal, termasuk melakukan salah tangkap dan salah tahan," kata Poengky kepada Tirto, Senin (13/5/2024).

Poengky mengingatkan, tindakan salah tangkap hingga penahanan sudah masuk dalam ranah mengurangi kebebasan seseorang. Apalagi ketika ada upaya kekerasan, penyidik bisa dikategorikan telah melanggar HAM.

Ia mendorong ada upaya penegakan hukum atas tindakan anggota polisi yang nakal tersebut.

"Kepada penyidik yang melakukan salah tangkap, salah tahan, dan tindak kekerasan berlebihan harus diproses pidana dan kode etik," kata Poengky.

Poengky mengatakan Kompolnas sudah mengirimkan surat kepada Polda Sulawesi Selatan untuk penanganan kasus tersebut. Sementara itu, dalam kasus di Aceh, Kompolnas tengah melakukan pendalaman.

"Kami mendorong agar pemeriksaan di Propam ditindaklanjuti dengan pemeriksaan pidana di Reskrimum, sehingga akan ada 2 sanksi hukum yang diterapkan, yaitu sanksi etik dan sanksi pidana agar ada efek jera," kata Poengky.

Infografik CI Kasus Salah Tangkap

Infografik CI Kasus Salah Tangkap

Sementara itu, Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, menyesalkan kekerasan yang kerap dilakukan kepolisian saat melakukan penyelidikan maupun penyidikan.

Polisi, kata Bambang memang diberikan wewenang untuk menggunakan kekerasan dengan tujuan keamanan dan ketertiban. Akan tetapi, penerapannya tidak berarti bebas seluas-luasnya sehingga kekerasan sewenang-wenang dalam penindakan tidak dapat dibenarkan.

"Kekerasan dengan kesewenang-wenangan atau tanpa mematuhi SOP dalam bentuk apapun kepada siapapun tak bisa dibenarkan," tegas Bambang kepada Tirto, Senin (13/5/2024).

Bambang menilai ada sejumlah faktor yang memicu kejadian terus berulang. Pertama adalah ketidakmampuan penyidik untuk mendapatkan tambahan alat bukti sehingga memaksa tersangka membuat pengakuan dengan cara-cara kekerasan.

Kedua, personel tidak memahami masalah HAM. Ketiga, sistem peradilan yang masih mengutamakan pengakuan tersangka dibanding dengan alat bukti materiil. Kemudian tidak ada sanksi yang memberi efek jera untuk mencegah penganiayaan dalam proses hukum.

"Di sisi organisasi Polri, tidak ada sanksi yang membuat jera kepada personel yang melakukan kekerasan yang tak diperbolehkan," tutur Bambang.

Kerap Terjadi di Kasus Pemberantasan Narkoba

Sementara itu, pegiat hukum dari Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, menilai kasus salah tangkap dan penganiayaan yang dilakukan kepolisian sudah menjadi problematika, terutama penegakan hukum di pemberantasan narkoba.

Ia menilai, hal itu tidak lepas munculnya aksi tukar kepala sebagai klaim tanggung jawab aparat dalam memberantas narkoba.

"Jadi kalau kita ikuti problematika penegakan hukum dalam isu narkotika yang terjadi itu bukan kadang-kadang asal menangkap, tapi yang sering terjadi itu dilakukan secara sistematis dan ada komando struktural untuk melakukan operasi yang namanya tukar kepala. Jadi orang yang tidak bersalah kemudian disiksa, dipukuli, dianiaya, diancam dan segala macamnya yang banyak juga menyebabkan kematian untuk ditukarkan menjadi pelaku dari bandar narkoba yang sebenarnya," kata Julius, Senin (13/5/2024).

Julius mengaku kadang kala tukar kepala tidak lepas dari potensi pungli maupun suap antara bandar dengan kepolisian.

Ia menyinggung kasus mantan Kapolda Sumbar Irjen (purn) Teddy Minahasa yang disebut sebagai otak bisnis narkoba dan dia menunjuk seseorang menjadi operator bandar. Kemudian operator mencari seseorang sebagai pengganti dirinya di penjara.

Teddy Minahasa divonis penjara seumur hidup

Terdakwa kasus peredaran narkotika jenis sabu Irjen Pol Teddy Minahasa melihat ke arah wartawan seusai sidang pembacaan putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Jakarta, Selasa (9/5/2023). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/foc.

Julius pun bercerita pernah menangani kasus serupa saat ada warga di Jawa Tengah dipaksa mengaku pengguna narkoba dan dihukum 5 tahun penjara. Orang tersebut lantas bebas setelah hakim yakin bahwa bukti dalam perkara menyatakan korban tidak bersalah.

Dalam kasus seperti itu, permasalahan ada pada pengungkapan kasus narkoba berbasis pada saksi verbal lisan. Seharusnya, pengungkapan kasus narkoba berbasis data intelijen dan bukti yang mencukupi.

Hal ini makin sulit karena polisi berstatus absolut dalam hukum. Ia beralasan, polisi adalah pemeriksa, pengumpul bukti, penindak dan saksi adalah polisi sehingga memunculkan absolutisme dalam penegakan hukum.

Julius menilai seharusnya ada upaya perbaikan yang perlu dilakukan kepolisian. Pertama adalah hapus penindakan berbasis lisan. Semua bukti harus melewati validasi dan penetapan hakim.

Kedua, pengawasan internal Propam harus diubah. Kemudian Kompolnas harus bebas dari kelompok yang berafiliasi dengan kepolisian.

Ketiga adalah penegakan sanksi tegas, yakni tidak lagi menerapkan sanksi etik, melainkan sanksi administratif jika malaadministrasi dan sanksi pidana jika melanggar secara hukum.

"Mekanisme sanksi ini harus diterapkan dengan tegas, jika tidak maka terjadi yang namanya impunitas itu sendiri dan oleh karenanya tidak akan kapok-kapok," kata Julius.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN POLISI atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Bayu Septianto