Menuju konten utama

Menyoal Represi Aparat ke Demonstran yang Terus Berulang

Penggunaan represi oleh aparat kepolisian maupun TNI jelas sangat berbahaya bagi iklim demokrasi di Indonesia.

Menyoal Represi Aparat ke Demonstran yang Terus Berulang
Personel kepolisan berupaya membubarkan mahasiswa yang menerobos pagar saat berunjuk rasa menolak pengesahan Revisi UU Pilkada di depan Gedung DPR, Jakarta, Kamis (22/8/2024). Unjuk rasa tersebut merupakan bagian dari gerakan peringatan darurat Indonesia yang viral di media sosial setelah DPR bermanuver mengabaikan putusan MK. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/Spt.

tirto.id - Elemen masyarakat sipil di Jakarta, Bandung, Surakarta, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Medan, hingga Manado, serentak menggelar aksi penolakan pengesahan revisi UU TNI, Kamis (20/3/2025). Namun, seperti yang sudah-sudah, demonstrasi masih tak lepas dari kekerasan aparat kepolisian.

Di depan Gedung DPR/MPR RI, Jakarta Pusat, menurut pantauan Tirto pada Kamis (20/3/2025) pukul 19.40 WIB, satu per satu massa menaiki pagar sisi kanan Kompleks Parlemen. Mereka lalu berupaya menerobos masuk ke dalam Gedung DPR RI. Kepolisian lalu mencegah massa memasuki gedung legislatif dengan menembakkan water canon.

Suasana seketika ricuh dan massa melempari personel kepolisian di dalam Gedung DPR menggunakan batu. Sejumlah massa tampak luka-luka usai kericuhan tersebut. Salah satu massa aksi unsur mahasiswa menduga kepolisian dari dalam gedung legislatif juga melempari massa dengan batu.

Sementara itu, massa aksi lain menduga lemparan batu tersebut berasal dari massa aksi yang berada di belakang. Lemparan mereka tak seberapa jauh sehingga mengenai sesama demonstran.

Beberapa ambulans lantas datang mengangkut demonstran yang terluka ke arah Jalan Gerbang Pemuda, Senayan. Sebagian massa aksi lain yang terluka juga diangkut menggunakan motor warga.

Di Semarang, saat sore sekira pukul 17.15 WIB, polisi berperisai mulai memainkan pentungan dan mendorong massa mundur. Sementara itu, tim pengurai massa dari Raimas Brimob memanaskan sepeda motor sembari menenteng pelontar gas air mata. Polisi benar-benar membubarkan massa pada pukul 18.20 WIB dengan cara menembakkan gas air mata.

Salah satu mahasiswa mengalami luka di bagian pelipis mata dan darahnya mengalir hingga leher. Dia mengaku mendapat kekerasan saat berada di mobil komando.

"Tadi kena tendang saat di mokom [mobil komando]," katanya kepada reporter Tirto, Kamis (20/3/2025).

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang selaku pendamping massa bahkan menyebut ada beberapa orang yang dibawa polisi.

"Ada empat [orang] yang dibawa," ujar Nukhan, perwakilan LBH Semarang, saat dikonfirmasi Tirto.

Tindakan-tindakan represif aparat kepolisian seperti itu tidak terjadi sekali-dua kali. Padahal, tindakan represif terhadap ekspresi warga merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Apalagi, kebebasan berpendapat adalah hak fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Alih-alih melakukan upaya persuasif seperti tertuang dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkab) Nomor 7 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat Di Muka Umum (PDF), aparat kepolisian justru sering menggunakan kekuatan secara berlebihan. Hal itu pun terus berulang di setiap aksi demonstrasi.

Pada 2024 lalu, misalnya, Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD), yang di antaranya terdiri dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), juga sempat merilis data terkait pola represi anggota Polri dan TNI dalam merespons demonstrasi di berbagai kota seluruh Indonesia periode 22-26 Agustus 2024.

Masih hangat dalam ingatan demonstrasi saat itu digelar guna mengawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang hendak dijegal melalui revisi UU Pilkada yang proses legislasinya berjalan ugal-ugalan di DPR RI.

Laporan TAUD tersebut mengungkapkan bahwa tindakan kekerasan terhadap massa aksi terjadi di 13 kota/kabupaten di Indonesia dengan setidaknya 6 pola, di antaranya penangkapan disertai tindak kekerasan, tindakan penyiksaan serta tindakan tidak manusiawi, penggunaan gas air mata secara serampangan, dan adanya tindak penghilangan paksa berjangka singkat atau short-term enforced disappearances.

Potensi Pelanggaran HAM Berat?

Represi aparat yang terus berulang menimbulkan pertanyaan soal pelanggaran HAM yang dilakukan. Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Zainal Arifin, mengungkap bahwa perlu pendalaman untuk bisa mengungkap seberapa berat pelanggaran HAM dalam tindakan kepolisian yang represif.

“Pelanggaran HAM-nya pasti ya. Karena, itu kaitannya dengan pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi dan kemudian represifitas itu sebagai jalan untuk menyempitkan ruang-ruang demokrasi gitu. Itu pelanggaran HAM. Tapi, apakah kemudian itu pelanggaran HAM berat, [itu] yang kemudian perlu didalami,” ujar Zainal ketika berbincang dengan Tirto, Jumat (21/3/2025).

Meski demikian, YLBHI belum sampai pada level untuk bisa menentukan hal tersebut. Zainal menjelaskan bahwa masyarakat sipil bisa berperan untuk memeriksa kemungkinan adanya instruksi penggunaan kekerasan yang secara masif.

“Yang sifatnya tidak lagi insidental, sifatnya tidak lagi responsif, tapi menjadi pola yang secara masif. Nah, kalau terjadi pola secara masif, itu kan bisa jadi mengarahnya ke soal pelanggaran HAM berat. Misalkan, ternyata ya diketahui ada instruksi dari institusi kepolisian, aparat pengadilan hukum, atau pun instruksi dari penyusun kebijakan dalam hal ini adalah eksekutif,” ucap Zainal.

Terlepas dari persoalan ada atau tidaknya pelanggaran HAM, menurut Zainal, penggunaan represi oleh aparat kepolisian jelas sangat berbahaya bagi demokrasi. Alasannya, kekerasan dapat mematikan kebebasan berpendapat dan kebebasan pers.

Hal yang menjadi persoalan adalah kebebasan berpendapat dan kebebasan pers kini tengah terancam. Seperti diketahui, pada Rabu (19/3/2025) pekan lalu, Kantor Redaksi Tempo mendapat teror berupa kiriman kepala babi. Teror itu pada dasarnya cuma memperburuk catatan panjang kasus pembungkaman dan ancaman terhadap kemerdekaan pers di Indonesia.

“Tentu saja, tidak ada demokrasi tanpa orang bersuara. Tidak ada demokrasi tanpa kemauan untuk mendengar,” lanjut Zainal.

Staf Divisi Hukum KontraS, Azlia Amira Putri, juga menyampaikan pernyataan selaras. Menurutnya, kekerasan aparat terhadap massa aksi merupakan pelanggaran HAM, khususnya kebebasan berekspresi.

“Apabila kita merujuk pada UU HAM, dalam Pasal 104, terdapat keterangan mengenai definisi dari pelanggaran HAM berat, yakni pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination),” ucap Azlia kepada Tirto, Jumat (21/3/2025).

Seturut UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Azlia menyebut bahwa aksi yang terjadi di beberapa wilayah bisa jadi dianggap meluas, sedangkan aspek sistematis bisa merujuk pada satu institusi yang kerap melakukan pelanggaran, yakni kepolisian.

Meski begitu, menurut Azlia, praktiknya di Indonesia tidak semudah itu. Karena, untuk membuktikan terstruktur, harus dapat ditemukan rantai komando serta kebijakan yang membuat perbuatan tersebut dilakukan.

“Selain itu, kami melihat harus ada penyelidikan lebih lanjut secara pro justitia dan kami selalu mendorong Komnas HAM untuk menjalankan fungsinya tersebut. Sehingga aparatur negara bisa menjalankan fungsinya secara baik. Meskipun Perkap sudah memberikan guideline terkait HAM, pada kenyataannya itu belum dilaksanakan di lapangan. Hal ini menunjukkan masih diperlukannya perubahan dalam tubuh institusi polri yakni reformasi kepolisian berkelanjutan,” kata Amira.

Eskalasi Bentuk Represi

Agenda pengesahan RUU TNI di DPR RI pada Kamis (20/3/2025) lalu dilakukan dengan penjagaan yang sangat ketat. Sebanyak 5.021 personel gabungan TNI-Polri diterjunkan untuk mengamankan aksi unjuk rasa penolakan pengesahan RUU TNI.

Azlia dari KontraS pun berkomentar terkait hal tersebut. Menurutnya, jika merujuk ke UU Nomor 34/2004 tentang TNI, tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI, dan melindungi segenap bangsa Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Oleh karena itu, penerjunan pasukan TNI semacam itu tidak sesuai dengan tupoksinya.

“Pun apabila kita merujuk pada operasi militer selain perang (OMSP). Meskipun TNI dapat membantu Polri dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang, [hal itu] hanya dapat dilakukan apabila Polri sudah tidak dapat menangani aksi yang berlangsung,” ujar Azlia.

Pelibatan TNI dalam pengamanan aksi unjuk rasaa berpotensi memunculkan pelanggaran HAM lantaran militer tidak punya pelatihan yang spesifik dalam penanganan aksi sipil. Penerjunan TNI pun akan mengaburkan batas antar persoalan sipil dan militer.

Dengan demikian, kata Azlia, pengerahan TNI seharusnya tidak perlu dilakukan, termasuk dalam aksi penolakan RUU TNI yang sudah disahkan menjadi UU. Upaya tersebut seakan menunjukkan arogansi kekuasaan.

“Apabila militer dilibatkan lebih sering dalam pengamanan aksi, bisa jadi terjadi pola represifitas yang lebih buruk mengingat TNI didik bukan untuk berhadapan dengan warga sipil, namun pengamanan negara dan perang,” ucap Azlia.

Zainal dari YLBHI pun mengungkapkan bahwa penerjunan TNI dalam Sidang Paripurna DPR RI merupakan bentuk eskalasi represi dari rezim hari ini. Sidang Parpipurna DPR RI kini rupanya tak hanya dijaga oleh polisi, tapi dihadapi dengan tank-tank TNI.

“Ingat, Sidang Paripurna itu adalah proses secara politik yang menunjukkan transformasi sipil, di mana masyarakat, kekuatan sipil, melakukan proses-proses politik di situ. Meskipun yang diperbincangkan itu adalah substansinya berkaitan dengan undang-undang militer, tapi tidak boleh militer masuk begitu saja di gedung rakyat,” ujar Zainal.

Penerjunan aparat—baik TNI maupun Polri—secara berlebihan, secara tidak langsung memberikan sinyal tekanan agar masyarakat sipil jangan bertindak macam-macam.

“Nah, ini kan apa yang kemudian dikhawatirkan sebenarnya setelah tampak dari gestur yang ditujukan oleh militer kemarin ketika kemudian mengerahkan pasukan sedemikian rupa di gedung DPR,” ucap Zainal.

Zainal pun mempertanyakan beberapa politikus yang berkoar bahwa UU TNI yang baru tidak mengusung dwifungsi TNI seperti halnya era Orde Baru.

“Nyatanya kemarin itu apa? Bagaimana ceritanya sipil kemudian dikelilingi oleh barisan-barisan pasukan bersenjata,” kata Zainal.

Itulah yang dikhawatirkan masyarakat selama ini, bahwa substansi UU TNI yang baru bakal melegitimasi dan meningkatkan eskalasi bentuk represi aparat di lapangan.

“Kalau dalam substansi, misalnya, Undang-Undang TNI Pasal 8 itu menyatakan bahwa ada perubahan kan khususnya di dalam tugas penanganan Angkatan Darat yang tidak hanya dalam perbatasan-perbatasan darat, tapi di seluruh wilayah darat. Artinya, ada perubahan paradigma. Militer tidak hanya dalam level-level untuk pertahanan, tapi kemudian untuk keamanan. Sehingga, orang-orang yang dianggap mengancam keamanan negara dalam bentuk aksi demonstrasi mungkin kan bisa jadi dianggap mengancam,” ujar Zainal.

Hingga artikel ini diterbitkan, kepolisian tidak merespons permintaan konfirmasi dari Tirto terkait kultur represif yang terus diulang di setiap aksi demonstrasi, termasuk dalam aksi penolakan pengesahan revisi UU TNI.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN APARAT atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - News
Reporter: Fina Nailur Rohmah
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Fadrik Aziz Firdausi