Menuju konten utama

Teror Kepala Babi ke Tempo adalah Ancaman Kemerdekaan Pers

Dalam catatan LBH Pers, setidaknya ada 67 peristiwa kekerasan terhadap jurnalis pada 2024 lalu.

Teror Kepala Babi ke Tempo adalah Ancaman Kemerdekaan Pers
Kepala Babi di Kantor Tempo. FOTO/ Istimewa

tirto.id - Aksi teror kiriman kepala babi ke Kantor Redaksi Tempo pada Rabu (19/3/2025) memperburuk catatan panjang kasus pembungkaman dan ancaman terhadap kebebasan pers di Indonesia. Peristiwa ini jelas merupakan bentuk intimidasi terhadap media atau jurnalis yang bekerja mengungkap fakta dan menyuarakan kebenaran.

Kiriman kepala babi tersebut ditujukan kepada Cica, nama panggilan Francisca Christy Rosana, yang merupakan wartawan desk politik majalah Tempo dan host siniar Bocor Alus Politik. Paket tersebut pertama kali diterima oleh satuan pengamanan Tempo pada Rabu sekitar pukul 16.15 WIB, lalu Cica menerimanya pada Kamis (20/3/2025) pukul 15.00.

Saat itu, Cica baru pulang dari liputan bersama Hussein Abri Yusuf Muda Dongoran, sesama wartawan desk politik dan hostBocor Alus Politik. Setelah diberitahu ada kiriman untuknya, Cica lantas membawa kotak kardus tersebut ke kantor. Namun, setelah dibuka, tercium bau busuk dan isinya ternyata kepala babi.

“Kami mencurigai ini sebagai upaya teror dan melakukan langkah-langkah yang menghambat kerja jurnalistik," kata Pimpinan Redaksi Tempo, Setri Yasra, dalam keterangannya, dikutip Jumat (21/3/2025).

Teror semacam itu bukan kali pertama bagi awak Tempo. Pada Agustus 2024, mobil milik Hussein Abri Yusuf Muda Dongoran juga sempat dirusak oleh orang tidak dikenal di Jalan Pattimura, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan—di belakang Mabes Polri dan depan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

Malam itu, sekitar pukul 21.50 WIB, Hussein hendak pulang ke rumahnya setelah bertemu narasumber di Mall Senayan City. Ketika memutar mobil ke arah jalan layang Antasari, Hussein mendengar bunyi keras di belakang mobilnya.

Semula, dia menduga seseorang menabrak bagian belakang mobilnya. Namun, dari spion tengah, dia tak melihat ada mobil lain di belakangnya.

“Hanya ada dua orang berboncengan sepeda motor melaju ke arah Senayan,” kata Hussein, dikutip dari pemberitaan Tempo.

Merespons teror yang diterima Cica, Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Mustafa Layong, mengatakan bahwa itu tak hanya ditujukan kepada Tempo saja, melainkan juga bagi seluruh insan pers. Menurutnya, teror itu adalah pesan bahwa kemerdekaan pers sedang ingin diamputasi.

Serangan berupa teror pada media atau jurnalis melalui simbol-simbol semacam itu, menurutnya, adalah tindakan keji dan kuno. Pengirimnya pasti punya maksud dan pesan dari kepala babi terpenggal itu.

“Kita tahu Tempo salah satu media yang sangat kritis terhadap permasalahan-permasalahan di Indonesia dan sudah sangat banyak mendapat serangan,” jelas Mustafa kepada Tirto, Jumat (21/3/2025).

Kekerasan Berulang terhadap Jurnalis

Dalam catatan LBH Pers, setidaknya ada 67 peristiwa kekerasan terhadap jurnalis pada 2024 lalu. Dari puluhan kekerasan itu, hanya hitungan jari yang dilaporkan kepada penegak hukum.

Tidak dilaporkannya sebagian besar peristiwa kekerasan itu memiliki latar belakang yang cukup kompleks. Mulai dari tidak adanya dukungan dari perusahaan media, keraguan jurnalis dalam melaporkan kepada penegak hukum, hingga pada level yang tertinggi: proses penanganan kasusnya menguap atau jalan di tempat.

Bahkan, salah satu kasus kekerasan yang ditangani LBH Pers dihentikan oleh kepolisian, meski LBH Pers yakin kasus itu layak untuk terus diselidiki. Contohnya adalah teror bom terhadap jurnalis Papua, Victor Mambor.

Kasus teror bom yang dialami Victor Mambor boleh jadi merupakan level tertinggi ketidakamanan kerja jurnalis di Papua. Penegak hukum pun secara ironis tidak mampu membongkar kasus itu.

Kekerasan terhadap jurnalis yang berakhir tragus pernah terjadi di Sumatera Utara pada 2024. Saat itu, rumah wartawan Tribrata TV bernama Rico Sempurna Pasaribu dibakar. Akibatnya, Rico, istri, dan cucunya yang masih balita meninggal.

Sebelum terjadi pembakaran rumah, Rico pun sempat mendapat intimidasi untuk menurunkan pemberitaan. Kasus Rico ini menjadi catatan kelam betapa rentannya profesi jurnalis. Pada kasus ini, penegak hukum pun hanya mampu membawa aktor lapangan ke meja hijau.

Rumah Wartawan Tribatra TV

TKP kebakaran rumah wartawan Tribrata TV Rico Sempurna Pasaribu di Karo, Sumatra Utara. Foto/Dok. Polda Sumut.

Kasus lainnya adalah penangkapan dan penganiayaan terhadap Pimpinan Redaksi Floresa.co, Herry Kabut, yang dilakukan oleh anggota kepolisian di Poco Leok, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, pada Rabu (2/10/2024).

Saat itu, Herry tengah meliput aksi “jaga kampung” yang dilakukan warga Poco Leok. Aksi tersebut merupakan wujud penolakan warga atas penggusuran paksa untuk proyek geotermal milik PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Di Kalimantan Timur, tiga wartawan diintimidasi dan ditangkap aparat lantaran meliput aksi “Indonesia Is Not For Sale MERDEKA!” di Jembatan Pulau Balang, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, pada 17 Agustus 2024.

Aksi ini merupakan bentuk kritik sejumlah organisasi masyarakat sipil, seperti Greenpeace Indonesia, Walhi, dan Jatam, dalam rangkaian Hari Ulang Tahun Proklamasi ke-79 RI di Ibu Kota Nusantara (IKN).

“Kami harap pemerintah, kepolisian, mau serius mengungkap kasus-kasus serangan terhadap pers. Jangan menormalisasi tindakan impunitas,” tegas Mustafa.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) turut mengecam keras teror dan upaya-upaya pembungkaman terhadap kerja jurnalistik Tempo. Peristiwa kiriman kepala babi kepada jurnalis Tempo itu pun dianggap semakin menunjukkan bahwa Indonesia bukan negara hukum yang demokratis dan menjamin kebebasan pers.

Padahal, Presiden Prabowo Subianto dalam visi-misinya saat kampanye berjanji akan “mengembalikan dan menjamin kebebasan pers yang bertanggung jawab dan berintegritas dalam mengomunikasikan kepentingan masyarakat demi mewujudkan kehidupan demokrasi yang sehat”.

Melihat kondisi hari ini, perwujudan janji Prabowo itu malah jauh panggang dari api.

“Indonesia bukan negara hukum yang demokratis, yang menjamin kebebasan pers,” tegas Ketua YLBHI, Muhamad Isnur, kepada Tirto, Jumat (21/3/2025).

Pemerintah & Aparat Harus Serius Mengatasi Kasus

Menurut YLBHI, serangan dan kekerasan terhadap insan pers selama ini disikapi dengan lamban dan tidak serius oleh pemerintah dan aparat keamanan. Tak hanya itu, dalam lima tahun terakhir, kekerasan terhadap jurnalis juga semakin meluas dan brutal.

Hal itu terjadi seiring dengan pemerintah dan DPR yang semakin ugal-ugalan dalam menyusun kebijakan.

“Walaupun dengan ketidakyakinan, akan tetapi dengan ini YLBHI mendesak agar Pemerintah dan Kepolisian RI bertindak cepat mengungkap dan membawa ke Pengadilan siapa pelaku dan dalang dibaliknya,” jelas Isnur.

Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, menambahkan bahwa tindakan teror dan intimidasi kepada wartawan Tempo dan media lain jelas merupakan tindak pidana. Oleh karena itu, Ninik mendesak kepolisian segera mengusut tuntas kasus tersebut.

“Agar hal serupa tidak terjadi lagi,” kata Ninik kepada Tirto, Jumat (21/3/2025).

Tempo sudah melaporkan kasus kiriman kepala babi tersebut ke Bareskrim Polri. Dalam pelaporan tersebut, tim legal Tempo didampingi oleh tim dari Komisi Keselamatan Jurnalis (KKJ).

Pelaporan itu dilakukan karena Tempo menengarai bahwa teror tersebut merupakan simbol ancaman pembunuhan. Sejumlah barang bukti pun sudah dibawa guna memperkuat pelaporan tersebut.

"Siapa pun itu pelakunya ini harus diungkap, harus diusut," kata perwakilan advokat dari KKJ, Erick Tanjung, di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Jumat (21/3/2025).

Tim Advokat KKJ

Tim Advokat Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) mendampingi Tempo melaporkan teror kepala babi ke Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Jumat (21/3/2025). tirto.id/Ayu Mumpuni

Dewan Pers mengamini bahwa pengiriman kepala babi kepada Cica adalah tindakan kekerasan kepada pers. Ini juga menjadi tindakan yang sangat merugikan perjalanan penegakan demokrasi melalui pers.

“Ini jelas teror, intimidasi, yang secara langsung untuk menakut-nakuti. Dan, biasanya dilakukan oleh pihak-pihak yang terpojok, tapi tidak mau bertanggung jawab,” ucap Ninik.

Oleh karena itu, Ninik mengimbau kepada semua pihak yang keberatan atas pemberitaan media untuk menggunakan hak jawabnya. Hak jawab seturut Pasal 1 Angka 11 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.

Peraturan Dewan Pers Nomor: 9/Peraturan-DP/X/2008 tentang Pedoman Hak Jawab juga menjelaskan bahwa hak jawab dalam perspektif undang-undang adalah hak seseorang, sekelompok orang, organisasi, atau badan hukum untuk menanggapi dan menyanggah pemberitaan atau karya jurnalistik yang melanggar Kode Etik Jurnalistik, terutama kekeliruan dan ketidakakuratan fakta, yang merugikan nama baiknya kepada pers yang mempublikasikannya.

“Maka, gunakan hak jawab tersebut sebaik-baiknya,” pungkas Ninik.

Sementara itu, kepolisian belum mau berkomentar lebih jauh mengenai aksi teror kiriman kepala babi yang ditujukan kepada salah satu wartawan Tempo. Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri, Brigjen Pol, Trunoyudo Wisnu Andiko, mengatakan bahwa pengaduan yang bersangkutan atas kasus tersebut saat ini masih dalam proses.

"Tentunya, Polri dengan ini adalah salah satu mitra strategis di mana memberikan ruang kepada seluruh partisipasi. Artinya, saat ini, masih berproses asesmennya," tutur Trunoyudo di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (21/3/2025).

Baca juga artikel terkait KEMERDEKAAN PERS atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi