tirto.id - Terungkapnya kasus eksploitasi seksual anak dalam bentuk prostitusi di Jakarta Selatan pada pekan lalu, sungguh menyesakkan dada. Jumat (26/4/2024), polisi menetapkan AN (48) dan BH sebagai tersangka karena telah membuat seorang remaja berinisial FA (16) tewas. Keduanya melakukan kekerasan seksual lewat prostitusi daring di sebuah kamar hotel, sekaligus mencekoki korban dengan narkoba hingga meregang nyawa.
Pihak kepolisian mengatakan kasus ini terjadi di sebuah hotel di wilayah Jakarta Selatan, Senin (22/4/2024) pekan lalu. AN dan BH memanggil dua anak perempuan untuk transaksi prostitusi daring, yakni FA (16) dan AP (16). Pelaku mencekoki kedua korban anak dengan ineks dan minuman yang dicampur sabu. Korban AP tidak sadarkan diri setelah dicekoki kedua pelaku, sementara FA bernasib naas, dia langsung kejang-kejang dan tewas setelah dibawa orang suruhan pelaku ke RSUD Kebayoran Baru.
Polisi menyita sejumlah barang bukti berupa video dari CCTV, pakaian korban, uang tunai Rp1,5 juta, mobil, empat telepon genggam dan tiga senjata api rakitan. Kedua tersangka dikenakan pasal berlapis seperti, Pasal 338 atau Pasal 359 KUHP tentang tindak pidana pembunuhan dan atau kesalahan yang menyebabkan kematian.
Lebih lanjut, sebab korban dalam kategori anak, kedua pelaku dijerat Undang-Undang 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Para tersangka juga dijerat dengan Pasal 1 Ayat (1) UU Darurat No 12 Tahun 1951 karena memiliki senjata ilegal. Kedua pelaku terancam sanksi 20 tahun bui, sementara polisi juga masih menguak apakah ada unsur perdagangan orang dalam kasus ini.
Kasus ini menjadi alarm peringatan bahwa eksploitasi dan kekerasan seksual pada anak lewat prostitusi daring masih mudah ditemui di sekitar kita. Kerap kali kasus-kasus anak perempuan yang dilacurkan (pedila) juga berkaitan dengan penyalahgunaan narkoba. Jika tidak ada upaya preventif dan penanganan yang tepat, akan semakin banyak anak yang terancam jerat jebakan prostitusi dan narkoba.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Diyah Puspitarini, menilai ada banyak faktor yang membuat anak – terutama anak perempuan – terjebak dalam lembah gelap prostitusi. Mulai dari budaya patriarki di masyarakat kita yang masih menempatkan anak perempuan pada kondisi dengan pekerjaan yang tidak lazim. Ditambah, ada faktor ekonomi yang memiliki peranan besar di balik praktik prostitusi.
“Hingga faktor media sosial dan pendidikan, sehingga membuat orang yang berpikir tanpa dianalisis, hanya [menilai korban] memenuhi kebutuhan diri dan ekonomis saja. Yang tidak kalah penting adalah pengawasan baik masyarakat, keluarga dan APH sekalipun juga tetap dievaluasi,” kata dia kepada reporter Tirto, Selasa (30/4/2024).
Diyah menyatakan, kajian cepat KPAI menilai salah satu pintu masuk anak-anak terjebak prostitusi dimulai akibat pengaruh teman sebaya. Adapun narkotika, kata dia, salah satu modus pelaku eksploitasi yakni para mucikari atau germo, agar membuat korban anak dapat diperdaya.
“Sehingga jika sudah ada unsur [narkoba] ini hingga ketergantungan dari anak korban, dirasa [pelaku] hal ini lebih mudah dalam menjalankan prostitusi. Sebenarnya tidak hanya narkoba, tapi miras [minuman keras] juga,” jelas Diyah.
Diyah membenarkan, penanganan penegak hukum dalam kasus prostitusi anak atau pedila masih kerap menyasar korban anak yang dieksploitasi atau pengguna jasa mereka. Padahal, yang terpenting adalah menguak dalang eksploitasi anak lewat prostitusi daring dan menangkap para pelaku atau sindikat di baliknya.
“Seharusnya dengan kasus [Jakarta Selatan] ini kita belajar bahwa ini berlapis, mulai prostitusi anak, kekerasan seksual, TPPO, hingga kekerasan fisik-psikis karena beberapa kejadian anak korban berawal dari ancaman fisik,” tutur dia.
Diyah mendesak kepolisian mengusut tuntas kasus prostitusi daring yang menewaskan korban anak di Jakarta Selatan karena dicekoki pelaku dengan narkoba. Polisi harus melihat apakah ada tindak pidana perdagangan orang (TPPO) berkaitan dengan kasus ini. Lebih lanjut, sesuai amanat Pasal 59A UU Perlindungan Anak, kasus harus diselesaikan dengan cepat dan tuntas, artinya jangan sampai ada korban dan kasus berulang.
“Biasanya kasus [semacam] ini dianggap ringan, namun justru harus diusut karena Indonesia termasuk pasar TPPO dan prostitusi online yang besar di Asia. Pertanyaan saya, mau sampai berapa anak menjadi korban lagi dan kasus ini tidak tuntas sampai ke akarnya,” seru Diyah.
Waspada Aktivitas Daring
Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Mike Verawati, memandang praktik eksploitasi seksual komersial memang sudah lama berkelindan dengan kejahatan narkotika. Masalahnya, kini kedua hal tersebut semakin terbuka berkat maraknya penggunaan media digital atau aktivitas dunia maya yang membuat mudah menjerat korban anak.
“Dunia digital itu membuat anak-anak yang tidak memahami bagaimana sebenarnya trik-trik atau juga sindikat-sindikat yang menawarkan ini bisa menjerumuskan anak-anak,” kata Mike kepada reporter Tirto.
Mike menilai, jerat prostitusi dan narkoba memang berkait dengan potret kemiskinan. Pola-pola pendidikan saat ini disebut belum mampu mengentaskan persoalan kemiskinan. Ditambah problem kemampuan keluarga atau orang tua yang anaknya putus sekolah masih banyak.
“Ruang-ruang ini dapat diisi oleh program-program [pemerintah] yang bisa memastikan pendidikan mereka memiliki keberlanjutan. Nah ini kan sulit ya, apalagi didesak dengan ekonomi lalu juga hegemoni pasar yang juga membuat mungkin cara pandang masyarakat kita jauh lebih konsumtif,” jelas Mike.
Mike juga berpendapat aparat penegak hukum perlu memiliki perspektif yang berpihak pada korban, termasuk penanganan yang tepat dalam menghadapi kasus anak berhadapan dengan hukum. Dalam prostitusi anak, Mike melihat masih ada kecenderungan aparat mengkriminalisasi korban eksploitasi seksual alih-alih menjerat aktor intelektual yang menjebak anak ke lembah gelap tersebut.
“Sanksi tegas atau hukuman yang sangat berat itu justru mereka yang menjadi aktor intelektual atau menjadi dalang dari ini semua. Sehingga permasalahan siklus dari kekerasan atau siklus dari pidana narkoba dan prostitusi ini bisa diputus,” terang Mike.
Sementara itu, Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, menilai kasus perempuan yang dilacurkan (pedila) – khususnya anak perempuan yang dilacurkan – tidak bisa dilepaskan dari kerentanan perempuan dan anak dalam masyarakat yang masih memposisikan mereka sebagai objek pemenuhan kebutuhan seksual. Menurut dia, mitos bahwa melakukan hubungan seksual akan berkontribusi pada maskulinitas laki laki, turut berkontribusi membuat anak menjadi sasaran rekrutmen jebakan prostitusi.
“Kondisi saat ini berkembang sedemikian rupa dengan penggunaan teknologi dan informasi. Di mana rekruitmen atau eksploitasi seksual dilakukan juga melalui siber,” ujar dia kepada reporter Tirto.
Prostitusi anak, kata dia, memang sering kali berkelindan dengan narkoba, karena bisa saja anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkoba malah dimanfaatkan sebagai sasaran eksploitasi secara seksual komersial. Narkoba digunakan pelaku eksploitasi agar korban anak atau perempuan yang dilacurkan dibuat tidak berdaya. Penggunaan narkoba juga akan menebalkan stereotipe terhadap perempuan sehingga korban akan terus dieksploitasi.
“Seperti pemaksaan pelacuran dengan iming-iming mendapatkan narkoba,” jelas Siti Aminah.
Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA, Nahar, menyatakan pihaknya sudah berkoordinasi dengan Polres Jakarta Selatan agar kasus anak tewas akibat dicekoki narkoba dan unsur prostitusi anak di dalamnya bisa diselesaikan secara tuntas. Nahar menilai kasus ini sebagai bentuk eksploitasi seksual anak dan memastikan Kementerian PPA akan melakukan pendampingan kepada saksi korban dalam kasus ini.
“Penyidik dapat menggunakan pasal berlapis diantaranya 81 UU 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 4 Ayat (2) huruf c dan Pasal 6 huruf c UU 12 Tahun 2022 ttg TPKS dengan ancaman hukuman maksimal, dan berharap dapat memberikan efek jera bagi calon pelaku lainnya,” kata Nahar kepada reporter Tirto.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang