tirto.id - PDI Perjuangan tengah menjaring sejumlah nama yang akan maju dalam Pilkada Jakarta. Ada beberapa kandidat seperti Menteri Sosial, Tri Rismaharini, Ketua DPRD DKI Jakarta 2019-2024, Prasetyo Edi Marsudi.
Kemudian, mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) hingga Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono.
Sekretaris DPD PDIP Jakarta, Pantas Nainggolan, mengakui ada kriteria yang harus dipenuhi untuk berlaga. Salah satunya mampu menangani masalah Jakarta, serta mendorong agar mencerminkan, persatuan dan toleransi tinggi.
Beberapa kandidat dari PDIP pun menambah daftar calon gubernur yang akan berlaga di Jakarta. Sebelumnya, mantan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil juga akan maju. Selain Ridwan Kamil, Golkar punya nama eks Bupati Tangerang Ahmed Zaki Iskandar.
Sementara, di koalisi perubahan, situasi menjadi terbelah. PKB dan Partai Nasdem tidak menutup peluang untuk mengusung mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Anies yang gagal Pilpres 2024 juga tengah mengalami tantangan lantaran hanya mendapat 2 dari 3 mitra koalisi lama di Koalisi Perubahan. PKS berencana mengusung kader mereka sendiri untuk maju di Pilkada DKI, salah satunya dengan mengusung mantan Presiden PKS Sohibul Iman.
Pengusungan kandidat PDIP juga memiliki tantangan. PDIP tidak lagi memimpin DPRD DKI Jakarta. Suara mereka berada di peringkat kedua dengan 850.174 suara atau 14,01 persen. Mereka kalah dari PKS dengan angka 1.012.028 suara atau 16,68 persen.
Namun, PDIP masih di atas partai yang ada, termasuk Koalisi Indonesia Maju antara lain Partai Gerindra sebanyak 728.297 suara atau 12 persen. Partai Nasional Demokrat (Nasdem) sebanyak 545.235 suara atau 8,99 persen.
Partai Golongan Karya dengan 517.819 suara atau 8,53 persen. Kemudian Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebanyak 470.652 suara atau 7,76 persen. Partai Solidaritas Indonesia sebanyak 465.936 suara atau 7,68 persen.
Selain itu, proses pilkada DKI Jakarta kali ini penuh tantangan. Mengacu pada Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta yang disahkan 25 April 2024 lalu oleh Presiden Jokowi, pemilihan kepala daerah tetap dilakukan berbasis pilkada. Pemilihan kepala daerah tetap menggunakan asas minimal 50 persen suara baru bisa dinyatakan menang 1 putaran.
"Pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang memperoleh suara lebih dari 5O% (lima puluh persen) ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih," bunyi pasal 10 ayat 2 UU DKJ.
Lantas apakah PDIP bisa menang dan membangun koalisi?
Analis politik dari Universitas Telkom, Dedi Kurnia Syah, menilai PDIP sebaiknya mendorong tokoh baru daripada orang lama dalam Pilkada DKI Jakarta. Seperti Basuki yang seharusnya tidak kembali diusung karena rentan mendapatkan penolakan.
"Secara ketokohan, PDIP seharusnya fokus pada tokoh populer dan belum pernah bertarung di Jakarta, Basuki seharusnya dihindari untuk kembali diusung di Jakarta, penolakan pada Basuki akan menguat dan ini bisa sulitkan PDIP lakukan konsolidasi," kata Dedi, Senin.
Sementara itu, dia menilai Tri Rismaharini menjadi tokoh potensial. Alasannya, karena Risma memiliki popularitas dan reputasi dalam mengelola kota. Tidak hanya itu, status Risma yang merupakan tokoh perempuan bisa menjadi pembeda dengan kandidat lain, apalagi Risma terkenal berani dan menonjol.
"Ini bisa untungkan PDIP dalam membangun kepercayaan publik di Jakarta," kata Dedi.
Andika Perkasa pun dinilai belum mampu bertarung di Jakarta. Dedi menilai mantan Panglima TNI itu tidak pernah memimpin kelompok sipil meski berstatus tokoh nasional. Hal itu akan menyulitkan langkah untuk berlaga di pemilihan kepala daerah.
Lebih lanjut, dia menilai PDIP masih punya peluang untuk meraup suara partai menengah seperti Golkar, PAN dan PPP untuk melengkapi syarat ambang batas pengusungan. Kemudian, dia juga optimistis PDIP bisa menjadi kekuatan lain di luar poros PKS dan Gerindra.
"Jika PDIP berhasil Galang kekuatan dengan mereka, peluang menang cukup kuat, terlebih jika Pilgub diisi tiga gerbong, semisal gerbong Gerindra dan PKS mengusung masing-masing kandidat," kata Dedi.
Dedi menilai, potensi partai KIM direbut PDIP masih mungkin karena konstelasi nasional dengan daerah berbeda. PDIP bisa merebut partai lain selama mengusung kandidat yang memberikan posibilitas menang yang tinggi.
Lebih lanjut, dia juga memprediksi KIM tidak jalan di Jakarta karena Golkar belum tentu mampu menawarkan Ridwan Kamil untuk diusung sebagai tokoh utama, apalagi Golkar bukan partai unggulan Jakarta.
"Kecuali jika Golkar berhasil galang kekuatan dengan partai papan tengah lainnya," kata Dedi.
Sementara itu, analis Sosio-Politik ISESS, Musfi Romdoni, menilai Andika, Risma dan Ahok memiliki popularitas, namun mempunyai segmen berbeda.
"Nama-nama seperti Andika Perkasa, Risma, dan Ahok jelas memiliki popularitas yang tinggi. Ketiganya juga memiliki brand politik dan target voters yang berbeda," kata Musfi.
Musfi memberikan contoh seperti Andika bisa mendapat dukungan dari pemilih yang suka dengan sosok militer. Sementara itu, Ahok dikenal dengan kepemimpinannya yang tegas.
Selain itu, para pendukungnya mencitrakan Ahok memiliki rekam jejak yang bagus ketika memimpin Jakarta. Di sisi lain, Ahok punya kelompok pendukung yang kuat walau masih perlu diuji apakah fans Ahok bisa sampai tingkat memenangkan di pemilu.
"Sementara Risma, selain citra kepemimpinan tegas seperti Ahok, Risma juga dapat menarik voters perempuan. Di tengah banyaknya kandidat yang merupakan laki-laki, saya kira kandidat perempuan dapat memberikan diferensiasi," kata Musfi.
Lantas apakah bisa melawan tokoh yang sudah muncul seperti Anies, Ridwan Kamil atau Ahmad Sahroni?
Musfi menilai, Sahroni bisa dikalahkan karena memiliki pencitraan di bawah Risma. Ahok maupun Andika meski mengantongi suara hingga 78.071 suara. Tetapi berbeda ketika nama tersebut diadu dengan Ridwan Kamil maupun Anies.
"Jika membahas Anies atau Ridwan Kamil, saya kira dua nama ini yang terdepan dan paling potensial untuk menang. Dengan peta popularitas, elektabilitas, dan sentimen saat ini, nama Risma, Ahok, Andika, apalagi Prasetyo Edi sepertinya masih kalah dari Anies atau Ridwan Kamil," kata Musfi.
Musfi mengingatkan, pertarungan di Jakarta bukan hanya soal popularitas maupun elektabilitas, tapi juga soal kapasitas dan kapabilitas. Selain itu, Isu yang selalu dibahas di Jakarta berkutat pada isu banjir, kemacetan, dan polusi. Untuk menangani isu-isu persoalan itu, publik membutuhkan sosok yang dipercaya mampu melahirkan kebijakan publik yang solutif.
"Sejauh ini, berbasis pengalamannya, Anies dan Ridwan Kamil lebih diyakini sebagai figur yang cerdas dan memiliki kapabilitas untuk memimpin Jakarta," kata Musfi.
PDIP Sulit Menang Pilkada DKI
Jika melihat realita tersebut, Musfi mengakui PDIP berat untuk menang Pilkada DKI Jakarta. Pertama, Jakarta merupakan provinsi yang sangat vital dan merupakan pusat ekonomi sekaligus pusat politik. Sangat penting bagi pemerintah pusat untuk bisa selaras dengan Gubernur Jakarta.
Kedua, hubungan PDIP berpotensi renggang dengan pemerintah. Hal ini tidak lepas posisi PDIP saat ini tidak sejalan lagi dengan koalisi Indonesia Maju sebagai pemenang. Ketiga, hampir semua partai kecuali PDIP menunjukkan keinginannya untuk bergabung ke koalisi pemerintah.
"Keempat, sejak Pilgub Jakarta 2017 sentimen PDIP tidak begitu bagus di Jakarta, khususnya di kalangan pemilih Muslim," kata Musfi.
Sebab itu, Musfi melihat upaya mengusung kader sendiri untuk menang adalah tantangan. Ia menilai, strategi yang mungkin adalah menggaet partai lain untuk maju Pilkada DKI Jakarta.
"Jika masih ingin mengusung kader sendiri dan menargetkan menjadi pemenang, pilihan rasional PDIP adalah menurunkan ambisinya. Dengan peta politik saat ini, tampaknya yang paling mungkin bagi PDIP adalah mengusung kadernya untuk jadi wakil," kata Musfi.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Intan Umbari Prihatin