Menuju konten utama

Judi Online Juga Sasar Anak, Pembentukan Satgas Sudah Ditunggu

Pemberantasan judi online memang perlu dengan pembentukan satgas karena penindakan tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri.

Judi Online Juga Sasar Anak, Pembentukan Satgas Sudah Ditunggu
Ilustrasi Judi Online. foto/Istockphoto

tirto.id - Judi online kini tidak hanya menyasar kepada orang dewasa, tetapi pada anak-anak. Data dari Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PGSI) Kabupaten Demak yang diterima oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat ada 2 ribu anak sekolah tingkat SMP/SMA/MTS/MAN jadi korban judi online.

"Menurut PGSI, angka 2.000 tersebut didapat dari survei yang dilakukan PGSI terhadap para siswa di sekolah-sekolah di Kabupaten Demak. Mereka yang disebut sebagai korban judi online tersebut memiliki ciri-ciri: tingkat kehadiran di sekolah menurun, motivasi dan prestasi belajar menurun, ada rasa halu karena ingin mendapatkan uang dalam jumlah besar dengan cara mudah, dan juga terjadinya penyalahgunaan uang sekolah bagis siswa sekolah swasta," kata Komisioner KPAI Kawiyan dalam keterangan, Kamis (26/4/2024).

KPAI pun sempat melakukan penelusuran dengan rapat bersama pihak Pemkab Demak, Polres Demak, kantor Kementerian Agama Kabupaten Demak, Dinas Pendidikan Demak, Dinas Perempuan dan Perlindungan Anak Demak, dan PSGI. Dalam rapat tersebut, KPAI menerima laporan belum ada penanganan karena belum ada laporan. Mereka hanya melakukan pencegahan.

"Meskipun belum ditemukan secara pasti adanya anak korban judi online, KPAI merekomendasikan agar dilakukan gerakan pencegahan judi online di kalangan anak-anak, pelajar dan orangtua," kata Kawiyan.

KPAI mendorong literasi dan edukasi harus dilakukan secara massif dan luas menjangkau semua elemen masyarakat agar dapat terbentuk masyarakat yang dapat secara bijak dalam beraktivitas di ranah daring atau digital.

Kementerian Kominfo juga harus mendayagunakan seluruh kecanggihan teknologinya dan keunggulan SDM-nya di bidang teknologi untuk menangkal dan memblokir semua situs judi online untuk memastikan bahwa anak-anak tidak bisa mengakses situs judi online.

Terkait penegakan hukum, KPAI meminta ketegasan penindakan terhadap industri, bandar dan siapapun yang menggunakan ruang digital untuk judi online. Mereka mendorong agar anak-anak dilindungi dari judi online.

Judi Online Perlu Diberantas

Sebelumnya, dalam keterangan pers kepada media usai rapat terbatas pada Selasa (23/4/2024) lalu, Menkopolhukam Hadi Tjahjanto mengatakan bahwa sekitar 3,2 juta masyarakat Indonesia bermain judi online. Mereka mengacu data PPATK per 2023 lalu.

"80 persennya memang bermain di bawah nilai Rp100 ribu dan dicatat bahwa perputaran uang di tahun 2023 itu mencapai Rp327 triliun agregat, keluar masuk itu tercatat Rp327 triliun berasal dari 168 transaksi dan triwulan pertama tahun 2024 ini tercatat 100 triliun," kata Hadi saat itu.

Hadi pun mengatakan ada 805.923 konten judi online ditangani hingga 30 Desember 2023 lalu. Mereka pun mencatat ada 5 ribu rekening mencurigakan yang dibekukan karena memiliki rekening anomali.

Dalam catatan pemberitaan, pihak PPATK memang mencatat bahwa angka judi online pada 2021 hanya Rp57 triliun dan pada 2022 meningkat hingga Rp81 triliun.

Lewat Juru Bicara PPATK, Natsir Kongah kala itu, judi online ternyata sudah tidak hanya dilakukan oleh masyarakat dewasa, melainkan juga anak-anak.

"Ini sesuatu yang menggelisahkan untuk kita semua karena orang-orang yang terlibat judi online banyak ibu rumah tangga, anak SD pun juga ada yang ikut, ini yang kita khawatirkan," kata Natsir kala itu sebagaimana dikutip dari Antara.

Chairman Lembaga Riset Siber Indonesia CISSReC, Pratama Persadha, mengakui penyebaran judi online pada ibu dan anak-anak pelajar tingkat SD/SMP lantaran adanya kehadiran kelompok streamer online atau influencer online yang mempromosikan judi online.

"Anak-anak melihat streamer yang menang besar atau mendapatkan hadiah sebagai pengalaman yang menarik sehingga anak-anak juga mungkin mengikuti streamer yang bermain judi online sebagai bentuk hiburan," kata Pratama, Kamis (26/4/2024).

Pratama mengingatkan era saat ini mudah bagi anak-anak untuk memegang perangkat pintar seperti ponsel pintar, tablet hingga komputer. Mereka dapat tertarik dengan permainan judi online karena sejumlah faktor seperti animasi yang menarik, sensasi bermain hingga hadiah yang besar.

Di sisi lain, anak juga mudah terpapar iklan judi di berbagai platform, salah satunya media sosial dan platform hiburan.

Selain itu, faktor lingkungan juga memicu anak terlibat dalam judi online. Ketika kolega anak-anak ikut judi online, anak bisa tertekan untuk ikut serta dan kurang pengawasan orangtua atau pengasuh sehingga memicu anak ikut judi online.

"Faktor-faktor lainnya seperti stres di rumah atau dalam lingkungan sekitar anak juga dapat mempengaruhi kemungkinan anak-anak mencari pelarian dalam judi online," kata Pratama.

Pratama mengatakan judi online sulit diberantas karena beragam faktor seperti faktor ekonomi masyarakat yang ingin mendapatkan uang cepat; faktor kesenangan lantaran mencari hiburan di waktu luang; faktor sosial di mana judi adalah budaya; atau pengaruh iklan dan akses teknologi mudah.

Selain itu, platform judi online juga mendorong soal anonimitas dimana sulit melacak identitas dan lokasi judi.

"Judi online juga memungkinkan orang untuk berpartisipasi dari kenyamanan rumah mereka atau tempat lain dengan menggunakan perangkat elektronik seperti ponsel pintar atau komputer," kata Pratama.

Selain itu, ada juga faktor minimnya deposit uang. Ia mencontohkan warga cukup deposit Rp50 ribu untuk kegiatan permainan judi online. Selain itu, proses pembayaran yang mudah juga membuat masyarakat tergiur untuk bermain.

"Tingginya peminat serta rendahnya kesadaran dan kesulitan penegak hukum juga menjadi salah satu faktor sulitnya memberantas judi online," tutur Pratama.

Foto Periksa Fakta Judi Online Legal

Foto Periksa Fakta Judi Online Legal. foto/Hotline periksa

Pratama menilai, faktor lain sulitnya memberantas judi online adalah perkembangan perangkat lunak dan teknologi di dunia perjudian online. Ia mencontohkan penggunaan virtual private network (VPN) hingga operasi di luar negeri membuat sulit penanganan, apalagi tidak sedikit di antara mereka mengubah-ubah domain mereka.

Oleh karena itu, pemberantasan judi online memang perlu dengan pembentukan satgas karena penindakan tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri.

Pratama menilai, perlu ada kelompok yang mengorkestrasikan agar pemberantasan judi online menjadi efektif. Pemblokiran yang dilakukan tidak cukup hanya blokir konten, tetapi juga pemblokiran rekening hingga kerja sama dengan provider, baik pemberi layanan internet maupun media sosial.

Ia juga mendorong juga aksi penelusuran penarikan uang deposit judi online, upaya penegakan hukum maksimal sampai penelusuran jejak digital dan aktivitas pelaku oleh penegak hukum hingga penguatan BSSN untuk mencegah penggunaan domain pemerintah untuk judi online.

Judi Sudah Jadi Penyakit Masyarakat

Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, menilai judi memang menjadi salah satu penyakit masyarakat yang mengejar harapan agar bisa mendapat untung, baik besar atau kecil meski tanpa sadar merugi.

Ia pun mengingatkan bahwa segala macam bisa jadi objek judi seperti pengaturan perkelahian hingga olahraga. Judi pun tidak mengenal umur.

Fahmi tidak memungkiri perkembangan teknologi memicu kehadiran judi online. Ia menilai, judi lantas berkembang menjadi masalah sosial, masalah digital dan masalah hukum yang tidak sederhana. Ia mengatakan, praktik judi yang dilakukan di ruang digital memicu kesulitan dalam upaya pemantauan dan pengawasan.

Di sisi lain, data sekitar 25 persen pengguna internet berusia 5-18 tahun dan lebih dari 90 persen penduduk berusia tersebut sudah terhubung dengan dunia maya. Oleh karena itu, wajar jika permasalahan judi online perlu diatensi seperti yang disampaikan KPAI.

"Masalahnya ya itu tadi, dengan segala kompleksitas masalahnya, penanganan serius itu juga bukan hal yang mudah," kata Fahmi kepada Tirto, Kamis (26/4/2024).

Fahmi mengakui bahwa penanganan judi online sangat penting. Hal ini karena kerugian tak hanya dialami masyarakat yang ketagihan judi online, tetapi juga pemerintah dalam hal ini berkaitan dengan penerimaan negara. Perekonomian negara pasti terdampak, apalagi jika perjudian bersifat transnasional. Di sisi lain, penyalahgunaan fasilitas perbankan dan aplikasi dompet digital juga berpotensi membawa devisa negara mengalir keluar tidak terkendali.

Penanganan masalah judi online menjadi makin penting dilakukan dengan adanya indikasi banyaknya anak-anak yang terpapar dan bahkan kecanduan judi online. Apalagi, anak-anak pada umumnya memiliki keingintahuan yang tinggi dan gemar mencoba-coba, tapi di sisi lain mereka masih sulit melakukan penilaian baik-buruk dan mengukur dampak perilakunya.

Fahmi mengapresiasi pembentukan satgas pemberantasan judi online sebagai bentuk keseriusan pemerintah.

Akan tetapi, Fahmi kembali menekankan penanganan judi online tak sederhana. Ia mengatakan, tantangan penanganan judi online adalah status ruang digital yang bersifat stateless. Oleh karena itu, negara mempunyai tantangan untuk menangani di ruang digital, bahkan ketika perbuatan melawan hukum terjadi.

Selain itu, ada beragam masalah lain seperti situs penyedia dilakukan dari luar negeri, pertumbuhan situs judi online yang masif, angka kriminalitas yang tinggi hingga upaya take down konten yang menumbuhkan situs judi lain masih menjadi masalah.

"Bahkan penutupan akses secara lokal bukan berarti tidak bisa diakses sama sekali. Ada banyak sekali aplikasi yang menawarkan cara membuka akses situs-situs yang diblokir," kata Fahmi.

Fahmi menilai, baru Cina yang berhasil menangani permasalahan digital. Akan tetapi, cara Cina tidak mudah ditiru. Selain butuh sumber daya besar, negara akan menghadapi tantangan kebebasan dan hak sipil.

"Karena logikanya, teknologi dan regulasi yang bisa digunakan untuk pengawasan terhadap akses internet terlarang, mestinya mudah juga disalahgunakan untuk mengawasi aktivitas digital warganya yang mesti dilindungi," kata Fahmi.

Janji Mempersempit Ruang Gerak Judi Online

Menkominfo Budi Arie Setiadi mengakui bahwa anak menjadi salah satu korban kecanduan judi online. Anak pun berpotensi melakukan tindak kriminal ketika kecanduan.

"Judi online ini menurut data memang kebanyakan kaum muda, anak-anak di usia 17 sampai 20 tahun, ini kan meresahkan, karena kecanduan judi online, anak-anak ini bisa melakukan tindakan kriminalitas, pencurian, perampokan, dan sebagainya, belum dampak-dampak sosial lainnya," tuturnya dalam Dialog CNN Indonesia Connected secara daring dari Kantor Kementerian Kominfo Jakarta Pusat, dalam keterangan yang diterima, Kamis (25/4/2024).

Oleh karena itu, Budi Arie memastikan pihaknya terus berupaya mempersempit ruang gerak para pelaku judi online dan memberantas peredaran situs-situsnya di internet. Ia mengajak publik untuk melapor ke aduankonten.id bila menemukan situs judi online yang masih aktif agar bisa segera dilakukan pemutusan akses.

"Tentu saja harus ada dukungan dari masyarakat, laporkan semua situs perjudian kepada kita, nanti akan kita langsung take down, langsung kita sikat," tegasnya.

Kemenkominfo tindaklanjuti 378 hoaks Pemilu

Menkominfo Budi Arie Setiadi menyampaikan paparan dalam konferensi pers Awas Hoaks Pemilu di Jakarta, Jumat (27/10/2023). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/aww.

Baca juga artikel terkait JUDI ONLINE atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Bayu Septianto