tirto.id - Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh, tersenyum bungah saat disambut presiden terpilih periode 2024-2029, Prabowo Subianto.
Mengenakan jas biru dongker dan tampil klimis, Paloh bergandengan tangan dengan Prabowo sambil melambaikan tangan ke sorot kamera. Persamuhan keduanya dilangsungkan di kediaman Prabowo, Jalan Kertanegara IV, Jakarta Selatan, Kamis (25/4/2024).
Usai pertemuan, Paloh mengumumkan bahwa Nasdem akan mendukung pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Dia menilai pemilu sudah rampung dengan segala dinamika yang telah lewat. Sudah waktunya, kata dia, seluruh komponen bangsa bekerja sama membangun bangsa Indonesia ke depan.
“Kita siap dukung sepenuhnya kepada pemerintahan baru di bawah pimpinan Prabowo-Gibran,” ucap Surya Paloh.
Prabowo girang dengan keputusan Nasdem merapat ke barisan pemerintahannya kelak. Ia mengakui Paloh sebagai kawan lamanya.
Ketua Umum Partai Gerindra itu juga berterima kasih kepada Paloh. Sebab, Nasdem menjadi partai pertama yang mengucapkan selamat kepada Prabowo-Gibran ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan pasangan nomor urut 2 itu pemenang suara terbanyak Pilpres 2024.
“Kita sepakat bahwa kita akan kerja sama untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat,” kata Prabowo.
Bergabungnya Nasdem ke barisan koalisi Prabowo-Gibran bukan hal yang mengejutkan. Bahkan saat sidang sengketa Pilpres 2024 masih berlangsung di Mahkamah Konstitusi, Paloh beberapa kali memberi sinyal siap merapat ke pemerintahan mendatang.
Sebelumnya, bersama PKS dan PKB, Partai Nasdem tergabung dalam Koalisi Perubahan yang mengusung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar sebagai salah satu lawan Prabowo-Gibran.
PKB turut memberikan sinyal siap bergabung ke dalam pemerintahan Prabowo-Gibran. Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar, bahkan sudah menggelar pertemuan dengan Prabowo. Pertemuan keduanya dilakukan di hari yang sama usai KPU menetapkan Prabowo-Gibran sebagai presiden-wakil presiden terpilih, Rabu (24/4/2024).
Meski belum secara resmi menyatakan bergabung ke pemerintahan mendatang, Muhaimin menilai PKB sudah sering bekerja sama dengan Gerindra, baik di parlemen maupun jenjang eksekutif. Bagi PKB, kata Imin, yang terpenting kedaulatan rakyat berhasil diwujudkan.
Keadaan tak jauh berbeda terjadi pada koalisi parpol pengusung Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Dua partai besar yang berada dalam barisan pengusung paslon nomor urut 3, PPP dan PDIP, sama-sama membuka peluang untuk bertemu dengan Prabowo Subianto.
Bahkan untuk PPP, sinyal bergabung ke pemerintahan Prabowo-Gibran gencar diperlihatkan. Komunikasi untuk bertemu Prabowo terus dilancarkan partai berlogo Ka’bah itu.
“Komunikasi informal terus berjalan, mari kita doakan agar segera terwujud,” kata Juru Bicara Plt Ketua Umum PPP Mardiono, Imam Priyono, kepada Tirto, Jumat (26/4/2024)
Di sisi lain, PKS akan mengundang Prabowo-Gibran untuk hadir ke DPP mereka dalam Forum Silaturahmi, Sabtu (27/4/2024).
Sementara PDIP, dalam berbagai kesempatan menyatakan terus mengupayakan pertemuan antara Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, dengan Prabowo Subianto. Kedua partai ini sama-sama menegaskan siap berada di dalam atau di luar pemerintah Prabowo-Gibran.
Kering Oposisi
Bergabungnya Nasdem ke barisan Prabowo-Gibran akan membuat postur pemerintah mendatang semakin gemuk. Di parlemen, masuknya Nasdem membuat Koalisi Indonesia Maju--sebutan untuk gerbong parpol pengusung Prabowo-Gibran--akan semakin dominan.
Berdasarkan raihan suara, gabungan perolehan Golkar, Demokrat, Gerindra, PAN, ditambah Nasdem, berpotensi meraup 349 kursi (60,17 persen) dari total 580 kursi DPR. Angka ini bisa semakin membengkak jika PKB turut bergabung, maka kursi pemerintah Prabowo-Gibran di DPR 2024-2029 berpotensi menjadi 471 kursi (71 persen).
Gemuknya koalisi Prabowo-Gibran membuat posisi oposisi otomatis kerontang. Tinggal PKS dan PDIP--jika tidak bergabung ke pemerintah—yang tersisa menjadi oposisi yang kurus.
Pola merangkul lawan politik yang dilakukan Prabowo mirip dengan Presiden Joko Widodo. Lihat saja periode kedua pemerintahan Jokowi, hanya tersisa PKS sebagai oposisi.
Kepala Divisi Riset dan Dokumentasi Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Rozy Brilian, menilai bergabungnya Nasdem dan PKB yang berpotensi besar mengekor, sangat menyayangkan bagi konstituen yang mendukung narasi perubahan.
Keputusan itu menciptakan pemerintahan mendatang yang sentralistik dan tentu menjauh dari prinsip-prinsip cek dan keberimbangan untuk kestabilan politik demokrasi.
“Koalisi gemuk ini, kita sebagai masyarakat sipil melihat bahwa hal tersebut tidak akan sehat bagi keberlangsungan demokrasi ke depan,” kata Rozy kepada reporter Tirto, Jumat (26/4/2024).
“Dilakukan oleh [oposisi] DPR ketika misalnya melihat produk-produk yang diterbitkan oleh pemerintah itu problematik atau bermasalah. Nah ketika itu mati, tidak berfungsi atau disfungsional, maka tumpuan rakyat juga akan hilang,” tutur Rozy.
Rakyat lagi-lagi yang dikorbankan ketika politik dagang sapi atau bagi-bagi kekuasaan diterapkan elite. Untuk kebaikan rakyat, demi kepentingan rakyat, atau demi persatuan, adalah jargon-jargon basi pembenaran sikap pragmatisme parpol. Koalisi gemuk pemerintah akan membuat rakyat kehilangan saluran-saluran kritis dan aspirasi di parlemen.
“Yang diakselerasi bukan lagi kepentingan rakyat tapi kepentingan-kepentingan elite, kepentingan golongan tertentu, kepentingan partai dan akan fokus pada politik dagang sapi bagi-bagi kekuasaan,” ujar Rozy.
Sementara itu, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, berpendapat kekuasaan besar di parlemen memang menuntut presiden dan wakil presiden terpilih untuk membentuk koalisi besar.
Presiden dan wakil presiden, kata dia, punya kepentingan agar kebijakannya tak terganggu sebab DPR yang mempersoalkan atau menolak kebijakan yang diinginkan.
“Kekuasaan presiden dan wakil presiden juga rentan diganggu jika oposisi mendominasi parlemen. Dalam kondisi relasi yang buruk antara presiden dan DPR, DPR selalu bisa menjadi ancaman nyata bagi kekuasaan,” jelas Lucius kepada reporter Tirto, Jumat (26/4/2024).
Bagi rakyat, dominasi fraksi di parlemen dengan model parpol pragmatis tentu menjadi mimpi buruk. Kekompakan presiden dan fraksi pendukungnya di DPR selalu berarti kesempatan mengamankan diri dan kelompok mereka.
Publik akan semakin sulit untuk dilibatkan dalam pembentukan beleid. Menurut Lucius, absennya oposisi berimbang hampir pasti akan membuat DPR sekadar tukang stempel pemerintah. Proses membuat kebijakan di parlemen hanya akan mengekspresikan keinginan koalisi pemerintah ketimbang rakyat.
“Oposisi parpol yang kecil akan kekurangan suara untuk memengaruhi kebijakan yang diambil parlemen. Walaupun jika oposisi mampu membangun kekuatan bersama rakyat atau publik mereka bisa saja menjadi kekuatan penyeimbang bagi koalisi,” ujar Lucius.
Lampu Kuning Demokrasi
Analis politik dari Universitas Padjajaran, Kunto Adi Wibowo, menilai langkah membentuk koalisi gemuk pemerintahan Prabowo-Gibran adalah model politik merangkul.
Cirinya dengan melakukan kompromi dan gotong royong bersama lawan-lawan politik, yang terbukti tidak berhasil memberikan dampak baik bagi rakyat. Pola seperti ini sudah dilakukan Presiden Jokowi, bahkan juga dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru.
“Dan model seperti ini sebenarnya boleh dibilang model dagang sapi atau transaksional. Dan ini sebenarnya sudah sangat lama karena pada prinsipnya politik itu kan negosiasi,” kata Kunto kepada reporter Tirto, Jumat (26/4/2024).
Kunto menilai, pilihan oposisi saat ini memang tinggal di pundak PDIP dan PKS. Untuk PKS, meski sudah 10 tahun menjadi oposisi, Kunto menilai belum memberikan pengaruh signifikan di parlemen. Sementara PDIP bisa menjadi oposisi kuat, pengalaman sudah membuktikan partai berlogo banteng itu bisa menjadi lawan tanding pemerintah.
“Tapi tentu saja oposisi yang serius dan bukan oposisi-oposisian yang hanya sekadar walk out di setiap rapat di DPR,” ujarnya.
Koalisi gemuk pemerintah merupakan lampu kuning bagi demokrasi. Apalagi, kata Kunto, elite terkesan menilai pemilu hanya sebatas kontestasi atau pertandingan. Hal ini terlihat dari pidato Prabowo Subianto ketika disahkan KPU sebagai pemenang Pilpres 2024.
“Pidato [Prabowo] tentang pertandingan telah selesai. Jadi pemilu dianggap kontestasi atau pertandingan saja yang bertanding elite-elitenya, rakyat cuma menonton. Dan setelah pertandingan pemain-pemainnya bisa salaman, bahkan bikin tim yang lebih besar di satu barisan,” urai Kunto.
Sementara itu, analis politik dari Indonesia Political Opinion, Dedi Kurnia Syah, berpendapat pemerintahan tanpa oposisi yang kuat atau setidaknya berimbang, akan menjadi ancaman bagi demokrasi. Sebab, kekuasaan dijalankan secara kompromistis bukan berdasar prioritas pembangunan, tetapi prioritas politik.
“Orang-orang di parlemen mengira jika oposisi itu hanya kader parpol di luar pemerintahan, ini pemahaman sesat. Sikap oposisi seharusnya dimiliki seluruh anggota parlemen, karena tugas dan fungsi mereka sama, yakni mengawasi, membuat regulasi yang dijalankan pemerintah, bukan sebagai pembela,” ujar Dedi kepada reporter Tirto, Jumat (26/4/2024).
Tren obesitas koalisi pemerintah, kata dia, merupakan transaksi politik paling vulgar. Persoalannya, parlemen ikut terseret dalam nuansa bagi-bagi kue kekuasaan. Padahal tugas fraksi-fraksi DPR, baik oposisi atau parpol koalisi pemerintah, sama saja, yakni mengawasi jalannya kekuasaan.
“Seluruh parlemen adalah pengawas yang ketat, tetapi faktanya tidak demikian, sehingga pemerintah hanya mengambil konsep yang menguntungkan semata,” ungkapnya.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Irfan Teguh Pribadi