tirto.id - Memisahkan perguruan tinggi dari embel-embel menara gading masih jauh panggang dari api. Biaya pendidikan yang mahal membuat sebagian besar pelajar memilih tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Kenyataan ini menjadi pil pahit bagi anak bangsa yang tak punya dukungan ekonomi memadai.
Seperti kejadian baru-baru ini yang viral di media sosial X – dulu Twitter – di mana banyak warganet mengeluhkan biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang melonjak di Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto, Jawa Tengah. Mayoritas dari mereka terkejut, biaya UKT membengkak berkali-kali lipat secara tiba-tiba hingga mencapai belasan juta. Hal ini membuat calon mahasiswa baru (camaba) Unsoed, pontang-panting dengan kebijakan berat ini.
Tagar #TurunkanUKTUnsoed bahkan menjadi trending topik di X pada Rabu (24/4/2024) malam. Sebuah cuitan dari akun @Unsoedfess1963 menyebut, “... ngga ngotak naiknya sampe 5 kali lipat, gimana nii”. Dalam cuitan lain oleh akun @convomfs, seorang warganet menunjukan jepretan gambar bahwa dia dibebani UKT di Unsoed dengan nominal Rp25 juta.
Seorang camaba Unsoed bernama Naufal Dwiputro, menuturkan kepada Tirto keberatannya atas penetapan biaya UKT selangit yang dia dapat dari kampus. Pria 18 tahun itu mengaku, dibebani besaran UKT dengan nominal Rp9 juta per semester, menurut dia, angka tersebut tidak masuk akal.
“Sangat berat karena ditinjau dari informasi yang diberikan mengenai UKT sangat mendadak. Seolah-olah pihak kampus menjebak maba [mahasiswa baru] 2024 untuk membayarnya dengan nominal yang tidak masuk akal,” ucapnya kepada Tirto, Kamis (25/4/2024).
Naufal diterima di jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Ayahnya merupakan pegawai swasta, sementara ibunya sudah meninggal dunia dua tahun lalu. Meski demikian, kata Naufal, ayahnya saat ini bertanggung jawab untuk menafkahi enam orang. Keenam tanggungan itu terdiri dari tiga keluarga inti Naufal dan tiga anggota keluarga dari pihak mendiang ibunya.
"Bahkan gaji orangtua saya, dengan jumlah tanggungan yang ada, di situasi tidak makan pun masih belum mencapai limit pembayaran," ungkap dia.
Reporter Tirto sudah mencoba menghubungi pihak Unsoed untuk mencari klarifikasi dan informasi mengenai viral UKT kampus yang tinggi. Namun, pesan dan panggilan lewat aplikasi WhatsApp yang ditujukan kepada Juru bicara (Jubir) Unsoed, Mite Setiansah, tidak direspons hingga berita ini ditulis.
Biaya UKT mahal di sejumlah perguruang tinggi –terutama di Perguruan Tinggi Negeri (PTN)– menjadi fenomena yang berulang kali terjadi. Sepanjang 2023 hingga saat ini saja, sejumlah PTN sempat mendapat sorotan media massa karena membebankan biaya UKT tinggi kepada para mahasiwa.
Misalnya, awal 2024 diwarnai dengan kabar bahwa kampus terkemuka di Kota Bandung, Institut Teknologi Bandung (ITB), menarik UKT yang tinggi kepada para mahasiwa. Keluarga Mahasiswa (KM) ITB sampai turun ke jalan untuk memprotes ongkos UKT yang dianggap sewenang-wenang. Ditambah, muncul kabar bahwa pihak kampus sempat menawarkan kepada mahasiswa mekanisme pinjaman daring (online) oleh pihak ketiga, untuk dapat membayar uang UKT.
Pada Januari 2023, seorang mahasiswi dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) juga dikabarkan meninggal setelah tidak mampu membayar UKT dan mengalami sakit. Kabar ini juga memicu sejumlah mahasiwa bersuara dan protes kepada kampus karena beban UKT yang tinggi.
Mahasiswa UNY sempat melakukan aksi lanjutan di depan kantor Kemendikbudristek pada Februari 2023 menuntut keringanan UKT. Survei yang dilakukan Project Multatuli di Daerah Istimewa Yogyakarta pada 2023 menunjukkan, 74,22 persen responden merasa biaya kuliah yang memberatkan memiliki dampak ke kondisi fisik dan mental mereka.
Dalam survei itu juga didapati, responden yang memohon keringanan dan disejuti kampus hanya 2,44 persen. Adapun perguruan tinggi lain yang menjadi sorotan sebab kabar UKT mahal memicu protes mahasiswa misalnya terjadi di UI, UNHAS, hingga UIN Sunan Ampel.
Polemik PTN-BH
Pengamat pendidikan dari Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi Universitas Negeri Semarang (UNNES), Edi Subkhan, menduga kebijakan UKT yang naik drastis di Unsoed disebabkan keinginan kampus menjadi PTN Berbadan Hukum (PTN-BH). Untuk menjadi PTN-BH, kata dia, kampus yang bersangkutan perlu memiliki dana saving kisaran Rp100 miliar agar operasional kampus tetap terjaga.
Edi menjelaskan, begitu kampus menjadi PTN-BH, pemerintah akan memberikan uang saku agar kampus dapat berkembang. Namun biaya ini terbatas, berikutnya pemerintah hanya akan memberikan subsidi ke PTN-BH kisaran 30 persen dari total semua anggaran yang diperlukan. Sisanya, atau 70 persen lagi, ada kewenangan otonomi kampus untuk mencari dana sendiri.
“Kenaikan UKT banyak faktor penyebabnya, misal inflasi dan kebutuhan kampus untuk berkembang makin banyak, terutama misal untuk mencapai world-class university. Tapi kalau naiknya terlalu drastis saya duga ini ada kaitannya dengan niat Unsoed menjadi PTN-BH,” ujar Edi kepada reporter Tirto, Kamis.
PTN-BH memang memiliki keluwesan otonomi di bidang sumber daya manusia, aset, dan keuangan dibandingkan PTN dengan pengelolaan keuangan badan layanan umum (BLU) dan PTN satuan kerja (satker). Hal ini sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi.
PTN-BH juga dapat menerima dan menggunakan dana dari masyarakat berupa uang kuliah, sumbangan, hibah, dan lainnya tanpa harus menyetor ke kas negara dulu. Mereka juga diberi kewenangan untuk menentukan tarif dan standar biaya sendiri. Kewenangan yang besar ini diharapkan mampu membuat PTN menjadi lebih mandiri dan berkembang, nyatanya masih ada persoalan UKT tinggi yang tak tepat sasaran sehingga aturan ini malah berbau komersialisasi.
“Nah, kampus yang selama ini tugasnya melayani mahasiswa, maka cara paling mudah memperoleh income ya menaikkan UKT. Cara lain dari hasil riset dan lainnya,” ujar Edi.
Pemerintah, menurut Edi, selalu berdalih PTN-BH akan membuat kampus berkembang dan maju karena lebih bebas mengelola keuangannya. Edi menilai niat pemerintah itu hanya separuh benar, sebab kampus memang lebih fleksibel mengelola keuangan sehingga mudah mengalokasikan keperluan yang lebih esensial. Namun, dengan menjadi PTN-BH maka subsidi kampus dikurangi, justru dinilai menjadi sebuah kontradiksi.
“Tapi kalau syaratnya adalah pendanaan dari pemerintah harus dikurangi, ini yang tidak masuk akal dan tidak ada korelasinya dengan mitos bahwa kampus PTN-BH akan maju,” tutur dia.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, berpendapat bahwa hak pendidikan warga itu dijamin dalam UUD 1945. Pemerintah belakangan seakan abai terhadap hak konstitusional ini. UKT yang mahal membuat kampus justru membentuk hegemoni dengan para mahasiswanya.
“Dengan skema PTN-BH, perlahan-lahan pemerintah akan melepas tanggung jawab pembiayaan pendidikan di perguruan tinggi negeri. Arah dari kebijakan kampus merdeka ini adalah komersialiasi dan privatisasi pendidikan,” tutur Ubaid kepada reporter Tirto, Kamis (25/4/2024).
Hak mendapatkan pendidikan ada dalam Pasal 31 UUD 1945 yang mengamanatkan setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah juga wajib membiayainya. Selain itu, pendidikan juga merupakan bagian dari hak asasi manusia, seperti termaktub dalam Pasal 28C Ayat (1) dan Pasal 28E Ayat (1) UUD 1945.
Mempersulit akses pendidikan dengan biaya mahal merupakan bentuk pembangkangan terhadap amanat konstitusi. Padahal, angka partisipasi kasar pendidikan tinggi (APK PT) di Indonesia pada 2024 baru sebesar 39,37 persen. Capaian ini masih di bawah rata-rata global 40 persen sesuai standar UNESCO.
“UKT dihitung berdasarkan kebutuhan kampus untuk menunjang segala operasional dengan tanpa pembiayaan dari negara. Ketika Unsoed sudah mampu melakukan ini, maka bisa disahkan menjadi PTN-BH, dan saat ini Unsoed menuju ke sana,” kata Ubaid.
Pinjaman Bukan Solusi
Merespons mekanisme pinjaman pendidikan (student loan) dan rekomendasi kampus yang menyarankan mahasiswanya berutang di pinjol, Ubaid menilai hal ini sebagai liberalisasi pendidikan. Kasus yang terjadi di ITB, kata dia, seharusnya menjadi pelajaran meyakinkan agar mekanisme pinjaman pendidikan dihentikan. Hal ini sama saja menjebak mahasiswa ke kubangan utang.
“Di luar negeri banyak dipraktikkan, tapi justru menuai skema pinjaman macet dan justru membebani ekonomi keluarga. JPPI menolak model skema pinjaman di perguruan tinggi. Ini bentuk nyata komersialisasi dan liberalisasi di dunia pendidikan,” kata Ubaid.
Sementara itu, Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Satria Unggul Wicaksana Prakasa, menegaskan hak mendapatkan akses pendidikan adalah hak asasi manusi yang dijamin melalui Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Apalagi, kata dia, pendidikan memiliki sifat afirmatif yang ada dalam UUD dengan besaran biaya minimal 20 persen di dalam APBN.
“Nah ini tentu kita tahu bahwa akses pendidikan, sekali lagi akses hak bagi mahasiswa untuk menerima beasiswa atau keringanan biaya seminimal mungkin itu harus dipenuhi,” tutur Satria kepada reporter Tirto.
Fenomena perubahan kampus menjadi PTN-BH menurut dia juga selalu bermuka dua. Di satu sisi, kampus merupakan institusi publik yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara. Di sisi lain, kampus seakan diprivatisasi karena diharapkan menggali dana sendiri sebanyak-banyaknya.
“UKT tinggi terhadap mahasiswa, kita bisa anggap bahwa hal tersebut adalah bagian dari pelanggaran HAM,” terang Satria.
Kepala Bidang Litbang Pendidikan P2G, Feriansyah, menilai golongan UKT seharusnya berorientasi pada afirmasi terhadap mahasiswa dengan ekonomi menengah ke bawah. Fokusnya, agar UKT dapat membuat mahasiswa tersebut masuk ke dalam fakultas-fakultas unggulan di PTN.
Sayangnya, kerap terjadi penetapan UKT yang salah sasaran karena tidak adanya data tunggal untuk dirujuk. Padahal, ada golongan terendah dalam UKT yang seharusnya bisa mengakomodasi mahasiswa dari kalangan ekonomi kurang mampu.
“UKT harus mengafirmasi anak-anak yang miskin ini benar-benar bisa masuk fakultas unggulan dengan unga kuliah tunggal yang sudah ditentukan. Jangan sampai cuma indah di kertas, namun penerapannya tidak realistis,” kata Feriansyah kepada reporter Tirto.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang