Menuju konten utama

Buat Publik Geram, Galih Loss Akhirnya Dijerat UU ITE, Tepatkah?

Alih-alih dicokok UU iTE, menurut sejumlah pengamat hukum Galih Loss lebih baik dilaporkan ke platform media sosial agar kontennya diturunkan atau dihapus.

Buat Publik Geram, Galih Loss Akhirnya Dijerat UU ITE, Tepatkah?
Galih Loss. Instagram/galihloss

tirto.id - Perubahan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) lewat UU Nomor 1 Tahun 2024 yang sudah mengalami revisi, nyatanya masih membuka pintu kriminalisasi.

Pasal-pasal berpotensi karet masih bercokol di dalamnya dan dapat digunakan untuk mempidanakan seseorang atau kelompok yang berseberangan.

Baru-baru ini, seorang TikToker sekaligus pembuat video konten, Galih Loss, dicokok polisi menggunakan UU ITE dan KUHP dengan delik penistaan agama.

Kasus ini bermula dari konten yang dibuat Galih Loss dan viral di media sosial. Dalam video, Galih bertanya kepada seorang anak kecil tentang hewan apa yang dapat mengaji. Lantas Galih memplesetkan kalimat ta’awudz sebagai bahan bercandaan dalam video tersebut.

Video ini berbuntut panjang, sebab dinilai menistakan ajaran agama Islam. Galih langsung ditangkap Polda Metro Jaya pada Senin (22/4/2024) malam.

Selang sehari, Galih ditetapkan polisi sebagai tersangka kasus penistaan agama. Hal ini dikonfirmasi Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Kombespol, Ade Safri.

“Saudara GNAP (Galih) di Rutan Polda Metro Jaya untuk kepentingan penyidikan lebih lanjut,” ucapnya melalui pesan singkat, Selasa (23/4/2024).

Menurut Ade, proses penetapan sebagai tersangka ini bermula saat Tim Unit 2 Subdit IV Tipid Siber Ditreskrimsus Polda Metro Jaya melakukan patroli siber. Tim ini lalu menemukan akun TikTok Galih, @galihloss3, yang mengunggah video bermuatan SARA. Kata Ade, polisi kemudian menyelidiki dan menyidik temuan tersebut.

“Diketahui Saudara GNAP sebagai pengelola ataupun pemilik dari akun Tiktok @galihloss3 yang mana akun tersebut mengunggah video penyebaran kebencian berbasis SARA melalui media elektronik dan/atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia,” urai Ade.

Galih kemudian dijebloskan ke Rutan Mapolda Metro Jaya. Berdasarkan pemeriksaan, kata Ade, Galih membuat konten penistaan agama untuk mencari endorsement.

Ia menambahkan, Galih disangkakan Pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45a ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau Pasal 156a KUHP.

Penetapan Galih sebagai tersangka kasus penistaan agama dinilai sejumlah pengamat hukum dan siber tidak tepat dan berlebihan. Selain itu, Galih juga disangkakan dengan pasal-pasal yang dinilai karet sehingga membuka pintu kriminalisasi.

Galih Loss

Galih Loss. Instagram/galihloss

Hal ini membuktikan, masyarakat sipil masih berpotensi dicokok secara sewenang-wenang hanya karena berseberangan dengan pihak atau kelompok tertentu.

Peneliti Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Annisa Azzahra, menilai pemidanaan Galih oleh kepolisian tidak tepat dilakukan. Dia menilai tindakan polisi bermasalah, terlebih, penggunaan pasal penistaan agama sendiri akan membuat Jaksa kesulitan membuktikan kesalahan Galih.

“Karena pasal penistaan agama sendiri memang bermasalah secara hukum dan berpotensi membatasi hak asasi manusia,” kata Annisa kepada reporter Tirto, Rabu (24/4/2024).

Pasal 28 ayat (2) UU ITE Nomor 1/2024 berisi soal pidana penyebar kebencian SARA. Di dalamnya melingkupi: setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau mempengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan…”.

Sementara Pasal 156a KUHP soal penistaan agama berisi: perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia”.

Kedua pasal ini memang kerap disandingkan menjadi kombo maut untuk mengkriminalisasi seseorang. Pasal-pasal tersebut digunakan dalam kasus-kasus dugaan penistaan agama atau ujaran kebencian. Masalahnya, pasal ini bisa menjerat siapa saja yang dianggap menodai ajaran agama atau berbuat SARA.

Annisa berpendapat, dalam konteks HAM sudah ada Kovenan Hak Sipil dan Politik yang diratifikasi Indonesia tahun 2005. Kovenan itu seharusnya menjamin kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama setiap orang.

Kendati demikian, kata dia, jaminan itu diberikan kepada orang sebagai subjek bukan pada agama sendiri sebagai objek.

“Nah, di KUHP yang diatur malah objek yaitu agamanya, jadi ini bermasalah. Apalagi di hukum pidana harus dibuktikan apakah Galih terbukti memiliki niat jahat, dan proses pembuktian ini tidak selalu mudah,” ujar Annisa.

Menurutnya, pilihan mempidanakan seseorang merupakan solusi terakhir dalam kasus-kasus pembuat konten di media sosial. Terlebih, pembatasan konten tidak diatur dalam hukum, kecuali yang jelas-jelas bermasalah seperti melakukan pelanggaran HAM, melakukan kekerasan, atau menyebarkan gambar/video intim seseorang tanpa izin.

“Karena yang dibuat oleh Galih tidak semua orang kan merasa tersinggung. Itu tidak menjadi sebuah fakta hukum yang absolut. Ini menjadi bukti walaupun UU ITE sudah direvisi, ini tidak berguna karena masih ada pasal karet,” jelas Annisa.

Jerat UU ITE membuktikan bahwa semangat dekriminalisasi belum terbukti meski aturan sudah direvisi. Alih-alih melihat SKB Menteri dalam penerapan UU ITE, aparat penegak hukum justru tetap menggunakan UU ITE untuk mengkriminalisasi seseorang.

Pasal Karet UU ITE

Peneliti dari ELSAM, Parasurama Pamungkas, menilai penangkapan kepada Galih tindakan yang berlebihan. Dia berpendapat, seharusnya jika konten-konten yang dibuat Galih mengganggu, masih ada cara lain di luar ranah pidana. Misalnya, dengan melaporkan konten tersebut ke platform media sosial agar bisa diturunkan atau dihapus.

“Dan Kominfo sendiri bisa melakukan take down. Ini kan saya kira masuk dalam konten tidak lucu bukan konten penghinaan,” kata Parasurama kepada reporter Tirto, Rabu.

Dia menambahkan, ketika menggunakan Pasal 28 ayat 2 UU ITE, harus dilihat konteks, niat dan maksud, isi serta bentuk, juga potensi bahaya dari sebuah konten. Hal ini sesuai dengan apa yang ada di revisi UU ITE karena terdapat perbaikan dalam isi pasal tersebut.

“Sebelumnya [apakah] ada syarat sifat menghasut, mengajak orang lain dalam menimbulkan permusuhan. Jadi harus dilihat betul-betul apakah konten itu mengajak membenci dan menghasut orang atau kelompok tertentu,” ujar Parasurama.

Dia menyadari, konten-konten prank Galih juga berpotensi menimbulkan kegeraman di masyarakat. Misalnya, konten menuding seorang pengemudi ojek online sebagai begal atau konten menuding seseorang menghamili perempuan. Namun, kata dia, hal itu tidak bisa otomatis menjadi pembenaran untuk mempidanakan seseorang.

“Ini bisa menginspirasi kasus-kasus lainnya yang bisa saja diluar nalar tudingannya. Dalam konteks Galih, adanya di ranah moral dan etika. Maka tidak melulu dalam ranah pidana penyelesaiannya,” jelas dia.

Ilustrasi soft censorship

Ilustrasi soft censorship. FOTO/iStockphoto

Sementara itu, Direktur SAFEnet, Nenden Sekar Arum, menilai dilihat dari konteks kontennya, kurang tepat jika Galih disangkakan penodaan agama. Apalagi Pasal 28 ayat 2 UU ITE sudah direvisi. Dalam revisi tersebut, fokusnya harus ada hasutan dalam mengajak, dan membenci seseorang ataupun menimbulkan permusuhan.

“Nah, kontennya Galih itu secara tidak langsung tidak mengajak permusuhan atau membenci sesuatu, jadi memang tidak tepat pakai UU ini,” kata Nenden kepada reporter Tirto, Rabu.

Ia membenarkan, pasal penodaan agama di KHUP sering dilapisi dengan UU ITE untuk memperkuat dugaan ataupun menambah regulasi yang dipakai. Kombo aturan ini dapat membuat seorang yang disangkakan bisa langsung ditahan oleh polisi.

“Pasal penodaan agama ini kan lima tahun, dan di ITE itu 6 tahun, jadi memang di atas lima tahun kan ada upaya penangkapan. Jadi memang kombinasi pasal ini sangat ampuh ketika bertujuan untuk menangkap atau menahan seseorang,” ujar Nenden.

Menurutnya, batasan sebuah konten dikatakan dapat diperkarakan pidana, harus dilihat dulu konteksnya. Apakah konten tersebut bentuk kreativitas atau kebebasan berekspresi, atau justru konten yang sengaja bertujuan buruk.

Misalnya dalam konteks ujaran kebencian SARA, apakah konten itu secara eksplisit memiliki hasutan, juga menimbulkan atau mengajak untuk mencelakakan orang lain.

“Jadi kalau konten berpotensi melukai pihak lain atau kelompok lain ya itu bisa diperkarakan,” tutur Nenden.

Ahli hukum pidana Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho, menilai kasus penisataan agama yang menggunakan Pasal 28 UU ITE, memang menggunakan delik SARA yang merupakan delik umum. Maka, siapa pun yang merasa tersinggung dapat melaporkan seseorang dengan pasal tersebut.

“Penyidik akan menilai ini ada suatu niatan, makanya ini diteliti dulu apakah ada unsur niatan apalagi terkait SARA maka bisa ditangkap. Maka kalau sudah ditangkap, penyidik sudah punya alasan tertentu, dalam suatu kasus SARA,” ujar Hibnu kepada reporter Tirto, Rabu.

Hibnu menyarankan agar pembuat konten di media sosial berhati-hati dalam mengunggah suatu konten. Terlebih, jika konten tersebut berpotensi menyinggung agama, ras, dan kepercayaan orang lain. Pembuat konten perlu menyadari risiko dari apa yang sudah diunggahnya di dunia maya.

“Kalau unsur hukum itu ada syarat subjektif dan objektif. Orangnya si pembuat konten itu menimbulkan SARA atau menimbulkan kebencian itu subjektif. Maka objektifnya, kontennya apakah dilakukan sekali atau berkali-kali, apakah sudah mendapat peringatan sebelumnya. Apalagi delik umum maka semua orang bisa melaporkan dia,” jelas Hibnu.

Baca juga artikel terkait UU ITE atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Hukum
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Irfan Teguh Pribadi