tirto.id - Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) DKI Jakarta mulai menonaktifkan 92.493 Nomor Induk Kependudukan (NIK) DKI Jakarta. Kebijakan ini, sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Untuk menjalankan aturan hukum tersebut, maka diterbitkan pula Surat Keputusan Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil DKI Jakarta Nomor 80 Tahun 2023. Hal itu mengatur tentang Pedoman Penonaktifan dan Pengaktifan Kembali Nomor Induk Kependudukan (NIK).
Kepala Disdukcapil DKI Jakarta, Budi Awaluddin, mengatakan, terdapat dua alasan mengapa 92.493 NIK itu akan dinonaktifkan. Pertama, pemilik NIK DKI Jakarta telah meninggal dunia tercatat 81.119 jiwa. Kedua, rukun tetangga (RT) tempat tinggal pemilik NIK DKI yang sudah tak ada lagi 11.374 jiwa.
"Tahapan pertama ini, kita sudah mengajukan untuk yang meninggal 40 ribuan KTP warga. Untuk yang meninggal itu [NIK-nya] sudah dinonaktifkan, kata Budi Awaluddin, di kawasan Jakarta Pusat, Kamis (25/4/2024).
Di luar itu, Disdukcapil juga akan menonaktifkan sebanyak 194.777 NIK DKI milik warga yang tak lagi tinggal di Jakarta. Jumlah NIK DKI itu bisa bertambah atau berkurang usai diverifikasi ulang. Proses penonaktifan NIK ini, merupakan upaya penataan jumlah pendatang baru di DKI Jakarta.
"Ini masuk dalam tahapan selanjutnya," ujar Budi.
Meski dinonaktifkan, warga yang merasa masih tinggal di DKI Jakarta bisa melayangkan aduan. Usai melayangkan aduan, NIK Jakarta mereka akan kembali diaktifkan.
"Namun, nanti yang kita bisa, Pemprov DKI yang diberikan kewenangan untuk mengaktifkan kembali [NIK yang dinonaktifkan], jadi tidak perlu prosedur harus ke Kemendagri lagi," ujar Budi.
Sekretaris Fraksi PKS DPRD DKI Jakarta, Muhammad Taufik Zoelkifli, mengatakan dari sisi administrasi kewarganegaraan atau kependudukan penonaktifan NIK dilakukan oleh Pemprov DKI merupakan langkah baik. Tujuannya tentu untuk merapikan kembali data catatan sipil kependudukan di Jakarta.
"Jadi misalnya meninggal. Meninggal ini harus dinonaktifkan. Kenapa harus dinonaktifkan? Karena kalau tidak dinonaktifkan itu bisa disalahgunakan untuk ambil KJP, bantuan sosial, dan lain-lain. Jadi itu harus ditertibkan tentunya," ujar dia saat dihubungi Tirto, Jumat (26/4/2024).
Menimbulkan Dampak Sosial
Sementara itu, Taufik menilai penonaktifan tersebut akan menimbulkan masalah jika warga yang terdampak tidak tinggal di Jakarta. Terlihat dari data sosial, masyarakat Jakarta yang pindah ke pinggiran sebagian besar merupakan warga Betawi asli. Mereka memiliki aset tanah di Jakarta walaupun kemudian dijual rumahnya dan tinggal di pinggiran.
"Kerjanya kan masih di Jakarta sebagian besar. Walaupun mungkin pekerjaan informal seperti buruh, ojek atau yang lain," ujar Taufik.
Taufik melihat masyarakat yang terdampak merupakan asli Jakarta. Tapi, karena ada pergeseran sosial ekonomi mereka akhirnya terpinggirkan dan terpaksa untuk pindah.
"Kalau orang orang seperti ini kemudian juga dinonaktifkan NIK, maka seperti tidak adil," kata Taufik.
Menurutnya, ini sama dengan pepatah 'habis manis sepah dibuang'. Artinya, ketika muda, mereka merupakan orang Jakarta. Ikut membangun daerah dan diberikan fasilitas oleh Pemprov DKI. Tapi, begitu mereka mengalami kesulitan ekonomi, kemudian terpinggirkan, justru diminta NIK-nya untuk dinonaktifkan.
"Nah itu akan menimbulkan masalah sosial saya kira ya," ujar Taufik.
Taufiq berharap, masalah-masalah sosial ini menjadi pemikiran Pemprov DKI Jakarta ketika mau menonaktifkan NIK dari warga Jakarta, khususnya bagi mereka-mereka yang memang terpinggirkan.
Tidak Ada Urgensinya
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, menilai, kebijakan penataan atau penertiban NIK dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta tidak ada urgensinya. Kebijakan tersebut, justru cenderung dipaksakan dan berpotensi memicu benturan di masyarakat.
"Ini tidak ada urgensinya. Karena saya melihat bahwa itu kan NIK yang ada itu bisa dipilah. Jadi kategori mereka yang meninggal dunia, otomatis dihapus. Tinggal mereka yang KTP di Jakarta tapi tidak tinggal di Jakarta," kata Trubus saat dihubungi Tirto, Jumat (26/4/2024).
Trubus menilai, mereka yang memiliki KTP Jakarta, namun tinggalnya Bogor, Depok, dan Bekasi jumlahnya hanya sedikit. Dia menuturkan dengan adanya UU Daerah Khusus Jakarta (DKJ), mereka yang memiliki KTP dan berada di luar Jakarta seharusnya tidak ada masalah.
Untuk diketahui, kawasan aglomerasi DKJ akan mencakup Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur (Jabodetabekjur) akan dijalankan oleh Dewan Kawasan Aglomerasi.
"Sekarang dengan adanya UU DKJ itu menjadi wilayah aglomerasi," ungkap Trubus.
Lebih lanjut, Trubus melihat ada kecurigaan dan kekhawatiran bagi Pemprov Jakarta mereka-mereka tidak tinggal di Jakarta, namun NIK-nya di luar Jakarta akan menikmati fasilitas-fasilitas seperti bansos, KJP, dan lainnya. Tapi, seharusnya dengan sistem pendataan akurat dan aplikasinya matang, potensi itu akan sangat minim.
"Jadi adanya dugaan itu kan berlebih lebihan menurut saya. Menurut saya kenapa kebijakan ini tidak dikoordinasikan wilayah penyanggah yang mereka tinggal di situ," kata Trubus.
Dia mengatakan, Jakarta saat ini bukan sebagai kota tertutup. Artinya, semua warga boleh saja datang, tinggal, dan bekerja di Jakarta. Apalagi statusnya juga sudah bukan sebagai ibu kota.
"Itu harus menjadi kota terbuka investasinya. Dan mereka datang ke sini. Mereka tidak mesti KTP di sini dong mereka berinvestasi di sini," kata Trubus.
Kalaupun kebijakan ini mau diterapkan, lanjut Trubus, kenapa tidak bersamaan dengan implementasi UU DKJ. Jadi tidak perlu mencabut NIK yang jumlahnya mencapai puluhan ribu.
"Saya sendiri melihat itu membingungkan masyarakat dan buat keresahan di masyarakat," ujar dia.
Dampak Pencabutan NIK
Selain itu, Trubus melihat, penertiban NIK ini akan berdampak kepada mereka yang terimbas kebijakan ini. Dalam hal ini, hak-hak mereka akan hilang.
"Itu kan hak-hak hilang. Dengan NIK tidak aktif itu, berdampak sekali bagi masyarakat," ujar Trubus.
Karena sejatinya, NIK dipakai untuk berbagai kebutuhan administrasi dan lainnya. Semisal membuka rekening, mengurus BPJS Kesehatan, serta hal-hal lain yang berhubungan dengan NIK. Jika dinonaktifkan, otomatis akan menghambat semua.
"Ini kan masyarakat harus urus lagi. Belum nanti potensi-potensi perilaku korupsi muncul di situ. Belum lagi masyarakat urus buang waktu, bensin, parkir. Ini kan bebani masyarakat semua," pungkas Trubus.
Disdukcapil DKI Jakarta mengakui, program penataan dan penertiban dokumen adminduk akan berdampak pada pelayanan publik yang menggunakan NIK. Mulai dari BPJS Kesehatan, pajak, SIM, pembukaan rekening, hingga urusan pernikahan.
Namun, untuk meminimalkan dampak dan membantu mereka Disdukcapil sudah berkoordinasi dengan instansi vertikal yang berkaitan langsung dengan layanan publik lainnya. Seperti BI kantor perwakilan Jakarta, Badan Penerimaan Pajak Daerah Provinsi Penyangga, Korlantas Polri, Dirlantas Polda Banten, DKI dan Jabar, Kanwil Agama bidang Haji, termasuk BPJS Kesehatan.
"Kami sudah bekerjasama dengan Bappeda Jabar, Banten dan DKI, untuk pajak biaya balik nama karena perubahan domisili aset , BBNKB-nya akan di 0 kan," jelas Budi Awaluddin kepada Tirto, Jumat (26/4/2024).
Tidak hanya itu, bagi mereka yang terdampak pada pelayanan kesehatan (BPJS), semisal masih dalam perawatan seperti cuci darah, dan kemoterapi dan perawatan rutin lainnya, akan dikecualikan. Mereka akan dikeluarkan dari program penataan dan penertiban dokumen kependudukan.
"Bagi masyarakat yang terkena dampak penonaktifan NIK dan sakit melakukan perawatan di RS, maka akan kami keluarkan dari program penataan dan penertiban dokumen kependudukan sesuai domisili," ungkap Budi.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin