tirto.id - Presiden RI terpilih periode 2024-2029, Prabowo Subianto, sebaiknya berpikir matang sebelum merangkul sejumlah partai politik (parpol) di luar pengusung untuk bergabung ke barisan kabinetnya.
Tanda-tanda koalisi gemuk dalam pemerintahan Prabowo sudah terasa, bahkan sebelum Ketua Umum Partai Gerindra itu dilantik pada Oktober 2024 mendatang. Politik akomodatif yang dilakukan Prabowo justru berpotensi merugikan jalannya pemerintahan.
Setelah ditetapkan KPU secara resmi sebagai presiden terpilih, Prabowo mulai membuka perjumpaan dengan sejumlah elite parpol rival politiknya di Pilpres 2024.
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Nasdem adalah lawan politik yang baru-baru ini menyatakan dukungan kepada pemerintahan selanjutnya. Nasdem bahkan menyatakan bergabung ke dalam barisan koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran.
Sementara ini, ada dua partai lain yang dikabarkan ingin mengadakan persamuhan dengan Prabowo. PKS dan PPP yang berharap bertemu dengan Menteri Pertahanan itu untuk bicara peluang kerja sama dalam pemerintahan selanjutnya.
Sementara PDIP, meski menyatakan siap berada di dalam maupun di luar pemerintahan, belum ada titik terang untuk berjumpa dengan Prabowo.
Dibukanya peluang besar-besaran bagi parpol rival masuk ke dalam koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran bisa menjadi bom waktu. Sebelum Nasdem menyatakan bergabung saja, sudah ada empat parpol Koalisi Indonesia Maju (KIM)--nama koalisi pengusung Prabowo-Gibran--yang berpotensi duduk di kursi DPR periode 2024-2029.
Ditambah, Koalisi Indonesia Maju juga terdiri dari partai non-parlemen seperti PSI, Gelora, Prima, dan Garuda.
Makin gemuk koalisi, otomatis akan banyak permintaan yang bakal diakomodasi Prabowo. Ditambah, muncul potensi gesekan antarparpol koalisi dengan parpol rival politik yang baru merapat ke barisan pendukung Prabowo-Gibran. Misalnya sikap keras Gelora baru-baru ini yang menolak PKS untuk bergabung ke KIM.
Sekretaris Jenderal Partai Gelora, Mahfudz Siddiq, menilai PKS tidak cocok dengan KIM karena menolak program-program Presiden Jokowi, misalnya soal IKN. Selain itu, PKS juga disebut pernah menolak pencalonan Gibran, putra sulung Jokowi, sebagai capres Prabowo.
“PKS juga secara terbuka menolak program strategis Presiden Jokowi seperti IKN. Bahkan janji politik PKS dalam Pemilu 2024 adalah Jakarta tetap jadi ibu kota negara,” kata Mahfudz kepada reporter Tirto, Senin (29/4/2024).
Mahfudz mengatakan, persepsi banyak basis pendukung PKS menilai Prabowo sebagai pengkhianat sebab Ketum Gerindra itu memutuskan masuk kabinet presiden Jokowi-Ma'ruf Amin pada 2019.
Dihubungi secara terpisah, Juru Bicara PKS, Ahmad Mabruri, enggan berkomentar atas sikap penolakan Gelora. PKS, kata dia, masih membuka pintu kerja sama dengan koalisi Prabowo-Gibran.
Sementara itu, hubungan panas-dingin juga berpotensi terjadi antara Nasdem dan Demokrat di Koalisi Indonesia Maju.
Demokrat bersama Nasdem dan PKS, mulanya merupakan bagian Koalisi Perubahan yang mengusung Anies Baswedan sebagai capres. Namun Demokrat hengkang ke KIM untuk mendukung Prabowo setelah Anies dipasangkan dengan Muhaimin Iskandar dari PKB.
Namun, Deputi Bappilu DPP Partai Demokrat, Kamhar Lakumani, memastikan partainya tak merasa terganggu dengan Nasdem yang telah menyatakan dukungan dan bergabung ke pemerintahan Prabowo-Gibran. Mereka menghargai sikap politik Prabowo selaku presiden terpilih untuk merangkul semua pihak untuk membangun bangsa Indonesia.
“Sebagai bagian dari koalisi, tentu saja kami percaya penuh kepada Pak Prabowo selaku pemimpin Koalisi Indonesia Maju,” kata Kamhar kepada Tirto, Jumat (26/4/2024).
Koalisi Gemuk Ber
potensi Terjadi Gesekan
Analis politik dari Populi Center, Usep S. Ahyar, menilai gesekan antarparpol pendukung dalam koalisi gemuk adalah potensi risiko yang harus diterima Prabowo-Gibran. Hal ini akibat Prabowo membuka selebar-lebarnya pintu kepada parpol rival untuk bergabung ke jajaran pendukung pemerintahannya.
“Justru dengan membuka lebar semuanya pasti akan berantem sendiri, karena rakyat nggak ada kepentingan. Karena tidak ada aturan main dari Prabowo,” kata Usep kepada reporter Tirto, Senin (29/4).
Ditambah, parpol-parpol di Indonesia memiliki mental pragmatisme. Ini membuat segala tawaran yang menguntungkan partai akan tanpa ragu-ragu disikat. Seharusnya, kata Usep, ada kriteria dan aturan main yang disusun Prabowo sebelum memutuskan menerima pinangan banyak parpol.
“Berkontribusi ke bangsa itu nggak harus masuk koalisi [pemerintah]. Ini kan nggak, diimingi jabatan dan politik dagang sapi ya otomatis pengen semua. Harusnya ada rambu yang jalan, kita ini ingin bernegara macam apa,” tuturnya.
Usep memandang, parpol-parpol ingin bergabung ke koalisi pemerintahan agar kecipratan efek ekor jas Prabowo. Hal ini seakan dinilai menjadi kunci kemenangan Prabowo sebab memutuskan bergabung ke kabinet Presiden Jokowi. Selain itu, koalisi gemuk mengaburkan sistem presidensial yang dianut negara ini.
Karena Prabowo harus mengakomodasi banyak parpol pendukungnya, mau tidak mau hak prerogatifnya sebagai presiden tergerus. Hal ini seakan membuat Indonesia menjadi negara parlementer.
Ditambah, kekuatan pemerintah di DPR juga akan terlalu dominan jika banyak partai-partai di parlemen yang memutuskan bergabung ke barisan Prabowo-Gibran.
“Harusnya koalisi [parpol] yang bergabung sejak awal saja yang diprioritaskan Prabowo,” ujar Usep.
Dalam artikel Idul Rishan (2020) yang berjudul “Risiko Koalisi Gemuk dalam Sistem Presidensial di Indonesia”, setidaknya ada tiga masalah mendasar bagi pemerintahan jika membangun koalisi gemuk.
Pertama, pemerintahan akan cenderung bersifat kompromistis. Kedua, koalisi gemuk tidak sepenuhnya menjamin stabilitas pemerintahan, khususnya pada relasi presiden dan DPR. Banyaknya fraksi pemerintah di DPR terbukti tidak juga membuat realisasi pengesahan RUU berjalan sesuai target.
Terakhir, koalisi gemuk menciptakan jebakan otoritarian karena presiden menjadi episentrum kekuasaan.
“Absennya peran legislatif dalam mengawasi eksekutif menjadi sebuah gejala lahirnya pemimpin yang demagog. Demokrasi membusuk dan berjalan mundur,” tulis Rishan.
Sementara itu, analis politik dari SMRC, Saidiman Ahmad, menilai keputusan Prabowo menerima parpol rival bergabung pasti akan membuat jatah kabinet bagi partai pendukung berkurang. Hal ini akan membuat pembicaraan kabinet Prabowo-Gibran di KIM berpotensi alot dan dinamis.
“Ada potensi koalisi pemerintahan akan kembali gemuk seperti pemerintahan-pemerintahan sebelumnya, tapi kepentingan partai pendukung utama akan membuat keinginan Prabowo merangkul semua menjadi terbatas,” kata Saidiman kepada reporter Tirto, Senin.
Saidiman menilai, keputusan menambah jajaran parpol--terutama yang berpotensi lolos parlemen--menjadi keharusan bagi Prabowo. Ini dilakukan agar fraksi parpol pemerintahan di parlemen lebih mendominasi dan menjadi mayoritas.
“Pemerintahan Prabowo membutuhkan tambahan setidaknya 1 partai menengah untuk membuat mereka mayoritas di parlemen. Karena itu, menarik satu atau dua partai lain adalah keharusan secara politik bagi pemerintahan Prabowo,” ujar Saidiman.
Melihat situasi saat ini, dia memandang kemungkinan PDIP dan PKS akan ada di luar pemerintahan Prabowo-Gibran. Hal ini karena PDIP belum menunjukkan hasrat bergabung ke kubu Prabowo-Gibran, sementara PKS akan ditolak parpol Koalisi Indonesia Maju.
“Cukup besar kemungkinan ada dua partai oposisi, yakni PDI Perjuangan dan PKS. Dan kedua partai ini mewakili sekitar 30 persen kursi parlemen,” kata dia.
Gerindara Sebut
KIM Semakin Solid
Ketua Harian Gerindra, Ahmad Sufmi Dasco, mengatakan saat ini tidak ada gesekan dalam Koalisi Indonesia Maju. Dasco menyatakan, gesekan akan bisa dihindari jika parpol koalisi terus memercayakan langkah politik kepada Prabowo.
“Nggak ada gesekan sepanjang semua anggota koalisi berkomitmen seperti awal pembentukan koalisi, yaitu memberikan kewenangan kepada Pak Prabowo untuk mengadakan pembicaraan-pembicaraan dengan partai selain koalisi,” kata Dasco kepada reporter Tirto, Senin (29/4).
Menurutnya, setelah KPU menetapkan Prabowo-Gibran sebagai presiden dan wakil presiden terpilih, soliditas parpol di KIM justru meningkat. Dia mengklaim, pembicaraan soal kabinet justru masih jarang dilakukan oleh anggota koalisi.
“Saat ini koalisi malah nggak banyak ngomong soal [pembentukan] kabinet-kabinet tuh. Malah kebanyakan ngomong soal meneruskan program kerja [jokowi] ke depan. Itu yang saya tahu,” ungkap Dasco.
Wakil Ketua Partai Gerindra, Rahayu Saraswati, menilai dari awal semua parpol yang bergabung mendukung Prabowo seharusnya memahami bahwa Ketum Gerindra itu memiliki karakter yang konsisten. Saras, sapaan akrabnya, menyatakan Prabowo dari awal memang ingin membangun kepemimpinan gotong royong dan inklusif.
“Bahkan beliau pernah menyampaikan hasil riset dan data dari sebuah lembaga asing di mana dinyatakan satu syarat yang dibutuhkan untuk sebuah negara bisa mencapai sebuah golden era atau masa keemasan adalah persatuan elite,” ujar Saras kepada reporter Tirto, Senin.
Dia menilai sikap Prabowo yang akan merangkul banyak pihak, termasuk rival politiknya, sudah menjadi syarat bergabung ke KIM. Parpol-parpol pendukung sudah semestinya memahami komitmen tersebut.
“Jadi saya rasa semua pimpinan koalisi dari awal juga sudah menerima bahwa itu adalah syarat yang beliau tentukan. Jika ingin bergabung harus siap merangkul bahkan mereka yang kalah, jika kita diberikan amanah oleh rakyat,” jelas Saras.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Irfan Teguh Pribadi