tirto.id - Hari buruh internasional atau disebut May Day, menjadi simbol perjuangan bagi kaum buruh. Peringatan ini, menjadi titik balik momentum buruh menyuarakan hak-hak yang belum terpenuhi. Salah satunya adalah masalah kesejahteraan.
Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Sunarno, mengatakan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah selama ini belum berpihak pada buruh. Kondisi kaum buruh saat ini, bahkan menjadi lebih parah pasca disahkannya Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.
“Secara umum, terdapat beberapa masalah krusial pada UU Cipta Kerja sehingga berdampak buruk pada kesejahteraan kaum buruh,” ujar dia kepada reporter Tirto, Selasa (30/4/2024).
Sunarno mengatakan, salah satu tuntutan dari 19 poin akan dibawa oleh KASBI dan kawan-kawan adalah meminta pemerintah memberlakukan upah layak nasional secara adil dan bermartabat. Sebab, dia menilai sistem pengupahan dalam UU Cipta Kerja berlaku belum mencerminkan upah layak.
Menurut dia, sejak 2021 usai Omnibus Law Cipta Kerja diberlakukan, pemerintah justru menghapuskan variabel kebutuhan hidup layak sebagai pertimbangan dalam penetapan upah minimum. Penghapusan ini secara tidak langsung berdampak pada bergesernya konsep perlindungan pengupahan secara luas.
“Sehingga kenaikan upah tidak akan pernah mencapai kebutuhan hidup layak,” ujar dia.
Dia mengatakan, sistem pengupahan digunakan pemerintah saat ini menggunakan tiga variabel sebagaimana merujuk Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 yang direvisi menjadi PP Nomor 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan. Dalam menetapkan upah, pemerintah mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu dengan rumus x, yang justru dinilainya mengurangi nilai angka upah buruh.
“Pengurangan upah buruh yang paling mencolok adalah terkait upah sektoral yang sudah tidak diberlakukan lagi sejak 2021 dan tidak ada kenaikan lagi hingga sekarang,” ujar dia.
Masalah upah minimum ini juga menjadi atensi dari Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (ASPEK) Indonesia, Mirah Sumirat. Ia menyayangkan ada beberapa aturan main dalam UU Cipta Kerja yang justru dihapus dalam menetapkan upah minimum. Salah satunya yakni hak berunding untuk menetapkan upah.
“Pertama, di dalam penetapan upah minimum itu sendiri diminimalkan malah cenderung dihilangkan hak berunding untuk menetapkan upah minimum. Maka dari itu fungsi dewan pengupahan kota dan provinsi dan juga nasional cenderung ditiadakan,” ujar dia kepada Tirto, Selasa (30/4/2024).
Sejalan dengan itu, Presiden Partai Buruh yang juga Presiden KSPI, Said Iqbal, menyampaikan setidaknya ada dua tuntutan utama yang diserukan dalam aksi May Day 2024 di seluruh Indonesia. Pertama, mencabut Omnibus Law UU Cipta Kerja dan HOSTUM; kedua, hapus outsourcing, tolak upah murah.
“Adapun alasan buruh menolak aturan tersebut, adalah, pertama, tentang upah minimum yang kembali pada konsep upah murah,” ujar dia dalam pernyataannya, Selasa (30/4/2024).
Jaminan Kepastian Kerja & Kekhawatiran PHK
Di luar dari persoalan upah layak, sejumlah elemen buruh juga menyuarakan tuntutan terkait dengan fleksibilitas tenaga kerja. Omnibus Law Cipta Kerja dinilai KASBI telah menghilangkan jaminan kepastian kerja, yaitu dengan bertambahnya jangka waktu perjanjian sistem kerja kontrak atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
Sunarno mengatakan, ketentuan batas waktu maksimal dalam PKWT yang semula (UU 13/2003) maksimal paling lama 3 tahun dengan satu kali perpanjangan kontrak 2 tahun, dengan tambahan maksimal 1 tahun. Namun, sekarang perjanjian kerja kontrak menjadi maksimal hingga 5 tahun.
“Artinya dengan durasi kontrak kerja yang panjang tersebut, maka buruh semakin tidak memiliki jaminan kepastian kerjanya alias sulit diangkat menjadi pekerja tetap atau Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT),” ujar dia.
Hal ini diperkuat dengan adanya PP Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), alih daya, waktu kerja dan istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Dia khawatir, dengan adanya fleksibilitas sistem kerja kontrak maupun outsourcing pasca Omnibus Law Cipta Kerja, maka secara otomatis pemutusan hubungan kerja (PHK) kaum buruh menjadi lebih mudah.
“Ini karena proses PHK bisa hanya melalui pemberitahuan pengusaha kepada buruh tanpa didahului dengan perundingan,” ujar dia.
Tidak hanya itu, masalah lainnya adalah soal pengurangan hak pesangon kaum buruh. Di mana perhitungan sebelumnya 2 x PMTK bisa mencapai 32 bulan gaji. Saat ini maksimal hanya 1,75 PMTK dengan maksimal perhitungan 25 bulan gaji, yaitu pesangon 19 bulan gaji ditambah 6 bulan gaji diambil dari JKP (Jaminan Kehilangan Pekerjaan) berdasarkan Peraturan Pemerintah No 36.
“Bahkan pengurangan hak pesangon buruh yang di-PHK dengan alasan perusahaan merugi tanpa dilakukan metode audit berdasarkan ketentuan hukum dan perusahaan tidak tutup, maka pesangon buruh yang sebelumnya sebesar 2 PMTK kini dikurangi menjadi hanya 1 PMTK,” ujar Sunarno.
Sementara terkait PHK karena perusahaan merugi dan tutup, hak pesangon buruh yang sebelumya 1 PMTK dikurangi menjadi hanya 0,5 PMTK. Secara sosiologis-empiris, menurut KASBI, pengaturan seperti ini sangat merugikan pekerja karena ketimpangan antara pekerja dan pengusaha membuat pekerja tidak memiliki posisi tawar yang cukup dalam melakukan perundingan dua arah secara berkeadilan.
Respons Pemerintah
Di luar dari berbagai tuntutan buruh, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Kemnaker, Indah Anggoro Putri, justru mengajak agar seluruh elemen buruh dapat merayakan May Day 2024 dengan rasa syukur, gembira, suka cita. Dia juga meminta mereka agar semangat memperjuangkan kesejahteraan melalui peningkatan kompetensi dan keahlian.
“Kami yakini pekerja atau buruh yang kompeten akan memiliki produktivitas dan daya saing yang bagus/tinggi di pasar kerja, yang akhirnya akan berpengaruh pada peningkatan kesejahteraan pekerja,” jelas dia kepada Tirto, Selasa (30/4/2024).
Sementara, terkait dengan aspirasi serikat pekerja mengenai pencabutan UU Cipta Kerja dan HOSTUM, menurut dia, adalah bagian daripada hak para serikat pekerja.
“Silakan suarakan dan sampaikan aspirasi secara sopan, elegan, dan tidak mengganggu kamtibmas,” pesan dia.
Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, melihat dalam konteks hari buruh, sistem ketenagakerjaan di Indonesia memang masih menghadapi sejumlah tantangan yang perlu diselesaikan. Salah satu isu utama adalah dominasi tenaga kerja berpendidikan rendah, menunjukkan rendahnya kualitas tenaga kerja di Indonesia.
“Oleh karena itu, peningkatan keterampilan menjadi sangat penting, termasuk membangun lingkungan pengembangan keterampilan yang efektif,” ujar dia.
Selain itu, masalah penyerapan tenaga kerja juga menjadi perhatian utama. Salah satu solusinya adalah meningkatkan pendidikan dan keterampilan serta memperbaiki lingkungan pengembangan keterampilan.
“Di sini, pemerintah, perguruan tinggi, dan industri perlu berkolaborasi untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja,” ujar dia.
Perlindungan tenaga kerja, lanjut Yusuf, juga menjadi hal penting. Pemerintah telah menetapkan berbagai jenis perlindungan, termasuk perlindungan hukum, kesehatan, keselamatan kerja, dan upah. Namun, perlindungan untuk tenaga kerja migran tetap menjadi perhatian, termasuk masalah regulasi terkait tenaga kerja berdokumen.
“Selain itu, perlindungan kerja juga menjadi fokus, terutama terkait pekerjaan kontrak dan outsourcing yang belum memberikan jaminan dan perlindungan yang memadai bagi buruh,” ujar dia.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz