tirto.id - Sudah berkali-kali Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluh sebab banyak warga Indonesia berobat ke luar negeri. Sejak 2021, sedikitnya lima kali presiden mengeluhkan hal yang sama.
Teranyar, sambatan serupa diungkap Jokowi saat berpidato dalam Rapat Kerja Kesehatan Nasional 2024 di ICE BSD, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (24/4/2024).
Presiden kembali menyampaikan, sekitar satu juta warga Indonesia berobat ke luar negeri. Mereka berobat ke negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Juga ke sejumlah negara lain seperti Jepang, Korea Selatan, Eropa, dan Amerika Serikat.
Karena hal ini, menurut Jokowi, devisa negara kecolongan karena ada pergerakan modal keluar (capital outflow) senilai triliunan rupiah.
“Kita kehilangan 11,5 miliar dolar AS. Itu kalau dirupiahkan 180 triliun hilang,” kata Jokowi.
Presiden minta penyebab dari keadaan ini disikapi dan persoalan yang menjadi kendala segera diselesaikan. Jokowi menengarai persoalan turut dipengaruhi kemampuan produksi bahan baku farmasi secara mandiri di Tanah Air yang masih perlu ditingkatkan.
“Karena warga kita tidak mau berobat di dalam negeri dan pasti ada sebabnya, kenapa nggak mau berobat di dalam negeri ini? Persoalannya harus diselesaikan,” ujar Jokowi.
Lagi-lagi pemerintah membaca fenomena ini dari kacamata angka-angka dan untung-rugi. Persoalan kesehatan yang sistemik pun luput ditengok.
Alasan orang berobat ke luar negeri tentu bermacam-macam dan hak mereka mendapatkan pengobatan terbaik. Namun, menyederhanakan masalah karena merasa devisa negara digarong, tak akan membenahi masalah pelayanan kesehatan kita.
Associate Professor Public Health dari Monash University Indonesia, Grace Wangge, berpendapat cara pandang pemerintah dalam menanggapi fenomena warga berobat ke luar negeri belum tepat.
Hak mendapatkan pelayanan kesehatan merupakan hak asasi manusia. Maka itu, setiap orang berhak memilih dan menentukan ke mana dia mencari layanan kesehatan terbaik bagi permasalahannya.
Masalahnya, solusi pemerintah paling depan pada fenomena ini justru dengan menggenjot pariwisata medis (medical tourism). Hal ini membuat fokus pembenahan justru pada tetek bengek soal pelesiran. Padahal, banyak pasien ke luar negeri karena betul-betul mencari kesembuhan atas penyakit yang mereka derita.
“Bukan karena senang-senang mau wisata, tapi karena akses layanannya lebih cost effective dan nyaman buat mereka,” kata Grace kepada reporter Tirto, Jumat (26/4/2024).
Wisata medis memang disediakan pemerintah untuk menggaet warga yang berobat ke luar negeri sambil berlibur. Misalnya dengan pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Sanur. Investasi wisata medis juga digenjot di daerah lain seperti Medan, Malang, dan Sulawesi Utara, sebagai kawasan layanan kesehatan prima.
“Orientasinya selalu hitung berapa yang di-spend oleh pasien di luar negeri, tidak berhitung berapa quality of life yang dihasilkan oleh pasien kalau mendapat pengobatan yang sesuai,” ujar Grace.
Karena terfokus pada angka devisa imbas pasien berobat ke luar negeri, pemerintah dinilai jadi hilang fokus. Di negara lain, kata Grace, kehadiran pariwisata medis tentu untuk menggaet wisatawan dari luar negeri, sebagaimana warga kita terbang ke sana.
Namun yang diniatkan pemerintah, justru pariwisata medis dibangun untuk mengamankan warga sendiri agar tidak melancong ke luar negeri.
“Konsepnya pun malah jadi medical wellness, misalnya menawarkan orang medical check up di Bali. Ada juga yang menampilkan produk eksperimental seperti stem cell therapy. Sementara iklan medical tourism dari negara tetangga tidak berkurang juga,” ungkapnya.
Grace mengatakan, pemerintah seharusnya mencari akar masalah dari fenomena ini. Menurutnya, di Kanada orang melakukan medical tourism karena ada antrean panjang ketika ingin mendapat layanan kesehatan. Sementara Indonesia, menurut dia, masih kekurangan fasilitas, terutama untuk melakukan diagnosis dini. Sehingga banyak pasien datang dengan kasus lanjut dan membutuhkan penanganan kompleks.
“Ingat kesehatan itu tidak berdiri sendiri. Fasilitas penunjang untuk RS dan nakes yang bertugas harus dilengkapi. Standar gaji dan insentif harus dipenuhi, jangan cuma bangunan yang dipikirkan,” terang Grace.
Kesehatan Warga Dijamin Undang-Undang
Ketua Umum Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI), Mahesa Paranadipa, menegaskan bahwa kesehatan merupakan hak fundamental rakyat yang dilindungi oleh konstitusi. Hal ini terdapat dalam UUD 1945. Maka itu, pendekatan pemerintah yang melihat sektor kesehatan masih dengan perspektif untung-rugi perlu diubah.
“Jadi kesehatan itu bukan seperti barang yang diperdagangkan, apakah negara untung atau rugi ketika bicara kesehatan rakyatnya. Kalau bicara untung rugi, maka mandat konstitusi dianggap sebagai beban negara. Harusnya itu dipenuhi tanpa harus melihat kalkulasi,” kata Mahesa kepada reporter Tirto, Jumat (26/4/2024).
Menurut Mahesa, paradigma yang dibangun saat ini masih berfokus mengobati orang sakit sehingga solusi yang hadir bersifat kuratif.
“Seharusnya pemerintah fokus dengan upaya promotif-preventif dan meningkatkan pelayanan di Indonesia. Harusnya mikir jangan sampai orang kita ke RS, jangan sampai orang kita masuk puskesmas, karena coveran pelayanan kesehatan kita minim,” ujarnya.
Di sisi lain, penguatan sumber daya manusia dan pelayanan kesehatan mesti terus ditingkatkan. Kementerian Kesehatan dan insan kesehatan tidak perlu saling tuding sehingga dapat berkolaborasi menemukan solusi. Penguatan layanan dan aksesibilitas yang membuat pasien nyaman serta yakin berobat di dalam negeri, perlu diteruskan.
“Peningkatan layanan kesehatan di RS, klinik, dan puskesmas diperlukan supaya saat orang datang [berobat], mereka ditangani dengan layanan yang bermutu,” kata Mahesa.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Tjandra Yoga Aditama, menilai ada persepsi umum bahwa pengobatan di luar negeri lebih bagus daripada di dalam negeri. Khusus untuk pengobatan, kata dia, hal ini dipengaruhi oleh berita-berita yang dikesankan luar negeri lebih unggul.
Di sisi lain, kata dia, untuk beberapa pemeriksaan dan pengobatan tertentu, biaya di negara tetangga lebih murah dari Indonesia. Tjandra mencontohkan ketika masih bertugas di India, alat kesehatan dan obat di sana lebih terjangkau jika dibandingkan di Indonesia.
“Tentang kemampuan dokter dan tenaga kesehatan lain, maka kita di Indonesia secara umum sama baiknya dengan negara tetangga,” terang Tjandra.
Menurutnya, terkait cepatnya pelayanan kesehatan di negara tetangga, yang perlu dibenahi di Indonesia adalah manajemen yang lebih baik. Termasuk koordinasi antartenaga dan unit kerja di institusi pelayanan kesehatan.
“Tentu juga disertai keramahan pelayanan serta penerapan prinsip dasar hospitality yang baik,” ujarnya.
Dia menilai perlu ada kebijakan yang membuat harga obat-obatan dan alat kesehatan di dalam negeri lebih terjangkau. Juga perlu ada keberpihakan kebijakan pemerintah untuk insan kesehatan agar dapat menjalankan tugas dan taraf kehidupan lebih baik.
“Saling menyalahkan dan atau membela diri tidak akan menyelesaikan masalah,” ungkap Tjandra.
Langkah Pemerintah
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, mengakui bahwa iklan-iklan layanan pariwisata medis luar negeri masih gencar menyasar masyarakat Indonesia. Ditambah, kata dia, ada beberapa layanan kesehatan di Indonesia yang belum merata di sejumlah daerah.
“Misalnya kayak kanker, jantung kateter dan coiling itu kan ternyata belum semua penyakit bisa. Misalnya di Aceh atau di Sumatra Utara kalau mau [operasi] jantung atau kemoterapi kanker dia harus ke Jawa untuk rujukannya,” ujar Nadia kepada reporter Tirto, Jumat (26/4/2024).
Lebih lanjut, Nadia menilai ada tantangan geografis. Terdapat sejumlah daerah di Indonesia yang lebih dekat ke negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Akhirnya mereka memilih berobat ke luar negeri dibanding ke Jawa karena ongkosnya lebih murah.
Menghadapi fenomena ini, Kemenkes melakukan program pengampuan di 700 rumah sakit umum daerah. Pengampuan ini dalam rangka meningkatkan sarana-prasarana di rumah sakit daerah.
Selain itu, program ini juga menyasar peningkatan kualitas SDM kesehatan agar memiliki keterampilan dan hospitality yang makin mumpuni.
“Meningkatkan ilmu dan SDM, karena kalau alat canggih tidak ada yang mengoperasikan sama saja. Terutama untuk penanganan kanker, stroke dan juga ginjal. Ini yang menyebabkan kematian dan angka pengobatannya paling tinggi,” jelas Nadia.
Selain itu, pemerintah juga membangun rumah sakit vertikal di luar Jawa agar layanan kesehatan tidak sentralistik di Jawa. Nadia menyebut, di antaranya dibangun di IKN, Ambon, Papua, Makassar, dan Kupang,
“Ini akan menambah jumlah layanan kesehatan, pengobatan, ataupun tindakan bedah yang tadinya orang pergi ke Jawa jadi lebih dekat dan tidak harus mengantre,” ungkapnya.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Irfan Teguh Pribadi