tirto.id - Presiden sebagai kepala negara memiliki sumber daya dan kewenangan yang mampu mendorong reformasi institusi kepolisian. Maka tidak heran harapan besar muncul di pundak Presiden Prabowo Subianto sebagai panglima tertinggi Kepolisian Republik Indonesia alias Polri untuk mendorong terciptanya pembenahan pada institusi penegak hukum di Indonesia.
Sayangnya, pernyataan Presiden baru-baru ini menimbulkan pertanyaan terkait pemahaman atas kritik masyarakat terhadap institusi kepolisian. Di acara sarasehan ekonomi di Menara Mandiri, Jakarta Selatan, Selasa (8/4/2025) lalu, Prabowo menyebut bahwa polisi sering kali “dicaci-maki”. Tidak jelas betul apakah yang dimaksud Prabowo soal cacian tersebut adalah kritik publik yang menyasar Polri imbas berbagai kelakuan anggota polisi yang tak pantas atau alasan lainnya.
Namun pernyataan lanjutan dari Presiden terasa lebih janggal lagi. Polisi, ungkap Prabowo, sering juga disalah-salahkan, padahal “mereka itu diterik siang matahari tanpa kita sadar mereka bekerja keras menjaga kita, mengatur lalu lintas.”
Ucapan tersebut mungkin disampaikan Prabowo dalam konteks memuji kinerja pemerintah–termasuk TNI/Polri–saat mengawal jalannya mudik di masa libur Lebaran tahun ini. Hal itu memang sudah menjadi tugas dari kepolisian dan cukup patut dipuji. Tapi, prestasi mengatur lalu lintas sama sekali tidak dapat menihilkan atau mengabaikan kritik publik terhadap institusi polisi yang kinerjanya tengah disorot.
Tindak pidana hingga pelanggaran etika yang dilakukan anggota polisi masih terus terjadi. Kekerasan polisi dalam menangani massa aksi atau demonstrasi masyarakat sipil tak sedikit pun mengalami perubahan. Terus terjadi dan berlangsung di berbagai daerah. Teranyar, aksi demonstrasi tolak UU TNI di berbagai daerah diwarnai dengan tindakan represif dari polisi.
Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, memandang ucapan Presiden Prabowo seolah tidak memahami masalah yang terkait dengan institusi kepolisian saat ini. Sebab, kata Ardi, kritik publik sudah membanjiri Polri, mulai dari penggunaan kekerasan berlebih, penyiksaan tahanan, pungli anggota polisi serta penyalahgunaan kewenangan, sampai indikasi pelanggaran hak asasi manusia.
Sehingga, Ardi melihat Prabowo belum punya visi-misi untuk memperbaiki institusi kepolisian di era pemerintahannya. Ini amat fatal, karena perbaikan institusi Polri merupakan hal yang perlu mendapatkan dukungan dan kewenangan seorang pemimpin negara.
“Prabowo harus mendengar langsung suara masyarakat bawah, para akademisi dan praktisi terkait keluhan mereka terhadap institusi kepolisian. Jika tidak, situasi ini terus berlangsung,” kata Ardi kepada wartawan Tirto, Rabu (9/4/2025).
Perbaikan institusi kepolisian idealnya dilakukan dengan transparan dan konsisten. Selama ini, kata Ardi, evaluasi internal kepolisian baru bersifat kasuistik, sehingga pelanggaran yang terjadi cenderung berulang.
Seharusnya ada evaluasi dan kebijakan yang dibuat untuk mencegah berulangnya berbagai pelanggaran atau penyimpangan yang dilakukan oleh polisi. Perbaikan tersebut mencakup aspek instrumental (regulasi), struktural (institusi), hingga kultural atau budaya di kepolisian yang masih cenderung menggunakan pendekatan kekerasan.
Presiden sebetulnya pihak yang ikut bertanggung jawab secara keseluruhan dalam berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat dan aparat penegak hukum negara. Presiden tidak bisa sekadar menerima laporan dari bawahan, sementara kritik dan suara-suara dari publik justru diabaikan.
“Presiden harus mampu menyerap suara dan aspirasi publik, memerintahkan bawahannya (para menteri dan pembantunya) memperbaiki berbagai persoalan,” ucap Ardi.
Laporan dari Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat, periode Juli 2023-Juni 2024, temuan peristiwa kekerasan hingga dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan kepolisian mengalami peningkatan. Setidaknya terdapat 645 peristiwa kekerasan yang melibatkan anggota Polri.
Dari 645 peristiwa kekerasan tersebut, menyebabkan 759 korban luka dan 38 korban tewas. Selain memotret peristiwa kekerasan secara umum, sepanjang Juli 2023-Juni 2024, KontraS mendokumentasikan sebanyak 35 peristiwa extrajudicial killing yang menewaskan 37 orang. Sementara itu, ada 136 kasus kekerasan oleh polisi tercatat selama 100 hari pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Berdasarkan data internal Polri, sepanjang tahun 2024, tercatat ada 2.341 polisi melakukan pelanggaran disiplin. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam paparan rilis akhir tahun (RAT) pada Desember tahun lalu menyebut bahwa Polri telah mengeluarkan 3.014 putusan sidang disiplin, 1.070 penempatan khusus (patsus), 749 teguran tertulis, 428 penundaan pendidikan, 286 penundaan pangkat, 221 demosi, dan 260 putusan lainnya.
Selain itu, Polri sudah mengeluarkan 4.572 putusan Kode Etik Profesi Polri (KEPP). Dengan rincian: 525 demosi, 414 pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH), 325 pembinaan, dan 127 penundaan pangkat, serta 98 penundaan pendidikan, dan 3.083 putusan lainnya.
Standar Penilaian Menurun
Peneliti bidang kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, menilai melihat pernyataan presiden Prabowo soal cacian terhadap polisi, tampak masyarakat memang tidak bisa berharap terlalu banyak. Ia memprediksi, akan lebih banyak lagi gimik pencitraan yang lebih dikedepankan oleh pemerintah.
Ini diperparah dengan kultur birokrasi yang senang puji-pujian dan apresiasi presiden. Pada akhirnya, kerja-kerja insidentil malah digaungkan sebagai prestasi puncak dari kinerja yang sangat kompleks. Padahal, kata Bambang, sebenarnya bukan prestasi, melainkan tanggung jawab harian yang dicitrakan seolah-olah luar biasa.
“Ini menghilangkan problem-problem lain yang menjadi keluhan masyarakat, seperti pungli di jalanan yang semakin marak, arogansi dari aparat di jalanan dan lainnya,” ucap Bambang kepada wartawan Tirto, Rabu (9/4/2025).
Pernyataan apresiatif dari Presiden Prabowo soal polisi menjaga lalu lintas itu bahkan dinilai Bambang sebagai suatu langkah mundur. Hal itu diibaratkannya seperti memberi hadiah kepada anak yang akhirnya mau makan atau anak yang mau belajar. Padahal semua orang tahu, bahwa aktivitas makan atau belajar itu sudah menjadi keharusan manusia.
“Dengan pola apresiasi pada kinerja yang sudah seharusnya dilakukan, standar prestasi akan menurun. Tak heran bila ke depan akan muncul trend ABS [asal bapak senang],” ujar Bambang.Sebetulnya, bukan tak ada sama sekali pesan yang disampaikan Prabowo terhadap institusi polisi. Misalnya, ketika Rapat Pimpinan (Rapim) TNI-Polri Tahun 2025 yang digelar di The Tribrata, Jakarta, Kamis, 30 Januari 2025 lalu. Prabowo berpesan bahwa keberhasilan dan kegagalan negara terlihat dari kinerja TNI-Polri menjalankan tugas.Presiden menilai tentara dan polisi memiliki peran strategis dalam menjaga kedaulatan negara, sehingga jika kedua institusi ini gagal, negara bisa dikatakan gagal. Prabowo mengingatkan bahwa kewenangan besar TNI-Polri merupakan amanah besar dari rakyat.
“Dan dengan kepercayaan yang demikian besar, dengan menyerahkan kekuasaan kepada saudara-saudara, diharapkan, dituntut dari saudara-saudara pengabdian yang setinggi-tingginya,” ujar Prabowo.Presiden juga baru-baru ini berkomentar soal polemik rencana revisi UU Polri yang diisukan akan bergulir di Senayan. Prabowo berkomentar soal kekhawatiran publik terkait rancangan RUU Polri yang dapat memperluas kewenangan polisi. Prabowo menegaskan bahwa polisi membutuhkan kewenangan yang cukup dalam menjalankan tugas memastikan keamanan dan ketertiban, di luar itu, menurutnya kewenangan polisi tidak perlu ditambah-tambahkan.“Kalau polisi sudah diberi wewenang yang cukup untuk melaksanakan tugasnya, untuk memberantas kriminalitas, memberantas penyelundupan, narkoba, dan sebagainya, melindungi masyarakat, keamanan tertib, saya kira cukup. Kenapa kita harus mencari-cari [kewenangan lain]?” kata Prabowo dilansir Antaranews.Rencana RUU Polri memang dikhawatirkan organisasi masyarakat sipil berpotensi membuat polisi menjadi lembaga superbodyyang mengancam hak dan kebebasan berekspresi dari masyarakat. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian mencatat, draf RUU Polri memuat sejumlah pasal bermasalah dengan substansi perluasan kewenangan kepolisian.
Misalnya, Pasal 16 Ayat 1 Huruf q dalam draf revisi UU Polri memperkenankan Polri melakukan pengamanan, pembinaan, dan pengawasan ruang siber. Kewenangan ruang siber ini dapat disertai penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan memperlambat akses ruang siber untuk tujuan keamanan dalam negeri.
Rancangan revisi UU Polri juga gagal menyoroti masalah fundamental yang terjadi di institusi kepolisian. Salah satunya yakni, lemahnya mekanisme pengawasan dan kontrol publik terhadap kewenangan kepolisian yang begitu besar (oversight mechanism) dalam penegakan hukum, keamanan negara, maupun pelayanan masyarakat.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Rina Nurjanah