Menuju konten utama

Potensi Bahaya Perluasan Wewenang Penyadapan di RUU Polri

Wacana revisi UU Polri menimbulkan kekhawatiran, terutama terkait pasal tentang penyadapan. Apa saja yang dipersoalkan?

Potensi Bahaya Perluasan Wewenang Penyadapan di RUU Polri
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian Indonesia bersama KontraS, dan beberapa lembaga masyarakat menggelar aksi menolak RUU Polri di Bundaran HI, Jakarta, Minggu (30/6/2024). (Tirto.id/Faesal Mubarok)

tirto.id - Belum selesai penolakan terhadap UU TNI, kini kita dihadapkan pada narasi revisi UU Polri yang dinilai tak kalah bermasalah.

Kekhawatiran akan revisi UU Polri yang juga serupa, draft revisi yang tak terbuka ke publik, ini muncul setelah beredar tangkapan gambar Surat Presiden (surpres) penunjukan wakil pemerintah untuk membahas revisi UU Polri bertanda tangan Prabowo. Dalam salinan gambar yang diperoleh Tirto, terlihat surpres tersebut ditandatangani Prabowo pada 13 Februari 2025.

Supres RUU Polri

Supres RUU Polri yang menyebar di media sosial. FOTO/Istimewa

Namun Ketua DPR RI, Puan Maharani, membantah informasi yang beredar di dunia maya tersebut. Dia mengatakan bahwa pimpinan DPR hingga saat ini belum menerima surat presiden (Surpres) revisi Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia atau UU Polri. Sehingga, dia membantah akan ada pembahasan RUU Polri di masa sidang mendatang usai reses.

Puan mengatakan bahwa foto maupun dokumen Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang beredar, bukan merupakan dokumen resmi. Hal ini juga menjadi penegasan bahwa hingga kini belum ada surpres maupun DIM yang tiba di tempatnya.

Terlepas dari polemik akan atau tidaknya revisi UU Polri dilakukan pembahasan dalam waktu dekat, terdapat sejumlah pasal dalam draf RUU Polri yang menyebar ke publik yang dianggap bermasalah.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian yang terdiri dari Imparsial, YLBHI, dan banyak organisasi nonpemerintah lain mencatat bahwa naskah revisi UU Polri memuat setidaknya sembilan catatan kritis terhadap sejumlah pasal.

“Revisi UU Polri gagal menyoroti masalah fundamental yang terjadi di institusi kepolisian selama ini. Salah satunya, gagal menyoroti kelemahan mekanisme pengawasan dan kontrol publik terhadap kewenangan kepolisian yang begitu besar (oversight mechanism) dalam ikhwal penegakan hukum, keamanan negara, maupun pelayanan masyarakat,” begitu pernyataan dari Koalisi Masyarakat Sipil dalam keterangan resmi mereka.

Salah satu yang mendapat perhatian secara khusus dan juga banyak menjadi perbincangan publik adalah pasal soal penyadapan. Ketentuan tersebut terdapat di Pasal 14 ayat (1) huruf o revisi UU Polri, yang berisi sebagai berikut: “melakukan penyadapan dalam lingkup tugas Kepolisian sesuai dengan Undang-Undang yang mengatur mengenai penyadapan...”

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhamad Isnur, menyoroti pasal ini karena sangat rentan terjadi penyalahgunaan. “Padahal Indonesia, hingga saat ini belum memiliki suatu peraturan perundang-undangan mengenai penyadapan,” terang Isnur kepada Tirto, Selasa (25/3/2025) .

Selain perluasan kewenangan soal penyadapan, pasal tersebut juga akan menimbulkan disparitas dengan kewenangan serupa yang dimiliki oleh lembaga penegak hukum lainnya seperti KPK. UU KPK mengatur bahwa penyadapan hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan izin dari Dewan Pengawas KPK, sementara RUU Polri tidak mengharuskan anggota Kepolisian untuk mendapatkan izin terlebih dulu jika ingin melakukan penyadapan.

Senada dengan Isnur, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Bugivia Maharani juga menyoroti penyalahgunaan kewenangan penyadapan polri sangat besar. “Terlebih apabila tidak ada mekanisme pengawasan yang ketat mengenai hal ini,” terangnya kepada Tirto, Selasa (25/3/2025).

Rani, juga menyoroti mekanisme penyadapan yang belum memiliki payung hukum tersendiri. Dia khawatir kalau UU Penyadapan belum ada, maka pengaturannya akan secara sektoral oleh Polri dan tanpa landasan yang jelas.

Selain itu menurut dia, pemberian wewenang ini juga tidak jelas landasan dan urgensinya. “Apakah ditujukan dalam konteks penegakan hukum (pro justisia) atau tujuan-tujuan lain?” tambah dia.

Lebih lanjut menurut Rani, luasnya kewenangan penyadapan oleh Polisi akan berdampak pada hak privasi masyarakat. Secara khusus, menurut dia, terhadap kerja-kerja aktivisme dan pembela HAM.

Ada potensi pembungkaman, represi, dan kriminalisasi yang sangat besar dari poin penyadapan ini. Sebab polisi mendapat legitimasi untuk melakukan pengawasan massal terhadap masyarakat.

“Karena kewenangan ini, dapat memungkinkan Polri untuk mengawasi setiap gerak warga negara, tanpa ada yang mengawasi. Karena luasnya penafsiran terhadap kewenangan ini, interpretasi untuk dapat dilakukannya penyadapan tentu saja akan berdasarkan subjektif dari Polri itu sendiri,” terang dia.

Aksi Tolak RUU Polri

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian Indonesia bersama KontraS, dan beberapa lembaga masyarakat menggelar aksi menolak RUU Polri di Bundaran HI, Jakarta, Minggu (30/6/2024). (Tirto.id/Faesal Mubarok)

Terkait dengan fungsi penyadapan, rancangan UU Polri yang beredar di masyarakat juga memberi perluasan wewenang polisi untuk melakukan kegiatan intelijen keamanan (intelkam).

Pada Pasal 16B RUU Polri, terdapat pasal perluasan terhadap kewenangan Intelkam dengan memperbolehkan Polri melakukan penangkalan dan pencegahan terhadap kegiatan tertentu guna mengamankan kepentingan nasional.

“Tidak adanya definisi dan penjelasan mengenai istilah ‘kepentingan nasional’ yang dimaksud, berpotensi memungkinkan Polri untuk mengawasi setiap kegiatan warga negara yang bersuara kritis terhadap pemerintah atau siapapun dinilai perlu diawasi karena alasan ‘gangguan keamanan’,” tutur Isnur dari YLBHI.

Disamping itu pasal soal Intelkam juga berpotensi memberi ruang penyalahgunaan wewenang penggunaan kekuatan berlebih secara eksesif yang dalam praktiknya dapat mengarah kepada pelanggaran HAM.

Secara umum, Isnur dan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian beranggapan masih ada aturan lain yang lebih mendesak untuk masuk ke pembahasan seperti Revisi KUHAP, RUU PPRT, RUU Perampasan Aset, RUU Penyadapan, RUU Masyarakat Adat dan masih banyak lagi yang lainnya.

Sementara PSHK beranggapan tidak ada urgensi pembahasan revisi UU Polri jika tujuannya untuk perluasan kewenangan. Padahal masalah utama lembaga tersebut menurut mereka adalah transparansi dan pengawasan lembaga.

“Apabila hendak melakukan revisi UU Polri sudah seharusnya diselaraskan dengan agenda reformasi Polri, yang membatasi kewenangan hanya terbatas sebagai aparat penegak hukum, yang mana payung hukum utamanya ada dalam KUHAP,” ujar Rani.

Baca juga artikel terkait REVISI UU POLRI atau tulisan lainnya dari Alfons Yoshio Hartanto

tirto.id - News
Reporter: Alfons Yoshio Hartanto
Penulis: Alfons Yoshio Hartanto
Editor: Rina Nurjanah