tirto.id - Setelah mengesahkan RUU TNI menjadi UU TNI 2025, kini DPR RI sedang menggodok RUU Polri untuk merevisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Beberapa isi RUU Polri terbaru yang dimuat dalam laman resmi DPR mengandung poin-poin yang kontroversial. Berikut isi RUU Polri terbaru, dan daftar kontroversi yang berpotensi untuk ditolak publik.
RUU Polri merevisi beberapa pasal, namun ada beberapa pasal yang menimbulkan penolakan termasuk tambahan wewenang Polri dan juga batasan usia pensiun anggota Polri.
Isi RUU Polri Terbaru
Berdasarkan dokumen yang diunggah di laman https://berkas.dpr.go.id/ terdapat beberapa revisi UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri yang menjadi draf, seperti:
- Pasal 1 tentang ketentuan umum UU Polri
- Pasal 6 tentang peran dan fungsi Polri
- Pasal 7 tentang susunan organisasi dan tata kerja
- Pasal 9 tentang tugas Kapolri
- Pasal 10 tentang tugas pimpinan Polri
- Pasal 11 tentang pengangkatan dan pemberhentian anggota Polri
- Pasal 12 tentang jabatan fungsional Polri
- Pasal 14 tentang tugas pokok anggota Polri
- Pasal 16 tentang penyelenggaraan tugas Polri
- Pasal 20 tentang keanggotaan pada Polri
- Pasal 25 tentang pangkat anggota Polri
- Pasal 26 tentang gaji dan hak-hak lainnya anggota Polri
- Pasal 30 tentang Usia pensiun maksimum anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
- Pasal 35 tentang Pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia
- Pasal 36 tentang tanda pengenal
- Pasal 37 tentang Lembaga kepolisian nasional
- Pasal 39 tentang Keanggotaan Komisi Kepolisian Nasional
Daftar Pasal Kontroversi dalam RUU Polri dan Alasan Ditolak
Mengutip laman Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) https://pshk.or.id/, terdapat beberapa pasal yang kontroversial dalam RUU Polri yang sedang dibahas DPR RI. Berikut uraiannya:
1. Pasal 16 ayat 1 dalam RUU Polri terdapat tambahan poin:
melakukan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan upaya perlambatan akses Ruang Siber untuk tujuan Keamanan Dalam Negeri berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika dan/atau penyelenggara jasa telekomunikasi;Poin ini menurut PSHK dianggap semakin mengecilkan ruang kebebasan berpendapat dan berekspresi publik, khususnya di isu-isu yang mengkritik pemerintah.
Ini juga berpotensi melanggar hak atas privasi setiap warga negara Indonesia.
Selain itu, sebenarnya Indonesia telah mempunyai badan yang mengatur masalah siber bernama Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Badan Sandi dan Siber Negara (BSSN).
2. Sisipan Pasal 16A dan 16B
Sisipan Pasal 16A, disebutkan jika Intelkam Polri dapat melakukan pengawasan intelijen. Tentu saja menurut PSHK, ini bisa saja membuat Intelkam Polri mempunyai kewenangan meminta data-data bersifat intelijen dari Badan Intelijen Nasional (BIN), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), serta Badan Intelijen Strategis TNI (BAIS).Sedangkan untuk sisipan Pasal 16B, menurut PSHK istilah “Kepentingan Nasional” yang tertulis tidak jelas. Hal ini berpotensi memungkinkan Polri untuk mengawasi setiap kegiatan warga negara dengan menyebut “Kepentingan Nasional”.
3. Pasal 14
Ayat 1 huruf (o)Yang berbunyi: melakukan penyadapan dalam lingkup tugas Kepolisian sesuai dengan Undang-Undang yang mengatur mengenai penyadapan.
PSHK menilai Polri mempunyai kewenangan melakukan penyadapan tanpa membutuhkan izin. Sementara KPK saja saat ingin melakukan penyadapan harus mendapatkan persetujuan dari Dewan Pengawas KPK.
Ayat 1 huruf (g)
Yang berbunyi: melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap Kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, penyidik lain yang ditetapkan oleh Undang-Undang, dan bentuk pengamanan swakarsa;
Polri, menurut PSHK berpotensi menjadi penyidik yang mempunyai kekuatan super power.
Pengamanan Swakarsa atau Pam Swakarsa sendiri bisa jadi ladang untuk “bisnis keamanan” sampai beresiko pelanggaran HAM.
Selain itu dalam draf Pasal 14, Polri juga diberi kewenangan tambahan yang tidak jelas batasannya.
4. Pasal 30 Ayat 2
Yang berbunyi: Batas usia pensiun Anggota Polri yaitu:- 58 (lima puluh delapan) tahun bagi bintara dan tamtama;
- 60 (enam puluh) tahun bagi perwira; dan
- 65 (enam puluh lima) tahun bagi pejabat fungsional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan bagi jabatan tersebut.
PSHK juga menyoroti bagaimana pembahasan mengenai RUU Polri ini terkesan tergesa-gesa dan minimnya partisipasi rakyat di dalam pembahasannya.
Penulis: Prihatini Wahyuningtyas
Editor: Dipna Videlia Putsanra