tirto.id - Kapoksi Komisi 8 PDI Perjuangan DPR RI, Selly Andriany Gantina, mengkritisi buruknya mentalitas anggota polisi. Sebab, di tahun 2025 beragam kasus kekerasan terhadap anak meningkat, beberapa di antaranya hingga meninggal dunia.
Di sisi lain, Polisi yang semestinya menjadi pilar penegak hukum malah menjadi pelaku. Kepercayaan masyarakat menurun hingga memunculkan sikap antipati, sumpah Tribrata yang seharusnya menjadi pedoman luntur karena ulah sebagian oknum.
“Fenomena ini ibarat gunung es, hanya terlihat pada atasnya, tetapi saya yakin masih banyak di bawah yang belum terbuka satu per satu,” kata Selly Andriany Gantina mengingatkan visi Ketua DPR RI Puan Maharani yang konsen terhadap masalah Perempuan dan Anak melalui siaran persnya, Rabu (26/3/2025).
Seolah terlihat serempak, kekerasan polisi yang diungkapkan masyarakat begitu tak terkendali mulai dari bintara hingga perwira yang dilakukan Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma dengan kasus pencabulan dan pornografi.
Terbaru, lanjut Selly, terjadi di Semarang ketika Brigadir Ade Kurniawan (AK) anggota Ditintelkam Polda Jateng menjadi tersangka karena dilaporkan membunuh anak kandungnya yang masih bayi.
Selaras dengan itu, Komisi Yudisial juga menyoroti vonis bebas Hakim PN Jayapura terhadap terdakwa Brigadir Alfian Fauzan Hartanto (AFH), anggota Polres Keerom Polda Papua yang melakukan pencabulan anak.
Merujuk dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), Undang-Undang Nomor Nomor 2 Tahun 2022 tentang Kepolisian, serta sumpah Tribrata bagi setiap anggota Polri. Semestinya kekerasan terhadap anak itu tidak terjadi.
Karenanya, Selly menyarankan menjaga mentalitas harus dimiliki setiap anggota agar bisa tetap menjaga marwah institusi Polri. Penegakan hukum dengan menjatuhkan hukuman seberat-berat demi efek jera harus dilakukan bagi siapapun yang melanggar khususnya kekerasan terhadap anak.
“Dengan profesinya sebagai penegak hukum. Saya rasa hukuman seumur hidup saja belum cukup. Sederhananya, bagaimana bisa penegak hukum malah menjadi pelanggar, bahkan pelaku,” kata Selly sembari mengatakan kekerasan terhadap anak memicu trauma psikologis terhadap anak yang kemungkinan akan membekas seumur hidupnya.
Berkaca pada data KemenPPA hingga 14 Maret, Mantan Bupati Cirebon itu menyoroti bagaimana tindak kekerasan terhadap anak masih tinggi. Dari 5.118 kasus terhadap sepanjang 2025, 2.163 di antara atau 42 persen merupakan kekerasan seksual.
Data demikian pun kian jauh dari visi Presiden Prabowo melalui Asta Cita-nya. Sebab kekerasan terhadap anak bisa menjadi hantu untuk menciptakan Sumber Daya Manusia yang berkualitas di masa mendatang sebagaimana pada poin 2.
“Jadi saya pikir kita jangan pernah mimpi menciptakan generasi emas. Kalo supremasi hukum aja masih belum tercipta di institusi penegak hukumnya,” pungkas Selly.