Menuju konten utama

Geger Kasus Mutilasi, Kesehatan Jiwa Harus Serius Ditangani

Stigmatisasi dan menganggap kesehatan jiwa sebagai tabu hanya menjauhkan orang dari peluang mendapatkan penanganan yang profesional dan kesembuhan.

Geger Kasus Mutilasi, Kesehatan Jiwa Harus Serius Ditangani
Polisi menggiring Tarsum tersangka kasus pembunuhan mutilasi saat menjalani pemeriksaan kejiwaan di Makopolres Ciamis, Jawa Barat, Senin (6/5/2024). ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/Spt.

tirto.id - Peringatan:

Artikel ini tidak ditujukan untuk menginspirasi melakukan tindakan serupa. Jika Anda merasakan gejala gangguan kejiwaan dengan kecenderungan berupa melukai diri dan individu lain, segera konsultasikan ke pihak-pihak profesional yang dapat membantu, seperti psikolog, psikiater, ataupun klinik kesehatan mental.

Kasus suami membunuh istrinya dengan sadis di Ciamis, Jawa Barat, pekan lalu, begitu membuat hati teriris.

Tidak cukup menghabisi nyawa korban berinisial Y (42), pelaku yang merupakan suami korban, TBD (51), juga tega memutilasi tubuh korban. Dalam potongan video viral yang menggemparkan media sosial, TBD bahkan menawarkan potongan jenazah korban ke para tetangga.

Polisi segera mencokok TBD dan mengurungnya ke dalam sel isolasi. Perkembangan terbaru kasus ini, pemeriksaan dokter kejiwaan terhadap pelaku menunjukkan ada indikasi gangguan kejiwaan berat dan tanda depresi.

Kasat Reskrim Polres Ciamis, AKP Joko Prihatin, menyatakan setelah dua hari menjalani pemeriksaan kejiwaan, diputuskan TBD bakal dirujuk ke rumah sakit jiwa (RSJ).

“Untuk kepentingan penyidikan, jadi harus ada observasi lebih lanjut untuk mendapatkan hasil visum psikologinya. Jadi harus dirujuk, tidak bisa sehari dua hari,” kata dia saat dikonfirmasi Tirto, Rabu (8/5/2024).

Kondisi pelaku dinyatakan sudah kooperatif menjawab pertanyaan dokter. Namun, dia kerap menyampaikan hal yang berubah-ubah. Joko mengemukakan, proses pidana kasus ini akan terus berlanjut meski pelaku dirujuk ke RSJ. Apabila hasil visum psikologi dari RSJ Cisarua keluar, penyidik baru akan mengevaluasi status hukum pada kasus mutilasi ini.

Dalam pemeriksaan, diketahui bahwa pelaku yang merupakan juragan ternak kambing, sempat melukai diri sendiri dengan cara membenturkan kepala ke tembok. Tindakan ini dilakukan pelaku beberapa hari sebelum melakukan aksi bengisnya kepada korban.

Menurut keterangan polisi, pelaku memiliki utang lebih dari Rp100 juta yang digunakan untuk membiayai usaha dan kebutuhan sehari-hari. Usaha ternak kambing pelaku disebut polisi tengah mengalami penurunan drastis. Sementara ini, polisi menduga pelaku mengalami depresi karena faktor kondisi ekonomi.

Apapun alasan di baliknya, tindakan keji pelaku tidak dapat dibenarkan dan perlu terus diusut aparat penegak hukum hingga korban mendapatkan keadilan, seraya tetap memeriksa kondisi kejiwaan pelaku.

Di sisi lain, kasus ini menjadi alarm pembangkit bahwa masalah gangguan kejiwaan tidak boleh dianggap sepele. Stigmatisasi dan menganggap kesehatan jiwa sebagai tabu hanya menjauhkan orang dengan gangguan mental mendapatkan penanganan yang profesional dan kesembuhan.

Psikolog klinis, Veronica Adesla, menegaskan bahwa orang dengan gangguan kejiwaan berat membutuhkan penanganan secara intensif dari profesional tenaga kesehatan mental baik psikiater maupun psikolog. Ini perlu dilakukan agar segera mendapatkan bantuan intervensi yang tepat untuk mendukung pemulihan diri.

“Hingga dapat kembali berfungsi dengan normal baik dalam berpikir, merasa, maupun berperilaku, terhubung kembali dengan sekitar, dan dapat kembali berfungsi menjalankan kesehariannya,” kata Vero kepada Tirto, Rabu (8/5/2024).

Vero menjelaskan, dalam kasus gangguan jiwa berat, seseorang memang dapat mengalami gangguan dalam berpikir jernih. Akan terjadi distorsi pikiran dan membuat keputusan yang tidak logis-rasional, sehingga terwujud ke dalam tindakan atau perilaku yang abnormal.

“Tidak wajar, patologis, bahkan membahayakan ataupun melanggar norma hukum,” sebut Vero.

Menurutnya, ada beberapa gejala gangguan kejiwaan berat yang perlu menjadi perhatian karena membutuhkan penanganan segera dari tenaga kesehatan jiwa profesional. Misalnya, muncul disfungsi keseharian yakni tidak mampu berfungsi melakukan kegiatan sehari-hari baik dalam bekerja, berelasi, atau menjaga dan merawat tubuh sendiri.

Selain itu, mengalami stres berat dan guncangan emosi kuat yang membuat tidak dapat berjarak dari emosi negatif kuat. Vero berujar, hal ini terasa seperti dikuasai emosi negatif dan atau muncul distorsi pikiran yang terpisah dari realita sehingga tidak mampu berpikir jernih. Kondisi ini sangat membutuhkan bantuan dari orang lain.

“Juga deviant atau kemunculan perilaku yang menyimpang, melanggar norma-norma hukum di masyarakat atau tidak wajar/tidak normal terjadi dari yang dialami di kebanyakan orang, dan tidak dapat diterima,” jelas Vero.

Dapat pula muncul gejala atau muncul risiko perilaku yang dapat membahayakan diri sendiri maupun orang lain. Maka itu, Vero menilai penting pemerintah melakukan penyuluhan untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat akan kesehatan mental.

“Termasuk juga mengenai apa yang dapat dilakukan oleh masyarakat dalam mendukung terciptanya lingkungan yang sehat mental, dan bagaimana untuk peka dan peduli terhadap sekitar tetangga kiri-kanan yang membutuhkan bantuan,” ujar Vero.

Dia menegaskan, orang dengan kondisi gangguan kejiwaan membutuhkan bantuan yang tepat, bukan malah dihakimi. Mereka tidak boleh dipersulit dan mendapatkan stigma negatif ketika mengakses layanan kesehatan jiwa profesional.

“Tanpa menghakimi, mengucilkan, mengabaikan ataupun memberikan stigma negatif yang malah hanya akan memperburuk [kondisi mereka],” terang Vero.

Pasien ODGJ Bekasi mengikuti Pemilu 2024

Sejumlah pasien ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa) Pondok Rehabilitasi Sosial Jamrud Biru didampingi pembina yang menggunakan kostum robot berbaris sebelum mengikuti pencoblosan pada Pemilu 2024 di TPS 044 Mustikasari, Bekasi, Jawa Barat, Rabu (14/2/2024). ANTARA FOTO/ Fakhri Hermansyah/YU

Tekanan Hidup

Peneliti psikologi sosial dari Universitas Indonesia (UI), Wawan Kurniawan, berpendapat di tengah masyarakat sekarang ini, berbagai pemicu dapat meningkatkan risiko gangguan jiwa. Termasuk tekanan ekonomi seperti utang atau kegagalan bisnis yang bisa menjadi beban besar bagi individu.

Krisis finansial yang berkepanjangan sering kali tidak didukung dengan cara yang memadai, sehingga menyebabkan stres yang berat.

“Selain itu, isolasi sosial dan kurangnya dukungan komunitas juga memainkan peran penting. Pengalaman traumatis, seperti kehilangan, kekerasan, atau bencana alam, juga dapat memicu gangguan kejiwaan, terutama ketika akses ke layanan kesehatan mental terbatas atau tidak tersedia,” ujar Wawan kepada reporter Tirto, Rabu (8/5/2024).

Menurut Wawan, memang masih ada stigma di masyarakat yang menganggap orang dengan gangguan kejiwaan otomatis merupakan individu berbahaya. Padahal, ini tidak benar dan menjauhkan orang dengan masalah kesehatan jiwa mendapatkan penanganan yang tepat.

Menurutnya, penting menyediakan informasi yang akurat tentang gangguan kejiwaan dan menampilkan kisah pemulihan untuk menunjukkan bahwa banyak individu dengan gangguan jiwa dapat mengelola kondisi mereka dengan baik dan berfungsi secara normal dalam masyarakat.

“Interaksi sosial dan dialog terbuka dapat membantu meluruskan pandangan ini dengan menunjukkan realitas sebenarnya,” kata dia.

Wawan menjelaskan, penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa kesehatan mental adalah bagian integral dari kesehatan keseluruhan yang harus diperlakukan dengan serius.

Pemerintah dan institusi pendidikan perlu mempromosikan normalisasi penggunaan layanan kesehatan mental dan mengintegrasikan pendidikan kesehatan mental ke dalam sistem pendidikan dan pelatihan profesional.

Oleh sebab itu, kata dia, peran proaktif pemerintah dalam menangani gangguan jiwa sangat krusial. Pemerintah perlu memperluas akses layanan kesehatan mental, terutama di daerah terpencil, serta mengembangkan program yang berfokus pada pencegahan gangguan jiwa.

“Melalui pendidikan, pelatihan, dan kolaborasi multisektor, dapat tercipta sumber daya yang lebih komprehensif dan efektif untuk mendukung individu dengan gangguan kejiwaan, serta mengintegrasikan layanan ke dalam perawatan kesehatan primer untuk masyarakat umum,” tutur Wawan.

Sementara itu, psikolog forensik Reza Indragiri, mengingatkan polisi bahwa kasus mutilasi di Ciamis seharusnya tidak hanya dilihat berdasarkan masalah klinis semata, melainkan juga dilihat dari sisi forensik.

Dia menyatakan, ada kondisi yang disebut sebagai malingering dan dissimulation yang sering kali dijadikan siasat atau strategi oleh seseorang yang melanggar hukum.

“Termasuk rekayasa psikologis untuk mengelabui hukum, untuk mendapatkan keringanan, bahkan mungkin pembebasan dari sanksi pidana ya,” kata Reza kepada reporter Tirto, Rabu (8/5/2024).

Dia menilai, polisi harus berpikir tentang bagaimana pelaku bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana. Hal ini diperlukan untuk memenuhi rasa keadilan bagi korban. Jika pelaku nanti dinilai memiliki gangguan jiwa setelah pemeriksaan tertentu, maka konsekuensinya membutuhkan rehabilitasi.

“Untuk memastikan yang dialami oleh orang ini memang membutuhkan keterlibatan profesional untuk kemudian dipertimbangkan kemungkinan membawa dia ke ranah hukum,” jelas Reza.

Reporter Tirto sudah berusaha menghubungi Kementerian Kesehatan untuk menanyakan soal penanganan masalah kesehatan jiwa di Indonesia. Termasuk, menghubungkannya dengan kasus pembunuhan keji belakangan ini yang berkaitan dengan kondisi kejiwaan pelaku.

Namun, Direktur Kesehatan Jiwa Kemenkes, Vensya Sitohang, tidak merespons permintaan wawancara Tirto yang dikirim ke ponselnya.

Sementara Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, sudah menerima pertanyaan dari Tirto, tapi belum memberikan respons balik hingga berita ini ditulis. Dia menyatakan masih harus mengkoordinasikan persoalan tersebut.

“Aku coba koordinasi dulu ya,” ujarnya.

Baca juga artikel terkait KESEHATAN JIWA atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - GWS
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Irfan Teguh Pribadi