tirto.id - Anggota panitia seleksi (pansel) calon pimpinan (capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan segera diumumkan pada Mei 2024 . Pansel akan diisi oleh sembilan orang, terdiri terdiri dari lima orang unsur pemerintah dan empat lainnya berasal dari masyarakat.
"[Nanti] akan ditetapkan melalui Keputusan Presiden," kata Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana, dalam pernyataannya, Kamis (9/5/2024).
Ari mengatakan, untuk nama-nama calon anggota pansel capim dan dewan pengawas (dewas) KPK saat ini masih terus digodok. Hal ini memperhatikan harapan masyarakat untuk mendapatkan anggota pansel yang kredibel dan berintegritas.
Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum (FH) Universitas Mulawarman (Unmul), Herdiansyah Hamzah, meminta kepada pemerintah agar pemilihan nama-nama anggota pansel tidak dilakukan secara serampangan. Pemerintah, kata dia, wajib melihat rekam jejak anggota pansel capim KPK.
"Ini mencakup perkara hukum, integritas, dan pengalaman. Dia harus clear dari perkara hukum, terutama kasus korupsi, termasuk kejahatan seksual," ujar dia kepada Tirto, Kamis.
Kedua, masalah integritas. Dalam hal ini, pemerintah harus menjamin dan membuktikan bahwa seluruh anggota pansel teguh dengan prinsip, sekaligus teruji dalam advokasi kasus-kasus korupsi.
Ketiga soal genealogi politik. Dia harus bersih dari relasi politik yang bisa merusak independensi. Terakhir, dia berharap komposisi pansel capim KPK harus dominan perempuan agar punya perspektif.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman, menambahkan untuk menjamin independensi KPK, maka model rekrutmen tidak boleh 'asal bapak senang'. Artinya, seluruh anggota dipenuhi dari satu cabang kekuasaan tertentu.
"Pansel itu di dalam UU utama dan paling penting adalah berasal dari masyarakat," ujar dia kepada Tirto, Kamis.
Zaenur mengatakan, dari unsur masyarakat setidaknya dapat diisi oleh tokoh-tokoh masyarakat. Pertimbangannya tentu saja mereka tidak boleh tersangkut kasus apa pun, baik etik maupun secara hukum.
Selain itu, dari unsur masyarakat juga tidak boleh terlibat dari politik. Mereka, kata Zaenur, harus benar-benar berasal dari tokoh publik atau intelektual yang tidak menunjukan afiliasi politik tertentu. Serta tidak menunjukan sikap bertentangan dengan spirit antikorupsi.
"Jadi itu harus diutamakan," kata dia.
Sementara, dari unsur pemerintah para anggota pansel capim KPK tidak boleh diambil dari yang pernah tersangkut kasus. Kedua, tidak pernah punya problem etik terutama mereka-mereka yang terhormat dikalangan pemerintah.
"Kalau ingin membentuk KPK independen maka panselnya juga harus orang independen. Kalau mau pimpinan KPK yang integritas, panselnya juga harus orang orang berintegritas," tegas dia.
Tidak boleh, kata Zaenur, orang-orang tersebut diisi dari cabang kekuasaan mana pun. Termasuk misalnya memiliki kedekatan dengan pemerintah dan institusi negara tertentu seperti misalnya instansi Kepolisian dan Kejaksaan.
"Jangan. Harus benar benar independen. Kalau gagal menjamin independensi integritas dan profesionalitas dari pansel, maka ya jangan terlalu banyak berharap kepada pimpinan KPK terpilih," tutur dia.
Integritas Pansel Harga Mati
Mantan penyidik KPK, Yudi Purnomo Harahap, mengatakan pansel capim KPK kali ini akan menjadi sorotan karena ada harapan masyarakat terhadap pemberantasan korupsi. Maka, jangan sampai pemilihan pansel seperti pada waktu periode Firli Bahuri dan kawan-kawan.
"Kita tahu bahwa pansel lalu yang memilih Firli dan kawan kawan ternyata pilihan mereka dari 10 pansel, lima di antaranya DPR ternyata malah membuat permasalahan di KPK bukan jadi solusi," ujar dia kepada Tirto, Kamis.
Dalam catatan Tirto, Ketua KPK periode 2019-2023 Firli Bahuri telah tersandung berbagai kasus etik hingga terparah kasus dugaan pemerasan terhadap eks Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo (SYL).
Pada 2019, Firli Bahuri pernah dinyatakan melakukan pelanggaran etik berat. Ini disebabkan dia bertemu dengan mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat M Zainul Majdi di NTB pada 12 dan 13 Mei 2018.
Secara etik, Firli seharusnya tidak boleh bertemu Zainul Majdi atau yang akrab disapa Tuan Guru Bajang (TGB). Sebab, saat itu KPK sedang menyelidiki dugaan korupsi kepemilikan saham PT Newmont yang melibatkan Pemerintah Provinsi NTB.
Firli juga sempat dilaporkan ICW ke Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara RI, Kamis (3/6/2021). ICW menduga Firli menerima gratifikasi dalam bentuk diskon penyewaan helikopter. ICW mendapatkan perbandingan harga dari penyedia jasa penerbangan lain yang menunjukkan bahwa diskon yang didapatkan Firli terlalu jauh dari harga umum.
Terakhir, Firli diduga melakukan pemerasan kepada mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL). Polisi pun sudah menetapkan dia sebagai tersangka kasus tersebut.
"Kita lihat Firli etik beberapa kali. Helikopter dan perkara SYL Kementan," ujar Yudi.
Tidak hanya Firli, beberapa anggota KPK lainnya juga sempat bermasalah dengan etik. Di antaranya adalah Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dan (mantan) Komisioner KPK Lili Pintauli Siregar.
Ghufron diduga terlibat pelanggaran etik dalam proses mutasi pegawai di Kementerian Pertanian (Kementan). Ghufron diduga cawe-cawe mutasi pegawai Kementan ke Malang, Jawa Timur. Ghufron dinilai telah melakukan penyalahgunaan kewenangan sebagai insan KPK.
Sementara Lili diduga menerima gratifikasi berupa fasilitas menonton MotoGP Mandalika 2022 dari salah satu perusahaan BUMN. Kabar dugaan penerimaan gratifikasi ini dikonfirmasi Anggota Dewan Pengawas (Dewas) KPK Syamsuddin Haris. Dia mengatakan, Dewas KPK sudah menerima laporan dan menjalankan aturan tersebut.
"Kepercayaan masyarakat terhadap KPK menurun," ujar Yudi.
Atas dasar itu, kata Yudi, integritas pansel merupakan harga mati alias tidak bisa ditawar lagi. Sebab, berkaca pansel sebelumnya ketika Firli banyak mendapat kritikan, justru malah dipilih dan bahkan jadi ketua KPK.
"Juga paling penting pansel yang ini harus benar-benar berkaca dari yang lalu. Ada sedikit permasalahan dari capim KPK mau itu etik bahkan juga mungkin ada kontroversi sudah coret saja," jelas dia.
Dari pansel buruk, lanjut dia, tidak akan menghadirkan pimpinan KPK yang baik. Namun sebaliknya, jika pansel bagus, reputasi jelas di mata publik dan tidak pernah bermasalah tentu ada harapan terhadap pemberantasan korupsi ke depan.
"Kalau pansel ini orang dianggap baik, tentu masyarakat akan berbondong akademisi tokoh masyarakat untuk mendaftar. Kalau tidak tentu mereka tidak akan mau. Karena nanti bisa jadi menduga ada setingan dan sudah ada calonnya," terang Yudi.
Tidak Boleh Ada Nama Titipan
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, meminta agar pansel yang nantinya terpilih tidak menerima nama titipan.
"Jadi ada pansel sudah dititipi sebelumnya. Dititipi untuk memuluskan nama si A dan B untuk lolos dibawa ke DPR dengan alasan di DPR nanti ada yang urus lagi untuk bisa dipilih DPR," kata Boyamin kepada Tirto, Kamis.
Maka dari itu, Boyamin meminta agar pansel bisa bekerja independen. Seluruhnya harus betul-betul dipilih orang yang punya kapasitas dan diberikan kewenangan penuh untuk memilih calon.
"Tidak boleh ada titipan lagi. Itu yang utama pansel harus begitu," tegas dia.
Terkait masalah komposisi pansel, Boyamin tidak ambil pusing. Terpenting mereka dapat menyeleksi kandidat yang tidak bermasalah.
"Saya tidak menyalahkan pansel tapi ujungnya pimpinan KPK yang didapat banyak bermasalah. Firli dan Lili sudah diberitakan semua dalam konteks kode etik. Ditambah Nurul Gufron. Itu sudah bermasalah," kata dia.
Olah karenanya, independensi dan integritas dalam hal ini penting untuk memilih anggota pansel. Karena pada ujungnya, jika pemberantasan korupsi bagus, pemerintah bisa tidur nyenyak. Sebaliknya kalau pemberantasan korupsi jelek gara-gara pimpinan KPK bermasalah, maka imbasnya reputasi pemerintah juga.
"Maka pemerintah harus pikirkan kegagalan pemberantasan korupsi itu bagian dari pemerintah karena yang jadi pansel dari unsur pemerintah. Jadi kalau gagal, gagalnya pemerintah," pungkas Boyamin.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Fahreza Rizky