Menuju konten utama

Agroforestri: Upaya Petani Kawista Menanam & Merawat Lestari

Konsep agroforestri dikembangkan karena keragaman hayati yang dihasilkan darinya dianggap mampu menjaga air tanah.

Agroforestri: Upaya Petani Kawista Menanam & Merawat Lestari
Dodi, petani dusun Kawista, tengah memelihara pohon salak yang ia tanam dengan skema agroforestri pada Selasa (7/5/2024). (FOTO/Rizal Amril)

tirto.id - Di lembah sempit di Dusun Kawista, Adiwarno, Selomerto, Wonosobo, sebuah area seluas satu hektare jadi tempat bagi berbagai jenis tanaman tumbuh menjulang.

Tampak sekilas, kawasan tersebut serupa kebun tak tentu arah. Pohon salak berbaris rapi, namun di sana-sini tumbuh berbagai tanaman lain, mulai dari sayuran yang biasa ditemui di meja makan hingga pohon kayu albasia dengan daun majemuk berganda.

Tanaman-tanaman tersebut tumbuh di areal berkontur miring membentuk lembah dengan sungai kecil tempat mata air mengalir di tengahnya.

Sejatinya, kawasan seluas satu hektare tersebut merupakan kebun salak dengan kapasitas produksi mencapai 10 ton setiap kali panen. Namun Dodi, sang pemilik kebun, sengaja menanam salak dengan cara yang sedikit berbeda.

Alih-alih memadatkan area kebunnya dengan tanaman salak berderet-deret, Dodi menanam pohon bernama latin salacca zalacca tersebut dengan lebih renggang, memberikan jarak yang cukup untuk jadi tempat tumbuh tanaman lain.

Dodi adalah petani warga Dusun Kawista. Sejak tiga tahun yang lalu, ia dan warga lain di dusunnya tengah mengembangkan lahan tersebut sebagai kawasan agroforestri, sebuah konsep pemanfaatan lahan melalui fusi antara agrikultur dengan kehutanan.

Agroforestri memiliki ciri khas berupa sifatnya yang heterokultur, memadukan penanaman pohon kayu-kayuan dengan tanaman komoditas jangka pendek seperti buah, kacang-kacangan, sayuran, atau bahkan tanaman obat.

Dengan perpaduan lahan sebagai hutan dan sekaligus ladang, agroforestri dinilai lebih ramah lingkungan. Hutan yang dipertahankan mampu menjaga ekosistem lahan tetap terjaga, merawat sumber air dan kualitas tanah, serta menyerap karbon yang menjadi salah satu masalah utama perubahan iklim kiwari.

Kawasan agroforestri di Dusun Kawista tersebut merupakan salah satu program dan banyaknya program kemasyarakatan bertema lingkungan yang tengah diinisiasi Dodi dan warga lain sejak tiga tahun lalu. Selain agroforestri, Dusun Kawista memiliki program lain seperti kebun sayur di pekarangan rumah dan budidaya ikan sebagai upaya penyediaan pangan.

Petani di Dusun Kawista Wonosobo

Warga Dusun Kawista yang menjadi pengurus program kampung iklim di dusun tersebut, Selasa (7/5/204). (FOTO/Rizal Amril)

Berawal Sejak Pandemi

Agroforestri yang kini digunakan Dodi sebagai cara bertani bermula sejak pandemi COVID-19 mulai mereda pada sekitar tahun 2021.

Sebelum dibangun menjadi hutan, lahan seluas satu hektare itu hanya ladang biasa. Dodi merupakan generasi kedua yang menggarapnya.

Menurut Dodi, sejak diurus oleh ayahnya, lahan tersebut menjadi ladang untuk menanam tanaman secara monokultur. "Dulu sempat ditanami cengkeh, tapi pas anjlok zaman Suharto, tanamannya berganti-ganti sampai jadi salak seperti sekarang," ujar Dodi.

Akan tetapi, pola pertanian yang digunakan Dodi kemudian berubah setelah Aan Ibnu Khumed, salah satu warga Kawista, pulang dari tanah rantau. Aan merupakan pria kelahiran dusun tersebut, perantau yang pulang karena COVID-19, dan kemudian menginisiasi sejumlah program pemberdayaan masyarakat.

Ketika kembali ke tanah kelahirannya, Aan awalnya memiliki keresahan sederhana: dusun tempatnya dilahirkan memiliki banyak kolam ikan, menjadi sumber penghidupan sebagian warga di dalamnya, tetapi hanya dipanen setahun sekali.

“Saya merasa kolam ikan punya warga ini sebenarnya bisa dikembangkan, bukan hanya sekadar, istilah Jawanya, unjar dikum tok [hanya merendam ikan],” katanya.

Berangkat dari persoalan tersebut, Aan kemudian merancang pengembangan pelet produksi sendiri sebagai pakan ikan yang terjangkau dan dapat dimanfaatkan warga Kawista guna meningkatkan produksi. “Cuman waktu itu terbentuk COVID, jadinya cenderung tidak dilanjutkan idenya,” tutur Aan.

Ide Aan untuk meningkatkan perekonomian Kawista melalui perikanan tersebut terbentur masalah finansial saat ia berupaya merealisasikannya. Pengembangan pelet perlu riset dan proses tersebut tak bisa dilakukan tanpa biaya.

Oleh karenanya, ia lalu mengajukan proposal pendanaan ke sejumlah perusahaan. Harapannya, dari sekian banyak perusahaan yang ia tawari program pemberdayaan desa kelahirannya, ada satu perusahaan yang mau menggelontorkan dana corporate social responsibility.

Petani di Dusun Kawista Wonosobo

Ketua Kader Proklim Kawista, Aan Ibnu Khumed, ketika ditemui di kediamannya pada Rabu (8/5/2024). (FOTO/Rizal Amril)

Ia kemudian menjalin kerja sama dengan PT Pamapersada Nusantara, perusahaan tambang batu bara yang membutuhkan program-program pemberdayaan sebagai ganti eksploitasi tambang batu bara di Indonesia.

Aan memanfaatkan pendanaan dari perusahaan tersebut untuk mengembangkan dusun kelahirannya sebagai dusun yang mengedepankan pola hidup dengan nilai-nilai pelestarian lingkungan.

Gelontoran dana perusahaan tambang tersebut kemudian menjadi sponsor utama hampir seluruh program pemberdayaan masyarakat dan pelestarian lingkungan di Kawista, termasuk agroforestri yang dikembangkan di lahan milik Dodi.

Khusus untuk pengembangan agroforestri, Aan menuturkan bahwa ekosistem di lahan milik Dodi tersebut penting dijaga karena di sana terdapat satu sumber mata air yang penting bagi kehidupan warga Kawista.

“Yang penting, saya ingin jaga sumber mata airnya, poin agroforestri di situ,” kata Aan.

Tepat di dasar lengkungan lahan berkontur lembah milik Dodi tersebut memang terdapat satu mata air yang terus mengalir. Aan menjelaskan bahwa mata air tersebut sudah mengalir sejak ia tumbuh sebagai anak kecil di Kawista. “Sampai sekarang debit airnya masih stabil,” ujarnya.

Untuk tujuan tersebut pulalah, konsep agroforestri dikembangkan karena keragaman hayati yang dihasilkan darinya dianggap mampu menjaga air tanah.

Bagi Dodi, yang memperoleh manfaat ekonomi dari kebun salak yang ia tanam, penerapan agroforestri di lahan miliknya juga tak mengurangi nilai ekonomi dari kebunnya. Ia menjelaskan, penanaman yang tak bergantung pada satu jenis tanaman tak mengurangi produktivitas lahan.

Ia menuturkan jika penanaman komoditas jangka pendek seperti sayuran justru mempermudah dirinya untuk memperoleh bahan makanan. “Cabai itu saya panen kalau mau makan saja,” ujarnya berkelakar.

Selain itu, banyaknya tanaman yang ditanam di lahannya juga membuat apa yang bisa dinikmati dari lahannya semakin beragam. Selain salak, lahan Dodi juga jadi tempat tumbuh banyak pohon durian yang siap panen ketika musim durian datang.

Petani di Dusun Kawista Wonosobo

Salah satu kolam ikan warga Dusun Kawista, Wonosobo yang jadi salah satu skema ketahanan pangan warga setempat, Selasa (7/5/2024). (FOTO/Rizal Amril)

Pada 2023 lalu, Dusun Kawista mendapatkan predikat sebagai Kampung Iklim Utama oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Predikat tersebut diberikan kepada kampung yang secara aktif turut serta dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang tengah melanda dunia.

Analis Konservasi Dinas Lingkungan Hidup Wonosobo, Mardiana Caisaria, menyatakan bahwa predikat tersebut diberikan kepada Kawista karena dianggap berhasil membuat program pengolahan sampah; mampu mengatasi masalah sanitasi; dan menerapkan skema ketahanan pangan lewat agroforestri, kebun sayur di tiap rumah, serta perikanan.

Berkembang Lebih Asri

Aan menjelaskan bahwa pengembangan lahan agroforestri di Kawista masih jauh dari yang diharapkan. Ke depan, ia, Dodi, dan warga Kawista lainnya berencana membuat lahan tersebut menjadi lebih asri dengan mengembangkan ekosistem di dalamnya.

“Kita berencana mengkondisikan akan ada tiga macam di situ, pertanian, kehutanan, dan peternakan,” kata Aan.

Aan menjelaskan jika harapan ke depan, agroforestri Kawista tak hanya menjadi tempat hidup berbagai jenis tanaman, tetapi juga rumah bagi berbagai jenis hewan.

"Tempat yang bisa dikembangkan kan juga masih luas, jadi harapannya lahan yang tidak digunakan untuk menanam salak bisa jadi tempat konservasi hewan langka gitu misalnya, kerja sama sama Kementerian LHK," pungkas Aan.

Baca juga artikel terkait WONOSOBO atau tulisan lainnya dari Rizal Amril Yahya

tirto.id - Bisnis
Kontributor: Rizal Amril Yahya
Penulis: Rizal Amril Yahya
Editor: Fahreza Rizky