tirto.id - Kemarin, untuk pertama kalinya, saya berkunjung ke Sawahlunto. Ini kota bersejarah, salah satu kota tambang sejak zaman Belanda. Sebagai kota yang dibangun oleh Belanda, masih tersisa banyak jejak mereka di sini. Salah satu yang kelihatan dengan jelas adalah bangunan-bangunan dengan arsitektur khas Eropa, juga bekas gedung tambang --termasuk tiga silo gigantis di taman tengah kota.
Sejak beberapa tahun terakhir, kota ini fokus jadi kota pariwisata. Apalagi sejak 2019, Unesco mendaulat Sawahlunto sebagai kota warisan dunia. Banyak event dibuat untuk menarik wisatawan, dari dalam negeri sampai mancanegara.
Tentu saja, bagi saya, sebuah kota bisa jadi lebih menarik karena makanannya. Maka sebelum berangkat, saya sudah bertanya ke beberapa kawan, juga membaca sejumlah referensi, untuk mencari tahu ada makanan apa di Sawahlunto.
Jawabannya hampir seragam: dendeng batokok.
Menarik.
Sebelumnya, yang menempati peringkat satu dalam klasemen dendeng batokok paling favorit versi saya itu berasal dari Rumah Makan Pusako di Jambi. Ini beda mazhab dengan dendeng batokok ala Minang. Dendeng batokok Pusako itu berasal dari Kerinci. Perbedannya lumayan kontras.
Dendeng batokok ala Kerinci itu dagingnya berbentuk bundar, ditokok alias ditumbuk alias digebuk hingga tipis dan pipih. Ketika kita menyobeknya, yang terlihat adalah serat-serat daging, bukan daging tebal. Benar-benar serat serupa serabut. Pasangannya ada dua jenis sambal: sambal balado merah, dan satu saus merah-oranye yang cabenya berasal dari Kerinci.
Yang juga penting: dendeng batokok kerinci itu diasap. Alamak, aroma smoky-nya kuat sekali.
Di Minang, setahu saya, tolong koreksi kalau salah, ada beberapa jenis pembuatan dendeng. Ada yang direbus dengan bumbu hingga matang, lalu ditokok, lalu dicampur dengan sambal, bisa merah atau hijau. Ada juga yang dimarinasi, lalu dipanggang. Saya juga pernah lihat seorang teman memasak dendeng dengan cara direbus bersama bumbu, lalu ditokok, lalu digoreng sebentar.
Nah, di Sawahlunto, dendeng batokoknya dibuat dengan cara dimarinasi hingga lama, lalu diasap hingga matang, baru ditokok. Ketika akan disajikan, dendeng batokok akan dibanjur dengan minyak tanak, alias minyak kelapa. Harum bukan buatan.
Oleh seorang kawan, saya diajak ke Dendeng Batokok 1965, yang konon merupakan pelopor dendeng batokok di Sawahlunto. Sesuai namanya, rumah makan yang terletak di Muaro Kalaban ini sudah berjualan sejak 1965. Saya berpikir, pada 1965, saat terjadi ontran-ontran politik paling menyedihkan dalam sejarah Indonesia, ribuan kilometer dari episentrum berdarah itu ada satu keluarga yang mengasapi daging di dapur, memberi makan dan kebahagiaan bagi para pelintas. Betapa kontras.
Di Dendeng Batokok 1965, ketika kamu duduk, kamu akan diberi pilihan mau makan saji atau langsung dalam piring. Tak jauh beda dengan restoran Padang. Tak lama setelah kamu duduk, kamu akan disuguhkan jejeran lauk dan sayur dalam piring kecil. Ada rendang --hitam dan kering, tentu saja. Lalu ada ayam balado. Tak lupa samba buruak alias sambal buruk rupa, yang merupakan campuran terong, ikan asin, tempe, dan tahu yang ditumis dengan sambal.
Sama seperti di film favoritmu, bintang utamanya datang belakangan.
Sepiring berisi lima kerat dendeng batokok yang basah berkilau karena disiram minyak kelapa. Dari kejauhan, wanginya sudah menggoda. Alamak. Ketika disobek, ia tak berserat seperti dendeng batokok ala Kerinci. Bedanya lagi, dendeng batokok di sini, tak disajikan dengan balado. Hanya daging dan minyak kelapa.
Kelezatan paripurna seringkali terletak dalam kesederhanaan. Dendeng batokok 1965 ini bukti sahihnya. Daging disajikan tanpa bumbu pelengkap. Murni daging asap yang sudah ditokok, dengan minyak kelapa buatan sendiri.
Ketika digigit, daging masih punya kekenyalan, memberikan sedikit perlawanan. Tapi bukan yang membuat gigi sakit. Ada rasa manis di dagingnya, dengan semburat rasa ketumbar yang cukup terang. Dimakan dengan nasi putih begitu saja, sudah cukup. Ditambah samba buruak dan balado, dobel lezatnya.
"Ini direndam bumbu empat jam, terus diasap dua jam," kata salah satu juru masak di 1965.
Saya sempat melongok dapurnya. Di ujung, dekat tungku, ada tumpukan kayu bakar. Dendeng yang sudah diasap, kemudian ditaruh di batu berukuran besar, lalu ditokok dengan ulekan hingga pipih. Sebelum disiram, dendeng memang tampak kering, tapi ketika diberi minyak kelapa, dendeng batokok tampak lebih basah.
Dua hari berturut-turut, setiap makan di 1965 saya meludeskan tiga kerat dendeng batokok. Andai kepala tak meronta, mungkin saya bisa menghabiskan 10 potong sendirian. Teman lain, membungkus 30 potong untuk dibawa ke Jakarta.
"Ini enak parah," katanya cengengesan.
Keesokan harinya, kawan mengajak ke kadai makan Ira, sebuah warung kecil di pinggiran jalan Muaro Kalaban. Hanya sekitar satu kilometer saja dari 1965. Berbeda dengan 1965 yang ukuran warungnya lebih besar dan sanggup menampung tamu hingga 60-70 orang, Ira ini kecil saja. Hanya bisa menampung 12-15 orang. Namun perkara masakan, bisa diadu.
Formasi umum di Ira adalah setangkup nasi, samba buruak, tumis kol, dan lauk. Nah, lauk di Ira ini banyak yang menarik juga. Ada aneka ikan bakar, ikan pangek, ayam balado, tapi tentu saja bintang utamanya ya dendeng batokok yang disiram sambal.
Dibandingkan dengan 1965, minyak kelapanya masih kalah harum. Aroma smoky-nya juga tipis-tipis. Cuma baladonya juga juara dunia. Dimakan dalam kondisi bangun tidur, kepala kosong, wuiiih, cakep sekali.
Setelah empat hari di Sawahlunto, saya pulang dengan beberapa pertanyaan. Salah satunya: sekarang siapa yang menduduki peringkat 1 di klasemen dendeng batokok paling favorit versi saya?
Sepanjang perjalanan dari Sawahlunto menuju Padang, melewati Batusangkar dan Padang Panjang, saya terus memikirkan jawaban ini. Pada akhirnya, sepertinya saya harus kategori juara bersama. Sama seperti ketika PSMS Medan dan Persija jadi juara bersama di 1975.
Kedua masakan ini punya bentuk dan rasa berbeda. Dari Pusako, dendengnya lembut karena tipis sekali, serat-serabut ini memberikan pengalaman baru menyantap daging. Ia bentuk moderat antara tekstur cincang dan lean meat. Bumbu dan sausnya juga jadi faktor penting pelengkap daging. Sedangkan versi Sawahlunto, minyak tanaknya begitu sukar ditandingi, wanginya membuat daging punya nyawa tambahan setelah kering diasap dalam waktu lama.
Karena kolam yang berbeda meski namanya sama, maka bisa jadi tidak fair kalau mereka ditandingkan. Maka keputusan paling adil sepertinya ya juara bersama.
Sepanjang menulis ini, ingatan saya melayang ke Jambi dan Sawahlunto. Mendadak saya kembali lapar.
Editor: Irfan Teguh Pribadi