tirto.id - Kami memanggilnya Mpok Amih, seorang perempuan asli Betawi usia jelang 60, yang punya tawa menggelegar, dan banyak menghabiskan waktunya bermain bersama cucu ataupun pengajian. Kami mengenalnya sejak 2016 silam, ketika memutuskan tinggal di Depok.
Suatu hari, usai membaca tulisan Bondan Winarno berjudul "Kuliner Betawi Kagak Ada Matinye!" yang mengisahkan beberapa hidangan Betawi yang sudah hilang dan dilupakan, saya mengirim pesan pendek pada Mpok Amih.
"Bu, pernah masak sayur babanci, gak?"
"Apaan tuh babanci, saya baru dengar?"
Pas saya bilang itu sayur khas Betawi, dia mengirim emotikon tertawa.
"Yang khas Betawi ya sayur asem," katanya.
Saya tak pernah makan sayur babanci, sebuah hidangan yang mungkin dalam beberapa waktu ke depan hanya akan tinggal di ingatan sedikit orang saja. Oh, betapa ingatan adalah suatu yang rapuh. Saya sendiri tak pernah menjajal sayur ini. Hanya pernah membaca beberapa cerita: ia tak memakai sayur, melainkan menggunakan pipi sapi, dipadu dengan kelapa muda dan puluhan rempah. Termasuk yang waktu itu baru pertama saya dengar: bangle.
"Bangle mah buat ngusir setan, masa dibuat sayur?" katanya ngakak.
Saya ikutan ngikik, tapi sekaligus bingung.
Mpok Amih, yang sudah menghabiskan nyaris enam dekade hidup sebagai perempuan Betawi, tak pernah tahu seperti apa rupa --dan rasa-- sayur babanci. Apa yang salah? Dan saya yakin, Mpok Amih bukan satu-satunya orang Betawi yang tak pernah mendengar, apalagi mencicipi, sayur babanci.
Hingga saat ini saya belum beruntung mencicipi hidangan itu. Namun saya pernah mencoba hidangan Betawi lain yang tak kalah langka: sayur besan.
Sama seperti namanya, sayur besan biasanya hadir di acara pernikahan Betawi. Bahkan ada masa ketika sayur ini jadi hidangan wajib di tiap acara pernikahan. Bintang utama di sayur besan ini adalah terubuk (Saccharum edule)—ada yang menulisnya sebagai telubuk. Istilah lain adalah tebu telur. Pucuk tanaman terubuk mirip dengan batang serai dalam versi lebih gemuk. Ketika dikupas, ada bonggol yang mirip jagung muda, dengan butiran-butiran kecil bertekstur seperti telur ikan.
Terubuk sebagai hidangan mantenan bukan tanpa alasan. Dalam Hidangan Betawi (2007), dikisahkan terubuk yang isinya mirip telur tapi menyatu dalam satu bonggol ini adalah falsafah dari pernikahan: dua orang yang menjadi satu keluarga. Bondan Winarno mencatat terubuk bisa ditemui di khazanah kuliner Sunda sebagai cocolan untuk sambal. Sedangkan di Ternate, terubuk yang disebut sebagai sayur lilin dipakai sebagai isi untuk masakan kuah soru alias kuah asam.
Habitat alami terubuk di pinggir sungai. Seiring sungai yang makin jarang di Jakarta—dan kalaupun ada sungai tapi dipadati sampah—terubuk makin sukar ditemui. Di pasar biasa pun jarang orang menemukan terubuk. Hal ini turut membuat sayur besan makin sukar ditemui.
Di Jakarta, satu dari sedikit sekali (atau malah cuma satu-satunya) rumah makan yang menyajikan sayur besan adalah Dapur Betawi yang berlokasi di Pondok Cabe, perbatasan Jakarta Selatan dan Tangerang Selatan. Sarno, pemilik Dapur Betawi, pada 2012 membuka cabang di daerah Karang Tengah, perbatasan Jakarta Selatan dan Depok. Warung ini memasang slogan yang dipajang besar-besar di balihonya: “Makanan terlangka di dunia!” Tak salah, sebab sayur besan di Jakarta konon hanya dijual di tempat ini.
Beberapa teman kemudian memberi informasi tambahan, sayur besan masih bisa ditemui di beberapa warung di kawasan Tangerang Selatan.
Di luar kelangkaan terubuk, resep sayur besan sebenarnya amat mudah dicari di internet, begitupun bumbunya: bawang merah, putih, cabai, santan, lengkuas, terasi, dan ebi. Selain terubuk, isian sayur besan berkisar antara kentang, kacang panjang, dan petai. Ada pula yang menambahkan bihun.
Mariani, satu dari lima juru masak di Dapur Betawi, memilih tak memakai ebi dalam kuah sayur besan. Alasannya sederhana: tidak semua orang suka aroma dan rasa ebi yang kuat, apalagi yang alergi udang. Maka, ia mengambil jalan tengah: kuah dibuat tanpa ebi. Tapi kegurihan kuah sayur besan buatannya tak berubah: Mlekoh karena santan yang medhok.
Seporsi sayur besan buatannya datang dalam bentuk menggoda. Kuah yang kuning kecokelatan, dengan minyak merah menggenang. Isiannya kentang, kacang panjang, dan petai yang menguarkan aroma wangi. Terubuk tampak menonjol dengan warna putih. Ketika digigit, amboi, butiran telur di dalamnya pelan-pelan pecah, menyebar, bersatu dalam kuah santan yang pekat, gurih, dan legit.
“Di sini, menu andalannya memang sayur besan, pecak gurame, dan gabus pucung,” ujar perempuan asli Betawi ini.
Dapur Betawi bisa menjual lima hingga sepuluh porsi sayur besan dalam sehari, tergantung keramaian pembeli. Mariani menyadari bahwa sayur besan adalah makanan Betawi langka. Beberapa pembeli sempat bertanya kenapa ia tak sekalian memasak sayur babanci yang bisa dibilang sudah “punah” dari rumah makan Betawi. Ternyata ia malah belum pernah dengar nama masakan itu sebelumnya.
“Karena tamu-tamu itu, saya jadi tahu ada masakan sayur babanci. Saya tanya ke orang-orang, katanya pakai kelapa, ya?” tanya perempuan awal 40-an ini.
Sama seperti dugaan saya, Mariani dan Mpok Amih tak hanya berdua dalam keterasingan terhadap makanan Betawi. Ini bikin sedikit ngeri, sih. Makanan Betawi, mengutip kata Bondan, memang berada dalam fase "mati suri."
Editor: Nuran Wibisono