Menuju konten utama

Gudeg: Santapan Benci tapi Rindu dan Kisah Upaya Resiliensi

Gudeg Bu Sudji memberikan kebaruan dalam kepala: ternyata gudeg tidak sesempit seperti apa yang dulu disajikan nenek.

Gudeg: Santapan Benci tapi Rindu dan Kisah Upaya Resiliensi
Header Miroso Gula & Obsesi terhadap Rasa Manis. tirto.id/Tino

tirto.id - Saya seperti mempunyai hubungan yang aneh dengan gudeg, ada perasaan semacam benci tapi rindu.

Muasalnya mungkin karena pengalaman saat masa kecil, dulu santapan ini terasa membosankan untuk saya. Dan kenangan yang melekat adalah wajah nenek yang selalu menginstruksikan membersihkan halaman rumahnya saat saya datang. Lengkap dengan sajian gudeg nget-ngetan yang siap menanti sebagai semacam “upah” setelah kepayahan membersihkan dan menyapu halamannya rumahnya yang tidak bisa dikatakan kecil.

Saat itu referensi saya tentang santapan gudeg tentu terbatas, sekadar sayur nangka muda atau gori yang dimasak berulang dan berubah wujud menjadi cokelat pekat, dimakan dengan nasi pera, dan ditambah lauk ikan asin. Sekian waktu, imajinasi hasil dari beberapa kali santapan yang nenek suguhkan itu, cukup membuat saya sering menghindari gudeg.

Meskipun saya lahir di Magelang, daerah yang relatif dekat dengan Yogyakarta, saat itu saya belum menyadari jika gudeg umumnya juga dicampur dengan sambal krecek yang sedap, opor ayam yang legit, ataupun telur pindang yang lezat. Atau lebih tepatnya, masa kecil dan selama hidup di Magelang main saya kurang jauh.

Belasan tahun kemudian, saya pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta. Ketika itu, salah satu orang yang mengubah perspektif saya tentang gudeg adalah Widodo Budidarmo, atau biasa saya panggil Mas Dodo. Beliau mantan aktivis buruh yang juga menjadi aktivis pembela kaum transgender dan mendirikan organisasi Arus Pelangi.

Saya perdana mengenalnya saat bertemu di Bandung dalam sebuah forum diskusi. Tampilannya yang berbadan tambun, memakai jaket kulit hitam dengan wajah dingin, membuat saya mengira dia seorang intel. Namun setelah dikenalkan kawan dan berbincang dengannya, ternyata orangnya humoris dan sering melontarkan kosakata lucu khas ungkapan dari kawan-kawan transgender.

Mas Dodo adalah pribadi unik yang tahu kapan gemulai dan kemayu, kapan menjadi tegas untuk mengadvokasi teman-temannya yang banyak dirundung.

Darinya pula saya banyak mendengar cerita tentang legenda-legenda aktivis pergerakan Indonesia era 80 dan 90-yang lebih mendalam. Nama-nama seperti Roem Topatimassang, Mansour Fakih, dll, disebutkannya dengan fasih sambil bercanda, saat dia mengajak menyantap gudeg Bu Sudji di kawasan Manggarai, Jakarta Selatan.

Gudeg Bu Sudji itu pula, yang saat saya santap dengan Mas Dodo ketika awal-awal saya merantau di Jakarta, memberikan kebaruan dalam kepala saya: bahwa ternyata gudeg tidak sesempit seperti apa yang dulu disajikan nenek.

Awal Mula Gudeg

Gudeg yang identik dengan Jogjakarta ini punya sejarah yang panjang, jenis santapan ini disebut sudah eksis sebelum Kasultanan Jogjakarta dan Kasunanan Surakarta berdiri. Konon, resep gudeg ditemukan pada masa Panembahan Senopati (1587-1601), pendiri Kesultanan Mataram Islam yang juga adalah kakek dari Sultan Agung.

Ketika hendak mendirikan Kesultanan Mataram tersebut, Panembahan Senopati harus membuka hutan belantara yang tenar disebut sebagai Alas Mentaok. Hingga para prajurit dan kaum pekerja bersama-sama membabat hutan yang kelak dikenal sebagai Jogjakarta ini, dulunya adalah hutan yang banyak terdapat pohon nangka dan pohon kelapa.

Keterangan tentang sejarah gudeg di atas, juga diperkuat dengan informasi dari Fadly Rahman, seorang sejarawan dan pengajar di Universitas Padjadjaran yang mengkhususkan dalam penelitian gastronomi dan kuliner Nusantara, dia menyebutkan bahwa dulu gudeg populer untuk sajian di Kerajaan Mataram, yang disuguhkan untuk para pekerja.

Lebih jauh lagi, Fadly Rahman juga menyoroti bahwa kata gudeg sendiri mengalami pergeseran kata, awalnya gudeg mengacu kepada "hangudeg” sebagai kata kerja dalam teknik memasak dengan mengaduk menggunakan centong kayu besar. Fadly sendiri mengakui, kata “hangudeg” jarang ditemukan dalam percakapan orang Yogyakarta masa kini. Namun, sambungnya, dalam percakapan sekarang ada kata yang mirip, yakni “ngudek” atau mengaduk.

Proses mengaduk nangka muda atau gori dicampur dengan gula aren yang menghasilkan sajian gurih manis dan bertransformasi menjadi nama santapan gudeg itu, sekilas juga mengingatkan dengan sajian rendang ala warga Minang sana. Penulis dan peneliti soal rendang, Reno Andam Suri, mengatakan bahwa rendang adalah ungkapan dari kata kerja “merandang” yang artinya mengolah atau mengaduk masakan dalam waktu yang cukup lama, hingga berberjam-jam, dan menghasilkan masakan yang menjadi kering.

Bagaimana gudeg bisa bersinonim dengan rasa manis, ternyata berawal dari sesuatu yang getir.

Dalam buku Antropologi Kuliner Nusantara: Ekonomi, Politik, dan Sejarah di Belakang Bumbu Makanan Nusantara I (hal. 65-81), kenapa rata-rata orang Jawa (khususnya Yogyakarta) menyukai hidangan manis terjawab. Hal ini berkaitan erat dengan tanam paksa oleh pihak Belanda setelah bangkrut dalam perang Diponegoro di tahun 1830.

Dalam tanam paksa tersebut, petani-petani di Jawa diwajibkan menanam tanaman untuk komoditas ekspor, seperti tebu dan kopi. Jika petani di Jawa-Barat harus menanam teh, petani-petani di area Jawa Tengah dan Jawa Timur diharuskan menanam tebu. Selama masa tanam paksa itu berlangsung, di Jawa Tengah dan Jawa Timur didirikan kurang lebih seratusan pabrik gula.

Infografik Miroso Gula dan Obsesi terhadap Rasa Manis

Infografik Miroso Gula & Obsesi terhadap Rasa Manis. tirto.id/Tino

Untuk menggerakkan itu semua, ada sejuta lebih petani tebu, dan puluhan ribu buruh pabrik. Akibat yang ditimbulkannya kemudian adalah sekitar 70 persen sawah harus diganti menjadi ladang tebu. Efek jangka panjangnya: stok beras menipis dan masyarakat kesulitan mendapatkan pasokan karbohidrat. Sebagai gantinya, mereka memakai air perasan tebu untuk memasak.

Industri pariwisata lantas juga turut mengubah gaya gudeg menjadi dua: kering dan basah. Dalam buku Mengudap Rasa Secara Jogja, Syafaruddin Murbawono menjelaskan jika kita menyebut gudeg yang asalnya dari sebuah kampung, hampir bisa dipastikan itu gudeg yang jenisnya kering.

Upaya Resiliensi Gudeg Bu Sudji

Penghujung Desember 2017 silam, sebuah pesan masuk mengabarkan berita duka. Widodo Budidarmo alias Mas Dodo, meninggal dunia. Pesan yang saya baca lekat-lekat, dan tak lama kemudian ungkapan duka berseliweran di beberapa akun teman di sosial media.

Dalam perjalanan dan berdesakan di gerbong KRL dari kawasan pinggiran Jakarta itu, saya hanya mampu mendoakannya dari jauh, merapalkan doa dalam hati dengan kondisi berdiri dan mata terpejam. Saya meyakini bahwa semua yang mengenal Mas Dodo akan menyetujui bahwa beliau adalah orang yang tulus dan baik.

Hingga kemarin, beberapa minggu yang lalu, saya terpikir untuk kembali mendatangi Gudeg Bu Sudji. Tempat yang terakhir saya kunjungi sekian tahun lalu, sekalian ingin menziarahi kenangan dengan Mas Dodo saat pertama mengenalkan gudeg ini.

Namun ketika mendatanginya lagi saya merasa kaget, lokasi ruko yang dulu beberapa kali disambangi itu sekarang sudah tutup, dan ternyata sudah pindah tempat ke dalam sebuah gang, yang untungnya letaknya tidak jauh dari area tersebut. Saya lumayan kebingungan saat mencarinya, mengharuskan untuk beberapa kali bertanya hingga akhirnya bisa menemukan Gudeg Bu Sudji di tempat yang sekarang.

Patokan mudahnya jika ke sini, sekarang tempatnya tidak jauh dari pintu barat Stasiun Manggarai. Tinggal berjalan kaki, dan sisanya, coba bertanya kepada warga sekitar di mana lokasi persis Gudeg Bu Sudji. Warga sekitar biasanya akan bantu mengarahkan.

Saat sampai, penampakannya sekarang pun sudah berbeda dengan rumah makan Bu Sudji yang dulu. Saya mendapati sebuah rumah dengan ruang tamu yang disulap menjadi warung, dan berbagi ruang dengan pedagang minuman, dan hamparan masakan lainnya. Bayangan hidangan seperti dulu yang terhampar di dalam baskom, dari mulai baceman tahu, tempe, telor, ayam, dan buntil, nihil ditemui.

Saya bertemu dan berbincang dengan generasi kedua Gudeg Bu Sudji, yaitu Ibu Sri Murniastuti (58 tahun), atau yang biasa akrab disapa Bu Cici, untuk sekalian memesan dan menyantap gudeg buatannya. Tentu sekaligus juga penasaran ingin tahu, kenapa dari tempat yang tadinya strategis dan sudah berpuluh tahun membesarkan nama Bu Sudji, kemudian berpindah ke tempat yang seperti lebih tersembunyi.

Bu Cici menjelaskan bahwa kios di tempat lama itu dijual dan dibagikan ke delapan anaknya sebagai warisan setelah Bu Sudji meninggal ketika pandemi beberapa tahun lalu. Bu Cici lantas melanjutkan usaha berjualan gudegnya sendirian. Ini membuat cara berjualannya berbeda, seperti tahu bacem yang sekarang harus digoreng dadakan.

Meski sudah pindah, Bu Cici masih berharap bisa kembali ke ruko yang dulu membesarkan nama Gudeg Bu Sudji yang dirintis sejak awal 1960-an. Tapi, dengan tawa renyah, dia bilang: gak tahu kapan.

Mendengarkan cerita Bu Cici, saya hanya mampu tersenyum dan mengangguk mengiyakan, menelan santapan Gudeg Bu Sudji sore itu membuat hari terasa berbeda.

Menyecapnya seperti ada rapalan mantra doa di setiap suapannya: doa untuk Mas Dodo dan Bu Sudji yang sudah berpulang dalam waktu yang tidak begitu lama, sekaligus doa untuk Bu Cici supaya terus kuat dan mampu mengemban nama dagang ibunya yang sudah berpuluh tahun ada di pundaknya.

Santapan gudeg di sore itu, saya kurang merasakan rasa manis gurihnya, saya seperti lebih merasakan rasa sentimentil kisah-kisah manusia yang telah pergi dengan perantara sepiring gudeg, tidak terkecuali ingatan tentang nenek saya.

Baca juga artikel terkait GUDEG atau tulisan lainnya dari Husni Efendi

tirto.id - News
Penulis: Husni Efendi
Editor: Nuran Wibisono