Menuju konten utama
Mozaik

Takbiran Keliling, Antara Tradisi Islam dan Akulturasi Budaya

Takbir keliling merupakan salah satu wujud syukur masyarakat menyambut datangnya Lebaran. Lalu, dari mana asal usul tradisi tersebut?

Takbiran Keliling, Antara Tradisi Islam dan Akulturasi Budaya
Ilustrasi Takbiran Keliling. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Satu malam di pengujung bulan suci Ramadhan, di sebuah perkampungan, suasana malam takbiran terasa begitu istimewa. Anak-anak, remaja, hingga orang tua, turut serta dalam persiapan pawai obor. Segala keperluan, mulai dari bambu, kain bekas, minyak tanah, telah disiapkan dengan rapi.

Beberapa jam kemudian, pawai obor pun dimulai. Warga berbaris rapi, membawa obor di tangan kanan sambil melantunkan takbir dan menabuh gendang dan beduk. Suara takbir yang dikumandangkan secara serempak menggema di seluruh penjuru kampung.

Takbir keliling merupakan tradisi yang telah meluas di hampir semua pelosok negeri, khususnya pada malam hari menjelang Idulfitri dan Iduladha.

Tradisi takbiran keliling umumnya dilakukan oleh umat Islam, yang secara berkelompok atau beriringan mengumandangkan kalimat takbir, “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa ilaha Illallahu Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahilhamd,” sambil berkeliling di lingkungan tempat tinggal, baik dengan berjalan kaki maupun menggunakan kendaraan.

Suara takbir yang menggema diiringi dengan tabuhan beduk, alat musik tradisional yang identik sebagai penanda waktu salat di masjid. Adapun hiasan-hiasan yang tersemat di kendaraan pawai, lampu warna-warni di jalanan, serta ornamen yang dipasang di masjid, menciptakan suasana meriah dan penuh sukacita dalam menyambut hari kemenangan.

Konsep Dasar Takbir dalam Islam

Secara harfiah, kalimat “Allahu Akbar” dalam bahasa Arab berarti “Allah Maha Besar”. Ungkapan ini merupakan pernyataan fundamental dalam Islam yang menegaskan keagungan dan kebesaran Allah Swt. di atas segala sesuatu.

Kalimat takbir sering kali dilafalkan dalam berbagai ritual ibadah, yang sekaligus menunjukkan ekspresi keimanan umat Islam di seluruh dunia. Dalam salat lima waktu, takbir diucapkan pada setiap perpindahan gerakan, mulai dari takbiratulihram hingga salam.

Selain dalam salat, takbir menjadi bagian penting dari azan dan ikamah yang dikumandangkan oleh muazin. Saat ibadah haji, khususnya pada hari-hari menjelang dan selama pelaksanaan ibadah di tanah suci, umat Islam juga dianjurkan memperbanyak bertakbir.

Takbir juga digunakan sebagai ekspresi keimanan yang bersifat "informal", diucapkan dalam berbagai situasi, misalnya saat bergembira, bersyukur, dan mengalami kesulitan. Lafal tersebut bisa pula dilafalkan untuk menunjukkan tekad yang kuat, atau bahkan sebagai bentuk perlawanan.

Ketika seorang anak terlahir, orang tuanya acap melafalkan takbir sebagai bentuk pujian kepada Allah Swt. Bahkan, bagi beberapa kalangan muslim, takbir dianggap sebagai salah satu sunah saat prosesi pemakaman.

Selama perayaan Iduladha dan hari-hari sebelumnya, umat Islam secara khusus memperbanyak bertakbir, terutama pada Hari Arafah. Bahkan, dalam proses penyembelihan hewan secara halal, umat Islam juga diwajibkan mengucapkan, “Bismillahi Allahu Akbar.”

Di era modern, takbir juga memiliki peran dalam konteks politik dan sosial. Namun, kalimat takbir juga tak jarang disalahgunakan oleh kelompok ekstremis sebagai pekikan "perang", meskipun tindakannya dikecam oleh mayoritas umat Islam.

Ilustrasi patrol sahur

Ilustrasi membangunkan orang untuk sahu. FOTO/iStockphoto

Pelafalan takbir memiliki akar kuat dalam sejarah Islam. Sebelum masa Nabi Muhammad, kalimat takbir tercatat dalam kisah Nabi Ibrahim, sebagaimana diabadikan oleh Syaikh Abdurrahman ash-Shofuri as-Syafi’i dalam Nuzhat al-Majalis wa Muntakhab an-Nafais.

Saat itu, Nabi Ibrahim bernazar, jika Allah Swt. mengaruniainya seorang anak, ia akan mengorbankan anaknya. Lantas, doa tersebut diijabah dengan kelahiran Ismail, dari istri keduanya, Siti Hajar. Ketika Ismail beranjak remaja, Nabi Ibrahim mendapat perintah Allah untuk menyembelihnya sebagai bagian dari nazarnya. Setelah Nabi Ibrahim membulatkan niat dan hendak menyembelih anaknya, Allah menggantinya dengan seekor hewan sembelihan.

Karena kesabarannya, Jibril berkata, "Wahai, Ibrahim, sesungguhnya Allah Swt. telah memberikan engkau anugerah berupa kesabaran. Berdoalah engkau kepada Allah, niscaya akan dikabulkan apa yang engkau minta."

Setelah Ibrahim melafalkan doanya, Jibril mengatakan, "Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar."

Lalu, Ismail as., menimpali, "Laa ilaaha Illahu Wallahu Akbar."

Nabi Ibrahim as., pun turut menambahkan, "Allahu Akbar Walillahilhamd."

Catatan sejarah lain menyebutkan, Nabi Muhammad saw. pernah mengucapkan takbir saat pertempuran. Ibn Ishaq, dalam kitab Sirah Nabawiyah yang ditulis pada abad ke-8 Masehi, meriwayatkan dua peristiwa ketika Rasulullah menyerukan takbir, yakni selama Perang Badar dan Perang Uhud.

Penggunaan takbir dalam konteks-konteks penting mengindikasikan bahwa kalimat suci tersebut sejak dahulu kala telah diasosiasikan dengan ekspresi keimanan, kemenangan, dan identitas komunal umat Islam.

Takbir Selama Hari Raya

Umat Islam dianjurkan bertakbir di dua hari raya, yakni Idulfitri dan Iduladha, sebagai bentuk syukur dan pengagungan Allah Swt. atas segala nikmat yang telah diberikan.

Meskipun demikian, sunah nabi tidak secara spesifik menyebutkan satu formulasi takbir yang baku untuk hari raya. Beberapa sahabat nabi, salah satunya Salman al-Farisi, menggunakan formulasi takbir yang berbunyi: “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. La ilaha illa Allah. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Wa Lillahilhamd."

Para ulama berpendapat, perintah bertakbir pada hari raya bersifat umum, tidak dibatasi pada satu bentuk tertentu. Ada yang melaksanakannya sendiri-sendiri, tetapi ada pula yang melafalkannya secara kolektif sebelum salat id.

Majelis Tarjih PP. Muhammadiyah, misalnya, mengeluarkan fatwa bahwa takbir hari raya boleh dilafalkan secara kolektif dalam satu suara lantang.

MALAM TAKBIRAN JAKARTA

Umat muslim memukul beduk saat malam takbiran di Jalan K.H. Mas Mansyur, Tanah Abang, Jakarta, Kamis (14/6/2018). NTARA FOTO/Dhemas Reviyanto

Dalam pelaksanaan salat id, terdapat konsep yang disebut Zawa'id Takbir, yakni takbir tambahan yang dilakukan di luar takbir inti salat. Jumlah takbir tambahan ini bervariasi, bergantung pada mazhab dan riwayat hadis yang dianut.

Beberapa riwayat, salah satunya yang tertuang dalam Sunan Ibn Majah, menyebutkan bahwa Nabi Muhammad saw. bertakbir tujuh kali pada rakaat pertama dan lima kali pada rakaat kedua saat salat id.

Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai kekuatan hadis-hadis yang mendasari praktik takbir tambahan ini. Meski mayoritas ulama dari empat mazhab utama merekomendasikan praktik Zawa'id Takbir dalam salat id, tidak ada yang menjadikannya sebagai kewajiban.

Fleksibilitas dalam formulasi takbir dan variasi dalam praktik takbir tambahan dalam salat id menunjukkan, meskipun takbir pada hari raya memiliki akar sejarah dan ajaran yang jelas, ruang interpretasi bisa berbeda-beda.

Kemunculan dan Evolusi Takbiran Keliling di Indonesia

Islam diperkirakan masuk ke wilayah Indonesia sekitar abad ke-13 Masehi melalui aktivitas perdagangan para saudagar muslim dari Arab, Persia, dan India, serta pengaruh kebudayaan yang disebarkan kaum sufi.

Proses penyebaran Islam di Indonesia berlangsung secara damai dan bertahap, sehingga memungkinkan terjadinya interaksi dan perpaduan antara ajaran Islam dan budaya lokal yang telah ada sebelumnya. Akulturasi ini menghasilkan corak keislaman yang khas di Indonesia. Banyak praktik keagamaan yang diwarnai oleh unsur-unsur budaya setempat.

Terdapat indikasi kuat bahwa tradisi pada malam takbiran, salah satunya berupa takbir keliling, muncul di Indonesia berkat akulturasi budaya. Beberapa catatan sejarah menyebutkan, praktik ini pertama kali diinisiasi oleh para ulama dan santri yang pernah menimba ilmu di pondok pesantren sebagai salah satu cara melakukan syiar Islam atau dakwah.

“Sejak saya belum lahir. [Sebab, ketika] saya lahir sudah ada [tradisi takbir keliling]. Yang memulainya, ya, para ulama’ dan para santri. Dulu, yang terlebih dulu mengadakan takbir keliling di desa Raji, ya, Dukuh Raji, karena dulu orang Raji itu sudah kaum [sudah mengetahui agama],” ujar Nur Alim, tokoh agama di Dukuh Bulu, Kecamatan Raji, Demak, Jawa Tengah, kepada Laely Hidayati dalam tesisnya yang terbit di situs web UIN Walisongo Semarang.

Tradisi takbiran keliling diperkirakan pertama kali dilakukan dengan berjalan kaki, mengelilingi desa atau kampung, sambil mengumandangkan kalimat takbir. Ada pula yang mengiringinya dengan tabuhan beduk, serta obor sebagai penerangan jalan.

Seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, tradisi takbiran keliling di Indonesia mengalami evolusi. Jika pada awalnya tradisi ini dilakukan dengan berjalan kaki, kini masyarakat lebih banyak menggunakan kendaraan roda dua dan/atau roda empat untuk berkeliling.

Kendaraan-kendaraan tersebut sering kali dihias dengan berbagai ornamen yang menarik dan bernuansa Islami, seperti miniatur masjid, kaligrafi, atau simbol-simbol keagamaan lainnya. Penggunaan alat pengeras suara juga makin umum, memungkinkan suara takbir dan lantunan ayat-ayat suci Al-Qur'an terdengar lebih luas.

Pawai obor hijratul rasul

Sejumlah anak mengikuti pawai obor hijratul rasul di Tapa, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, Selasa (18/7/2023). ANTARA FOTO/Adiwinata Solihin//foc.

Pada era modern, takbiran keliling juga mulai mengadopsi elemen-elemen kreatif dan festival. Bahkan, di beberapa daerah, ada yang menggelar takbiran layaknya karnaval, dengan arak-arakan berbagai bentuk miniatur yang unik dan menarik. Di Gresik, misalnya, terdapat tradisi membawa “Damar Kurung”, lampion khas yang menjadi bagian dari kearifan lokal.

Di Bengkulu, masyarakat adat Serawai memiliki tradisi Ronjok Sayak. Tumpukan tempurung kelapa disusun seperti satai hingga menjulang, lantas dibakar setelah setelah salat Isya pada malam 1 Syawal.

Bagi masyarakat Suku Serawai, tempurung kelapa yang dibakar merupakan ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mereka percaya, Ronjok Sayak bisa menjadi penghubung doa-doa yang dikirimkan untuk arwah keluarga dan leluhur yang telah meninggal.

Masyarakat Sunda pada umumnya mengenal tradisi Nganteuran, bertukar makanan dengan tetangga, pada malam takbiran. Banyak keluarga yang sengaja menyiapkan berbagai hidangan khas lebaran, seperti opor ayam, sambal goreng ati, ketupat, dan berbagai kue tradisional, untuk dibagikan kepada tetangga sekitar.

Di Gorontalo, terdapat tradisi Tumbilotohe, yakni pemasangan lampu tradisional dari damar pohon selama tiga hari sebelum Idulfitri. Dahulu, lampu tersebut digunakan sebagai penerangan bagi warga yang menyalurkan zakat fitrah.

Sebagian ulama berpendapat, takbiran keliling adalah praktik yang diperbolehkan (mubah), bahkan dianjurkan sebagai bentuk syiar Islam dan ekspresi kegembiraan dalam menyambut hari raya. Akan tetapi, pelaksanaannya tetap mesti memperhatikan adab dan tidak menimbulkan gangguan atau kemudaratan bagi masyarakat.

Menurut para ulama, tujuan takbiran keliling adalah baik, yaitu mengagungkan nama Allah, menyebarkan semangat beribadah, serta mempererat tali silaturahmi antar-muslim.

Namun, ada juga pandangan yang mengkritisi perkembangan ini, dengan kekhawatiran bahwa esensi religius dari takbir tergeser oleh aspek hiburan yang berlebihan, misalnya penggunaan musik-musik yang dianggap kurang sesuai dengan nilai-nilai agama.

Para ulama yang mengkritisi tradisi tersebut menekankan pentingnya menjaga kesucian malam takbiran dengan memperbanyak zikir dan ibadah di masjid atau rumah. Mereka menganjurkan agar muslim menghindari segala bentuk kegiatan yang dapat mengurangi kekhusyukan dan makna spiritual dari takbir itu sendiri.

Baca juga artikel terkait TAKBIRAN atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - News
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Fadli Nasrudin