Menuju konten utama
Hikayat Ramadan

Sejarah Halalbihalal, Tradisi Unik dan Otentik Lebaran di Indonesia

Halalbihalal di kala Idulfitri adalah tradisi otentik dari Indonesia. Ia dimanfaatkan sebagai momen untuk saling memaafkan.

Sejarah Halalbihalal, Tradisi Unik dan Otentik Lebaran di Indonesia
Ilustrasi halalbihalal masyarakat Indonesia. tirto.id/Fuad

tirto.id - Sewindu yang lalu, Birgit Berg dibuat takjub bukan kepalang melihat kerukunan umat beragama di Indonesia. Pemantik ketakjuban itu ialah selebrasi keberagamaan di Indonesia yang demikian cair dan lentur. Sekat-sekat keimanan tidak tampak lagi. Yang ada adalah relasi kemanusiaan, saling mengisi, dan menghargai.

Berg yang kala itu melakukan penelitian tentang ragam musik di Indonesia dan Malaysia, menemukan fenomena unik soal tradisi halalbihalal. Tradisi ini memang merupakan kreasi genius-genius Nusantara. Ia otentik dan tidak bakal ditemukan di belahan dunia lain.

Dalam Musical Modernity, Islamic Identity, and Arab aestethic In Arab-Indonesia orkes gambus (2011: 169), Berg menulis pengalaman indahnya ketika mengamati bagaimana tradisi halalbihalal dihelat oleh masyarakat Manado. Umat Muslim dan Kristiani berhalalbihalal sembari menikmati hiburan khas orkes gambus.

Uniknya, di sebagian tempat memang yang menjadi pihak pengundang adalah umat Islam, namun di Sulawesi Utara—sebagaimana dicatat Berg—justru umat Kristiani yang mengundang umat Islam untuk berhalalbihalal. Keberagamaan yang demikian cair dan sublim itu menjadi salah satu bukti masyarakat Indonesia memiliki watak terbuka yang diwariskan dari nenek moyang mereka.

Sejarawan Ibnu Khordadbih dalam Al-Masālik wal Mamālik, buku yang ia tulis pada abad ke-11, mencatat bahwa watak bangsa yang mendiami daratan khatulistiwa adalah terbuka dan egaliter. Keduanya merupakan basis utama masyarakat terbuka (open society).

Belum ada sumber sahih yang mengupas sejarah tradisi halalbihalal. Sebagian cerita menyebutkan bahwa halalbihalal merupakan kreasi kolaborasi Kiai Wahab Hasbullah dengan Bung Karno pada 1948. Keduanya berembuk untuk mencari solusi ancaman disintegrasi bangsa oleh kelompok DI/TII dan PKI. Kiai Wahab mengusulkan silaturahmi nasional. Bung Karno menganggap ide itu bagus, namun istilahnya harus dimodifikasi agar bisa menjadi ekstravaganza. Kiai Wahab mengusulkan istilah 'halalbihalal'.

Halalbihalal bukan berakar dari struktur gramatika bahasa Arab. Istilah ini lahir dari spontanitas Kiai Wahab Hasbullah. Maksud dan arti yang ingin dirujuk adalah masing-masing pribadi saling memberikan kehalalan atas kesalahan-kesalahan yang terlanjur sudah diperbuat.

Menurut Abdul Gaffar Ruskhan dalam Kompas Bahasa Indonesia (2003: 23-24), makna lebih modern dari halalbihalal adalah kegiatan yang dilaksanakan secara bersama-sama selepas bulan puasa dalam suasana Idulfitri sebagai sarana bermaaf-maafan antarsesama.

Kiai Wahab memang biangnya kecerdasan. Kecerdasannya kerap menjadi pemecah kebuntuan. Solusi segar dan penuh dengan humor tidak jarang keluar dari kiai penganggit mars patriotik bertajuk "Syubbanul Wathan" ini.

Untuk sekadar menyebut salah satu contohnya, peristiwa perdebatan sengit dengan Kiai Abdul Jalil Kudus barangkali bisa menjadi bukti.

Kiai Wahab berseberangan pendapat dengan Kiai Abdul Jalil Kudus soal validitas DPR-GR (DPR pada masa Demokrasi Terpimpin, 1959-1965) dalam pandangan Islam. Keduanya berdebat sengit dan beradu rujukan. Sama-sama kuat dalam berargumen. Sama-sama logis dan meyakinkan pula.

Kesimpulannya? buntu. Masing-masing bersikukuh pada pendapatnya sendiri. Sampai kemudian Kiai Wahab berseloroh dengan nada sinis: “Kitab yang sampeyan gunakan, kan, cuma cetakan Kudus. Kalau kitab yang menunjang pendapat saya ini cetakan luar negeri.”

Akar Tradisi Halalbihalal

Jika yang dimaksud esensi halalbihalal adalah siturahmi, maka tradisi ini sudah mengakar jauh dari leluhur Nusantara. Setidaknya hal ini sudah terjadi semenjak Pangeran Sambernyawa atau Mangkunegara I bertakhta. Tradisi raja kala itu selepas salat id mengumpulkan para punggawa dan prajurit di istana untuk saling meminta maaf satu dengan yang lainnya.

Sebagai sebuah isitilah yang tidak dilahirkan dari induknya, istilah halalbihalal melahirkan tradisi unik yang juga hanya terjadi di Indonesia. Di negara-negara Timur tengah, termasuk di Saudi Arabia, tahniah atau ucapan selamat yang didengungkan untuk merayakan Idulfitri adalah kulla am wa antum bi khair (semoga sepanjang tahun kau dalam keadaan baik-baik saja). Ucapan ini semukabalah dengan kalimat yang diucapakan untuk menyambut tahun baru.

Infografik Hikayat Halal bihalal

Infografik Hikayat Halal bihalal. tirto.id/Fuad

Uniknya di Indonesia kita tidak menjumpai ucapan yang sama dengan yang menjadi tradisi di Arab. Ucapan yang populer di sini adalah minal aidin wal faizin yang memiliki arti menjadi orang-orang yang kembali dan menang.

Kalimat di atas merupakan penggalan paksa dari kalimat utuh jaalanallāhu waiyyākum minal āidin wal fāizin yang berarti "semoga Allah menjadikan aku dan kamu termasuk ke dalam orang-orang yang kembali dan menang."

Naga-naganya, makna Idulfitri juga tidak kalah menarik untuk disinggung. Muhammad Quraish Shihab berpendapat bahwa ada dua makna yang dikehendaki dalam Idulfitri. Pertama, makna harfiah, yang berarti hari raya iftar atau berbuka. Umat Islam tidak diperkenankan puasa di hari itu.

Kedua, makna substansi, yang berarti Idulfitri adalah hari raya kembali ke asal. Makna ini bisa diinterpretasikan bahwa mereka yang lulus menjalankan puasa sepanjang bulan Ramadan, yang merupakan bulan kesepuluh pada penanggalan Hijriah, maka sama dengan lahir kembali setelah dikandung selama sembilan bulan.

Keotentikan dan keunikan tradisi yang berkembang dalam merayakan Idulfitri menjadi bukti sahih bahwa genius-genius Indonesia, di samping memiliki watak yang kosmopolit dan terbuka, juga kreatif dan cerdas meramu kultur dengan ajaran agama.

==========

Sepanjang Ramadan hingga lebaran, redaksi menampilkan artikel-artikel tentang kisah hikmah yang diangkat dari dunia pesantren dan tradisi Islam. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Hikayat Ramadan". Rubrik ini diampu selama sebulan penuh oleh Fariz Alnizar, pengajar Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia dan kandidat doktor linguistik UGM.

Baca juga artikel terkait SEJARAH atau tulisan lainnya dari Fariz Alniezar

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Fariz Alniezar
Editor: Ivan Aulia Ahsan