Menuju konten utama
29 Desember 1971

K.H. Wahab Hasbullah, Playmaker Politik Nahdlatul Ulama

Kyai merdeka.
Kain ubel menyimpan
lautan ilmu.

K.H. Wahab Hasbullah, Playmaker Politik Nahdlatul Ulama
Ilustrasi Kiai Wahab Hasbullah. tirto.id/Gery

tirto.id - Sekali tempo, seorang lelaki diceritakan sowan kepada Kiai Bisri Syansuri di Pesantren Mambaul Ma’arif Denanyar, Jombang. Lelaki itu mengutarakan hajatnya yang ingin menyembelih hewan kurban, namun ia memanggul problem dan kemuskilan.

Ia hendak menyembelih seekor sapi, namun anggota keluarganya terdiri dari delapan orang. Atas problemnya itu, ia sowan kepada Kiai Bisri. “Ya ndak bisa, satu sapi ya untuk tujuh orang. Begitu aturan syariatnya,” demikian jawab Kiai Bisri.

Lelaki itu semakin masygul. Betapa ia khawatir kelak di akhirat salah satu anggota keluarganya tidak bisa "naik" hewan sembelihan akibat aturan syariat itu.

Baca juga: Tiga Ulama Nusantara di Mekah al-Mukaramah

Dengan tetap memanggul kemasygulan, lelaki itu bergegas ke Tambakberas, sebuah desa yang terletak di utara Denanyar. Ia sowan kepada Kiai Wahab Hasbullah di pesantren Bahrul Ulum. Setelah memperkenalkan diri lengkap berserta asal usul dan riwayat keluarga, hajat yang sama ia utarakan kepada Kiai Wahab dengan suara serak terbata-bata.

“Ya ndak apa-apa. Cuma, anakmu kan ada yang kecil satu, biar dia bisa naik ke punggung sapi, harus disediakan ancik-ancikan (undak-undakan),” ujar Kiai Wahab.

“Ancik-ancikannya berupa apa, Kiai?” tanya lelaki itu berbinar dan antusias seolah menemukan solusi bagi jalan buntu dan beban yang menggelayutinya.

"Ya belikan kambing satu, biar bisa dipakai ancikan anakmu," jawab Kiai Wahab.

Bibir laki-laki itu tiba-tiba merekah, seutas senyum mengembang dari sana. Ia menemukan jalan keluar dan pulang dengan berita gembira. Di hari raya Idul Adha kelak, ia bisa berkurban untuk seluruh anggota keluarganya.

Cerita itu dituturkan secara turun-temurun dan sangat populer di kalangan santri Denanyar ataupun Tambakberas. Dua sosok penting yang menjadi fokus cerita, Bisri Syansuri dan Wahab Hasbullah, memiliki karakter yang sama sekali berbeda satu dengan lainnya.

Baca juga:

Kiai yang Politisi, Politisi yang Kiai

Jika Bisri Syansuri teguh memegang prinsip, maka sebaliknya, Wahab Hasbullah lentur dan penuh kompromi. Begitulah sikap keduanya. Bahkan dalam memandang beberapa persoalan, dari mulai yang remeh semisal hukumnya drum band sampai keputusan keluarnya NU dari Masyumi atau ihwal masuk dan tidaknya NU dalam DPRGR, keduanya kerap—kalau tidak ingin dikatakan selalu—memiliki cara pandang berbeda.

Wahab Hasbullah sosok yang dikenal sebagai ahli ushul fikih (metodologi penelusuran hukum Islam). Sikap dan pandangannya selalu lentur. Ia dilahirkan di Jombang, 31 Maret 1888. Di banyak persoalan kehidupan sehari-hari atau bahkan persoalan politik dan kenegaraan, Wahab terkenal dengan pandangannya yang luwes dan out of the box.

Dalam hal berpolitik, keputusannya yang paling fenomenal—jika tidak mau dikatakan kontroversial—adalah ketika NU keluar dari Masyumi pada 1952. Alasan Wahab sangat sederhana: NU hanya dijadikan sapi perah bagi masyumi. NU bagi Masyumi, menurut Wahab, kurang lebih seperti adagium bahasa Arab wujuduhu kaadamihi, adanya sama belaka dengan ketiadaannya.

Baca juga: Masyumi dan Ilusi Persatuan Umat Islam

Kyai merdeka. Kain ubel menyimpan lautan ilmu. #Mozaik

A post shared by tirto.id (@tirtoid) on

Maklum saja, sebab di dalam tubuh Masyumi kala itu banyak bermunculan tokoh-tokoh modernis yang kerap memberi pandangan peyoratif kepada kalangan politisi NU yang berlatar pesantren. Mereka menganggap bahwa orang-orang pesantren tidak mengerti apa-apa soal politik, apalagi soal urus-mengurus negara.

Mr. Saleh, seorang Muhammadiyah yang merupakan perwakilan salah satu unsur kaum modernis yang juga Walikota Yogyakarta, pada kongres Masyumi tahun 1949 mengatakan, politik bukan urusan sekitar pondok dan pesantren. Masalah politik terlalu luas untuk hanya sekadar didiskusikan sembari menggenggam tasbih (Amak Fadhali, Partai NU dengan Aqidah dan Perkembangannya, 1969: 27). Ucapan ini tentu saja menjadi bahan bakar pemicu ledakan kemarahan orang-orang NU.

Keadaan makin parah dengan tidak diberikannya pos Menteri Agama yang menjadi jatah langganan NU. Kaum nahdliyin kian merasa hanya menjadi sapi perahan. Padahal suara Masyumi mayoritas berasal dari basis massa NU.

Sikap Wahab, yang kala itu menjabat sebagai Rais Aam PBNU, sangat tegas: NU mesti keluar dari Masyumi. Atas sikap tersebut, banyak pihak menilai bahwa Wahab adalah tokoh pertama yang harus dimintai tanggung jawab jika terjadi perpecahan umat Islam. Namun, kondisi menunjukkan hal yang berbeda. Pada Pemilu 1955, NU berkibar dengan bertengger di urutan nomor tiga. Suara Masyumi tergerus. Lima tahun kemudian, Masyumi dibubarkan Sukarno karena beberapa tokohnya terlibat pemberontakan PRRI/Permesta.

Baca juga: KH Anwar Musaddad: Anti-Makar, Menolak Negara Islam

Sejatinya, dua tahun sebelum berbulat niat untuk memutuskan keluar dari Masyumi, Wahab sudah memberi sinyal kepada siapapun, utamanya warga NU. Sinyal tersebut belakangan dibakukan menjadi “Kredo Pergerakan”, yang diucapkan di Jakarta pada 1950.

“Banyak pemimpin NU di daerah-daerah dan juga pusat yang tidak yakin akan kekuatan NU, mereka lebih meyakini kekuatan golongan lain. Orang-orang ini terpengaruh oleh bisikan orang yang menghembuskan propaganda agar tidak yakin dengan kekuatan yang dimilikinya. Kekuatan NU itu ibarat senjata adalah meriam, betul-betul meriam. Tetapi digoncangkan hati mereka oleh propaganda luar biasa yang menghasut seolah-olah senjata itu bukan meriam, tetapi hanya gelugu alias batang kelapa."

Dalam Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967 (2011), Greg Fealy memberi komentar menarik ketika mengamati sepak terjang NU di bawah kepemimpinan Wahab. Fealy menyatakan, tindakan NU dalam berpolitik sama sekali bukan tanpa prinsip.

Baca juga: NU Tak Pernah Meninggalkan Pancasila

NU sesungguhnya berpegang pada ideologi politik keagamaan yang meletakkan prioritas tertinggi pada proteksi sosial terhadap posisi Islam dan para pengikutnya. Kesimpulan seperti ini tidak begitu mengagetkan jika dibidik dari kaca mata tradisi keilmuan pesantren. Kalangan santri memahami bagaimana mengaplikasikan teori kepemimpinan paling fundamen: tsaharruful imãm alar raiyyah manūthun bil maslahah (kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung pada kemaslahatan).

Menariknya, kalangan Masyumi menilai Wahab sebagai sosok bertangan besi yang kerap menggunakan otoritas kekiaiannya untuk siasat politik. Ia bukan saja lihai dalam memanfaatkan modal politik, namun juga berwatak otokratik dan suka mendahului. Mereka yang berseberangan pandangan politik itu lupa, sesungguhnya Wahab lah faktor tunggal mundurnya NU dari Masyumi.

infografik mozaik kiai wahab

Langkah-langkah yang dilakukan Wahab adalah membaca dan merangkum suara batin warga NU, kemudian mentransformasikannya dalam wujud keputusan keluar dari Masyumi. Wahab paham betul bahwa mempertahankan wibawa ulama, menjunjung tinggi nilai-nilai dasar ajaran Islam yang tradisional, serta merawat ekses sosial-ekonomi merupakan alasan utama yang harus dipertahankan keberadaannya. Semakin apa yang telah disebutkan itu dicederai, menurut Fealy, maka semakin besar peluang NU untuk keluar dari Masyumi.

Baca juga:

Ringkas kalam, Wahab ibarat playmaker dalam sepak bola: jenderal permainan yang bukan saja memahami kapan masa bertahan dan kapan masa menyerang, tapi juga fasih memainkan gerakan tanpa bola. Di saat bersamaan, seorang playmaker juga jeli membaca taktik dan strategi permainan lawan.

Ijtihad politik yang dilakukan dan dimotori Wahab, betapapun kontroversial, berhasil membuka mata siapapun bahwa NU memiliki massa konkret yang berkekuatan besar dan tidak bisa dipandang sebelah mata. Wahab juga memahami bahwa sebagai sebuah ijtihad, apa yang dilakukannya bisa benar dan bisa salah. Namun, ia juga tidak lupa bahwa keduanya, baik ijtihad yang benar maupun yang salah, sama-sama mendapatkan pahala.

Baca juga: Berpulangnya Ulama Penggagas Islam Nusantara

Wahab Hasbullah meninggal di Jombang, 29 Desember 1971, tepat hari ini 46 tahun lalu. Ia wafat di usia yang tergolong sepuh, 83 tahun, dan masih menjabat sebagai Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.

Empat puluh satu tahun setelah wafatnya, persisnya pada 7 November 2014, Wahab ditahbiskan sebagai Pahlawan Nasional. Bagi kaum nahdliyin, para ulama, termasuk Wahab Hasbullah, bukan sekadar pahlawan nasional. Mereka adalah pahlawan umat manusia.

Baca juga artikel terkait NAHDLATUL ULAMA atau tulisan lainnya dari Fariz Alniezar

tirto.id - Politik
Reporter: Fariz Alniezar
Penulis: Fariz Alniezar
Editor: Ivan Aulia Ahsan