tirto.id - Republik Indonesia belum seberapa lama berdiri. Namun, percikan upaya makar sudah muncul di sejumlah lokasi. Salah satunya di Jawa Barat oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo yang mendeklarasikan berdirinya Darul Islam/Negara Islam Indonesia (DI/TII) pada 7 Agustus 1949.
Sebelum memproklamirkan DI/TII, Kartosoewirjo mengajak Kiai Haji Anwar Musaddad untuk bergabung. Tawaran itu ditolaknya. Bagi sang kiai, keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah menjadi harga mati (Yies Sa'diyah, Prof. KH Anwar Musaddad: Biografi, Pengabdian, dan Pemikiran Ulama-Intelektual, 2012:63).
Siapakah Anwar Musaddad sehingga dianggap sebegitu pentingnya oleh Kartosoewirjo? Kini, ia dikenang sebagai salah satu ulama dari Jawa Barat yang paling berpengaruh, namanya pun diajukan agar ditetapkan sebagai pahlawan nasional.
Sempat Dicemaskan Murtad
Nama aslinya bukan Anwar Musaddad. Ia dilahirkan di Desa Ciledug, Garut, pada 3 April 1909, dengan nama Dede Masdiad. Ia disebut keturunan trah bangsawan dari dua peradaban besar yang pernah berjaya tanah Jawa.
Abdul Awwal bin Haji Abdul Kadir, ayah Dede, bertalian darah dengan Sunan Gunung Jati sehingga terhubung dengan Kerajaan Pajajaran dan Cirebon. Sang ayah wafat saat usia Dede masih 4 tahun. Ibunya, Marfuah binti Kasriyo, adalah keturunan Pangeran Diponegoro yang masih termasuk keluarga Kesultanan Mataram Islam (Mushoffi Hasan, Anwar Musaddad: Sang Bintang dari Timur, 1991:3).
Sejak pendidikan dasar, Dede duduk di bangku sekolah milik misionaris-Belanda, Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Christelijk di Garut. Lulus tahun 1921, ia meneruskan studi ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Christelijk di Sukabumi, kemudian lanjut ke sekolah menengah atas Algemene Middlebare School (AMS) Batavia (Jakarta).
Dede termasuk anak yang cerdas dan selalu ingin tahu. Lantaran jenjang pendidikan yang menempanya adalah sekolah milik yayasan misionaris, Dede cukup intens mempelajari Injil dan kristologi, hingga usia menjelang dewasa atau ketika duduk di bangku sekolah menengah atas di AMS Batavia.
Inilah yang membuat ibunda Dede mencemaskan putra tersayangnya tersebut berpindah akidah. Maka, Dede dipanggil pulang sebelum masa pendidikannya di Batavia selesai. Dede kemudian dibimbing oleh Ustadz Muhammad Sachroni, seorang ulama terkemuka di Jawa Barat saat itu, untuk memperdalam ajaran Islam.
Namun, pengetahuan tentang Kristen yang telah dipelajarinya tidak lantas terlupakan, justru itu menjadi dasar kuat bagi pertumbuhan jiwanya yang toleran dan moderat (Hasan, 1991:12). Kelak, Dede atau Kiai Haji Anwar Musaddad menjelma menjadi sosok ulama besar sekaligus pakar ilmu perbandingan agama yang menghargai keberagaman, termasuk perbedaan keyakinan.
Ulama Nahdlatul Ulama
Tahun 1931, Anwar Musaddad berangkat ke Mekah. Selain untuk beribadah haji, ia juga menimba ilmu keislaman di Madrasah Al-Falah. Selama 11 tahun Anwar Musaddad berguru di kota suci, baik dari ahli-ahli agama dari Nusantara yang sedang di Arab maupun dengan para para ulama asli Timur Tengah (Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara, 2009:252).
Anwar Musaddad pulang ke tanah air tepat ketika kekuasaan Belanda di Indonesia digantikan Jepang. Ia bergabung dengan Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam yang diakui Dai Nippon selain Muhammadiyah sebelum dibentuknya Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) pada 1943 sebagai pengganti Madjlisul Islamil A'laa Indonesia (MIAI).
Usai proklamasi kemerdekaan, Anwar turut turun gelanggang. Sejak 1945, ia memimpin pasukan Hizbullah dan turut menempa mental para pejuang. Baginya, mempertahankan tanah air merupakan bagian dari jihad (Nina Herlina, Biografi Prof. KH Anwar Musaddad, 2015:16).
Namun, Anwar Musaddad tidak memposisikan diri sebagai bagian dari golongan yang berebut porsi kekuasaan. Indonesia kala itu memang sedang mencari dan berupaya membentuk identitas sehingga banyak kepentingan yang bermain, dari kalangan nasionalis, kubu agamis, hingga kaum komunis.
Pilihan inilah yang lantas membentuknya sebagai sosok ulama-pejuang toleran, moderat, dan modern sehingga bisa diterima oleh semua kalangan (Sa'diyah, 2012:34). Bahkan, ia berhasil merangkul tokoh Persatuan Islam (Persis) A. Hassan, yang dikenal sangat keras dalam membela Islam (Nina Herlina, 2015:74).
Tentang A. Hassan, baca: Si Raja Debat yang Gigih Membela Islam.Anwar Musaddad bernaung di NU hingga akhir hayatnya.
Usia Panjang Ulama-Pejuang
Tak cuma sekali Kartosoewirjo membujuk Anwar untuk mendirikan negara Islam. Tapi, tawaran bergabung dengan DI/TII tersebut selalu ditampiknya. Kepada Kartosoewirjo yang mantan anggota Sarekat Islam (SI) itu, Anwar menegaskan bahwa mengelola negara di dalam negara adalah sesuatu yang mustahil.
Bagi Anwar, yang wajib dipertahankan justru NKRI yang sedang diguncang polemik, baik dari dalam maupun tekanan dari Sekutu dan Belanda yang ingin berkuasa kembali. Penolakan tersebut membuat DI/TII melancarkan aksi teror terhadap Anwar dan keluarganya. Namun, jiwa nasionalisme Anwar sudah telanjur tebal (Nina Herlina, 2015:73).
Dalam merawat hubungan dengan segala kalangan serta untuk menjaga stabilitas kondisi sosial-politik di Jawa Barat khususnya di Indonesia, Anwar Musaddad mengedepankan konsep ukhuwah wathoniah atau persaudaraan bangsa. Maka itu, Anwar tidak pernah mempertentangkan segala macam perbedaan dalam menjalani kehidupan.
Ia adalah pendiri pondok pesantren dan Yayasan Pendidikan Al-Musaddadiyah di Garut. Juga penggagas berdirinya IAIN Sunan Gunung Jati di Bandung pada 1968 sekaligus sebagai rektor pertamanya. Anwar turut pula memprakarsai berdirinya IAIN Sunan Kalijaga di Yogyakarta.
Anwar mengabdikan baktinya di Nahdlatul Ulama. Sempat menjabat sebagai Wakil Rais Am Syuriyah, kemudian menjadi Dewan Penasihat (Musytasar) PBNU hingga wafat di Garut pada 21 Juli 2000. Ia dianugerahi usia panjang, sampai 91 tahun.
Jejak-kiprah Anwar Musaddad kini terekam sebagai salah satu ulama paling berpengaruh, terutama bagi masyarakat Jawa Barat. Namanya juga pernah diajukan kepada pemerintah agar diberi gelar pahlawan nasional, meskipun hingga kini belum terealisasi.
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Maulida Sri Handayani